Wednesday 26 December 2012

Romantically Apocalyptic Syndrome

Jadi ceritanya saya lagi kena sindrom Romantically Apocalyptic.

Yang nggak tau Romantically Apocalyptic itu apa, bisa langsung klik di sini atau langsung ke web-nya di sini.

Sebenernya saya udah tau RA ini dari temen saya Aghnia waktu kelas 9. Dan saya mulai baca RA. Pertama-tama lumayan excited. Tapi lama-lama saya nggak baca lagi. Mungkin karena nggak ngerti (komiknya pake bahasa inggris) dan mengingat kalau kemampuan vocabulary saya masih pas-pasan banget, akhirnya saya berhenti baca.

Dan entah kenapa, sekitar 4 hari yang lalu, saya mulai tertarik baca RA lagi. Saya terakhir baca pas di chapter 40-an. Waktu kelas 9. Terus saya memutuskan untuk baca lagi dari awal. Dan............... I loved it XD Banget. Makanya saya bilang saya jadi kena RA syndrome. Apalagi sama Snippy :3. Snippy itu ganteng, walaupun mukanya cuma keliatan setengah muahaha. Ini nih si Snippy :3

 

Dan ini  chapter kesukaan saya. Yang sukses bikin saya ngakak tengah malem





RA ini komik strip yang akan terus diupdate. Sekarang baru sampe chapter 117. Tapi tungguin aja, pasti bakal diupdate terus kok. Pokoknya harus baca. Komik gila yang pernah saya baca. Absurd. Random parah.

Dan ini efek yang timbul karena RA Syndrome.

 


Dan ini, editan tergila yang pernah saya buat.

 

Oke, sekian. Selamat malam! Semoga saya mimpiin Snippy malam ini XD


Saturday 22 December 2012

Selamat Hari Ibu

 

22 Desember.. Selamat hari ibu untuk seluruh ibu dan calon ibu di Indonesia. Kenapa 'hanya' Indonesia? Karena yang saya tau hari ibu di belahan dunia lain itu bukan sekarang. Sekitar bulan Mei. Tanggal 8 kalau nggak salah.

Dan pastinya, ucapan Selamat Hari Ibu bertebaran di Twitter dan Facebook. Bahkan di media lain. Saya bingung ngucapin Selamat Hari Ibu sama ibu saya gimana. Jadi saya memutuskan untuk bersikap kalem sepanjang hari ini (dan kalau bisa sampai hari seterusnya). Nggak bikin ibu saya kesel, nggak bikin ibu saya marah sampe-sampe kita berdebat XD (saya sering debat sama ibu saya. Terutama masalah pendidikan. Tenang, ini debat yang sehat kok :p) pokoknya bikin ibu saya seneng!

Dan saya yakin. Yakin seyakin-yakinnya kalau ibu saya itu tau bahwa saya sayang dan cinta sama beliau. Itu karena ada ikatan batin antara seorang ibu dan anaknya /oke ini mulai ngasal/ Saya cinta sama ibu saya. Sama Ayah saya juga. Sama kakak saya juga, deh (walaupun kadang suka ngeselin hahahaha), saya sayang keluarga besar saya dan saya sayang sama semua komponen alam semesta yang udah ikut berkonspirasi di dalam hidup saya.

Jadi.., Selamat Hari Ibu!


ini foto saya sama ibu saya. Ini foto lama. Saya jarang foto sama ibu saya :p

Sekali lagi, Selamat Hari Ibu! Spread the words, spread the love. Love youuu♥


Monday 17 December 2012

Hujan Desember

"This is bull." erang Nadine. Kedua matanya memerah. Ia menopangkan kedua tangan di dagunya. Berpikir keras. "Ash, gimana, dong?"

Ashqa yang sedang berjalan menghampiri tempat duduk Nadine sambil membawa croissant dan dua gelas earl grey melongo. "Apanya?"

"He asks me to go.., tonight. I just wonder if he does have brain." Nadine memijat pelipisnya. Ashqa tertawa lalu duduk di hadapan Nadine.

"Santai, Dine. Mungkin dia cuma mau menyelesaikan masalah yang belum selesai. Who knows? I mean, mungkin dia sudah berubah." ujar Ashqa sambil memotong bagian croissant-nya.

Nadine menggedikan kedua bahunya. Meraih telinga cangkir earl grey-nya lalu menyesapnya perlahan. "Hei, Ashqa. Yudha pulang hari ini, kan?"

Ashqa menatap Nadine lalu mengangguk. Raut wajahnya berubah. "Iya. He texted me. Katanya pesawat delay. Mungkin Maghrib baru sampai sini. Gue nggak tahu..." Ashqa tertawa.

Hari ini, Yudha Fatar Ariffian-- Semua orang memanggilnya Yudha atau Arif tetapi Ashqa lebih suka memanggilnya Fatar--kekasih Ashqa kembali ke Jakarta. Ia sedang meraih gelar sarjana hukum di UGM. Sudah 4 bulan Ashqa tidak melihat Fatar. Selama ini mereka hanya dipertemukan lewat Skype dan Ashqa belum puas.

"Nanti mau jemput dia? Atau gimana?" tanya Nadine. Ashqa mengangguk lagi.

"Gue mau jemput dia. Udah lama juga nggak ketemu. Mau ikut sekalian? Kali aja Fatar juga kangen sama Nadine. Siapa tahu?" Kali ini gantian Nadine yang tertawa.

"Memang gue siapanya Yudha?" tanya Nadine di sela tawanya. "Um, mungkin lain kali. Hari ini banyak kerjaan. Tapi janji, ya, kapan-kapan ajak dia makan siang bareng."

"Sure." ujar Ashqa tersenyum. "Eh, Nad. Duluan, ya. Takut macet. See you tomorrow." Ashqa melangkah keluar dari dalam cafetaria. Ia mendengar Nadine berkata setengah berteriak,

"Take care, Hun."

***

Bandara petang itu sangat ramai. Banyak orang berlalu-lalang di terminal kedatangan. Ashqa mengedarkan pandangan ke seluruh bagian terminal. Tidak menemukan yang ia cari, Ashqa segera menepi dari kerumunan dan menelepon seseorang. Fatar. Tersambung. Dering pertama, kedua, ketiga sampai dering kesepuluh tak ada jawaban.

Nyaris putus asa, Ashqa mencoba lagi. Dering pertama, dering kedua, dan di dering ketiga terdengar suara berat dari seberang sana.

"Fatar? Fatar di mana? Aku lagi di..., eh bentar, bentar.., aku lagi di depan Burger King. Fatar kesini aja. Aku tunggu....., halo--Fatar? Aduh nyambung nggak, sih? Kok nggak dijawab...? Fat-....." Ashqa mendengus saat sambungan teleponnya terputus - atau entah Fatar sendiri yang memutusnya.

Ashqa kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saat Ashqa ingin beranjak pergi, seseorang menahan lengannya. Ashqa menoleh. Matanya melebar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebersit keharuan terpancar dari sinar matanya.

"Fatar?"

***

Saat keluar dari terminal kedatangan, Fatar sudah menangkap sosok gadis itu. Dengan rambut hitam lurus sepunggung dan poni yang dijepit begitu saja ke atas dan menyisakan beberapa helai di dahinya. Di dalam balutan blouse berwarna putih yang dimasukkan ke dalam rok selutut berwarna cokelat dan sepatu flat berwarna cokelat tua.

Gadis itu menepi keluar dari kerumunan orang-orang di dalam terminal. Gadis itu meraih ponsel dan menempelkannya di telinga. Gadis itu terlihat bingung. Ia mengigit bibir. Lalu berusaha menelepon sekali lagi.

Fatar tersadar. Gadis itu berusaha meneleponnya. Fatar merogoh saku kemejanya. Ponselnya bergetar. Benar saja. Ashqa calling. Fatar menekan tombol answer. Berkata 'halo' lalu sedetik kemudian suara gadis itu menggema di kedua telinganya. Ada kerinduan di dalam suara itu. Dan Fatar tahu - bahkan selalu tahu. Kedua sudut bibir Fatar terangkat. Ia tidak menanggapi celotehan gadis itu. Ia hanya tersenyum sambil berjalan menemui gadis itu. Fatar merindukan gadis itu. Gadis yang bernama Ashqa.

Kini Fatar sudah berdiri tepat di belakang Ashqa yang memunggunginya. Fatar memutuskan sambungan telepon. Ia bisa mendengar gadis itu berkata sesuatu yang berupa gerutuan. Saat gadis itu hendak berjalan pergi, Fatar menahan lengannya. Gadis itu menoleh. Matanya melebar tidak percaya. Ada sebersit kerinduan di matanya.

"Fatar?" bisik gadis itu lirih.

"Hey, I'm back." bisik Fatar. Ashqa masih terdiam di tempatnya berdiri. Sebelah tangannya masih  berada di dalam genggaman Fatar.

Ashqa berusaha melepaskan genggaman tangannya dari genggaman tangan Fatar yang tidak seberapa kencang itu. Ashqa menatap Fatar nanar. "Welcome back." bisiknya getir. Fatar segera merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Fatar bisa merasakan bahunya mulai basah. Ashqa menangis. Fatar tahu karena sejak tadi gadis itu berusaha keras menahan tangis. Lalu Fatar mengelus punggung Ashqa yang gemetar hebat.

"It's okay. Jangan nangis, dong. Aku maunya disambut dengan senyum. Bukan tangisan. Ashqa..," pelukan Ashqa mulai mengendur. Fatar tahu Ashqa tidak menginginkannya. Fatar tahu Ashqa ingin tetap memeluk Fatar. Dan Fatar juga ingin tetap memeluk Ashqa.

"Sekarang, hapus air matanya." Fatar menyodorkan saputangan berwarna putih dan bermotif garis-garis kepada Ashqa.

"Ashqa mau makan dulu?" tanya Fatar setelah tangis Ashqa mulai mereda.

Ashqa mengangguk. "Tapi nggak di sini. Nggak apa-apa, kan?"

Fatar tersenyum sambil mengelus kepala Ashqa. "Terserah Ashqa. Ashqa 'kan tau sendiri aku doyan makan. Jadi nggak masalah."

"Fatar suka makan tapi nggak gemuk-gemuk. Curang." sungut Ashqa. Fatar tertawa mendengar gadisnya merengut.

Fatar melirik jam tangannya. Lalu kembali menoleh pada Ashqa. "Shalat Maghrib dulu, yuk. Takut nggak sempat."

Ashqa melirik ke arah jam tangannya lalu mengangguk. "Aku lagi nggak shalat. Tuh, di sana ada mushallah." Fatar mengangguk lalu segera berjalan ke arah mushallah itu. Mushallah itu sepi. Hanya ada segelintir orang di dalamnya. Ashqa duduk di bagian depan mushallah.

"Aku titip, ya." Fatar menaruh ransel dan kopornya di samping tempat duduk Ashqa. Ashqa mengangguk. Ia memperhatikan Fatar yang sedang mengambil air wudhu di pojok mushallah.

Ashqa menghela nafas. Ponselnya bergetar. Dari Nadine.

Hei! Udah ketemu Yudha? Ashqa membalas, udah.dia lagi shalat. mau titip salam? kurang dari 30 detik, ponsel Ashqa bergetar lagi. make sure you will. ajak dia makan siang bareng dong. Ashqa tersenyum. Lalu membalas lagi, i will, Nad. thanks for being such a good friend.

Saat Ashqa selesai membalas pesan dari Nadine, Ashqa melihat Fatar sedang berjalan menghampirinya.

"Fatar, tadi Nadine nitip salam buat Fatar. Terus dia ngajak kita makan siang besok."

Fatar tersenyum sambil mengenakan Converse-nya. "Sounds good. Tapi aku juga lapar sekarang. Yuk." Fatar berdiri. Meraih ransel dan kopornya di sisi bangku. Ashqa ikut berdiri. Ashqa menggenggam sebelah tangan Fatar yang bebas.

***

"Fatar, aneh nggak, sih. Cuma aku satu-satunya yang manggil kamu Fatar. Padahal yang lain manggil kamu Yudha atau Arif. Bahkan Bunda manggil kamu Yudha. Keluarga kamu juga, kan?"

Fatar tertawa. "Memangnya Ashqa nggak suka manggil aku Fatar? Lagipula aku seneng, kok. Cuma Ashqa satu-satunya yang manggil aku Fatar. It makes you special, you know." Ashqa tersenyum dan menunduk.

"Ngomong-ngomong, kita mau makan di mana?" tanya Fatar sambil memperhatikan argo taksi yang semakin naik.

"Di rumah. Bunda masak spesial. Bunda tau kalau Fatar pulang hari ini. Jadi Bunda mau ngerayain kepulangan Fatar ke Jakarta."

"Yang benar? Wow, I should thank much to Bunda, then." Fatar tertawa. "Eh, tapi ke rumah aku dulu, ya.  Mau ngambil mobil. Jadi nanti aku pulangnya gampang. Aku juga belum ketemu Papa sama Adit."

"Yaudah, nggak apa-apa, kok." Ashqa menoleh ke arah Fatar. Tersenyum. Lalu pandangannya beralih ke luar jendela.

"Hey, it starts to drizzling. Hujan pertama di bulan Desember.." sahut Ashqa riang. Ia kembali menatap Fatar. Sedikit memiringkan kepalanya. "Kenapa?"

Fatar menggeleng. "No," ujarnya. "Kamu suka hujan. Dan aku suka itu."

"The way I love rain...? Or the way I love you?" ujar Ashqa tertawa.

"Both." Jawab Fatar singkat. Ashqa mengangguk. Jawaban seperti itu saja sudah cukup. Ia menyandarkan kepalanya di sebelah bahu Fatar. Memperhatikan jalanan yang basah karena rintik hujan.

Ashqa akan sangat merindukan Fatar. Sekarang, nanti dan selamanya. Juga hujan pertama di bulan Desember ini. Itu pasti.

***

Thursday 13 December 2012

Kakak.

Kak! Tau nggak, sih? Sekarang saya jadi suka nulis puisi lho, Kak. Dan puisi itu sebenernya *ehem* buat kakak.

Dulu saya nggak bisa bikin sajak atau puisi gitu, Kak. Pasti nggak rima dan jadinya aneh. Saya pernah baca di novel Here After, "ryhmes make good poem." gara-gara puisi sama sajak saya nggak ber-rima, berarti puisi saya belum bagus. Dan waktu itu saya bikin puisi sama sajaknya masih pakai bahasa Indonesia. Belakangan saya mikir, "saya belum hebat kalau belum bisa bikin poetry pake bahasa Inggris." Kesannya aneh, ya? Bukannya saya nggak suka sama bahasa Indonesia lho, Kak. Tapi ya gitu deh hehehehe.

Saya mulai bikin puisi atau sajak singkat yang *ehem* ditujukan buat kakak ini sekitar dua hari yang lalu. Idenya datang tiba-tiba gitu, Kak. Masih belum bagus, sih hehe tapi itu dibuat pake bahasa Inggris :3 dan saya seneng! Puisinya dibuat waktu malam-malam, Kak. Sebelum saya tidur. Tapi nggak masalah kalau saya posting puisinya jam segini. Yang penting, kan bukan waktunya. Tapi kerja kerasnya, maknanya dan... kakaknya.


A star's shining above the sky
Making me who sees it cry
Cry because I can't find any ways,
Any ways to get in into your sweet deepest eyes


Itu puisi pertama saya buat kakak. 2 hari yang lalu.
Dan ini tulisan ringan tentang kakak. Dibuat pada hari yang sama juga. 2 hari yang lalu.

I love your eyes behind that glasses' frame
I love your voices. It's heartwarming
I love your bag - with superman's logo. A red one
I love your watch in your left hand
I love your chubby cheek
I love your way when you walk in corridor - leave a misery girl in the side with much heart-attacked

Kalau ini puisi yang saya buat kemarin malam.

Hey, you
Mr.Who-Wears-Glasses in social two
I adore you
And I know I do

Satu lagi. Puisi ini saya buat kemarin malam juga. Dan saya suka banget sama puisi ini.

Welcome to your thousand nights
Go Sleep in peace and tight
Because tomorrow I'll start to write
When everything in you's getting right

-o-

Sunday 9 December 2012

Changes

I've been here for one year. And it seems like I don't post my photos that much. So, now, I'll make a change XD



Left to right: Alri, Rifat, Aghnia, Me. It was taken on grade 9 when we were having soo much assignments to do and we decided to made a change. Crazy poses are one of the ways :p


Bwek.



Webcam sessions. Left to right: Rifat, Alri, Tika, Me.


Waiting for Bunda's birthday. Photo session is a must! Left to Right: Yayan, Alfi, Artha, Me.


Ugly faces. Love thissss~~ XD Left to right: Cici, Tio, Nikita, Me.

Changes. People change. They do it all the time. Mine, too. Changes aren't always that bad, though. Yoshhh!!

ps: I didn't realize that I've always on right side in every photo sessions :L and got much cropped.

Dulu

Saya rindu dulu.

Dulu, waktu saya masih kecil. Waktu saya tidak perlu memikirkan hal-hal yang rumit. Yang saya pikirkan hanya permen, cokelat dan mainan.
Dulu, waktu saya masih mempunyai sebuah boneka bebek bernama Belu yang selalu saya bangga-banggakan.
Dulu, waktu bacaan saya sehari-hari hanyalah komik Crayon Shinchan, Doraemon dan Majalah Bobo.
Dulu, waktu saya masih bisa meminta ini-itu dengan mudahnya.
Dulu, waktu saya tidak peduli dengan adanya pengaruh globalisasi.
Dulu, waktu saya mendapat peringkat 3 besar di Sekolah Dasar.
Dulu, waktu saya selalu menganggap daun-daun kering di halaman rumah merupakan mainan terbaik untuk dijadikan makanan.
Dulu, waktu dengan bangganya saya memamerkan koleksi stiker dan koleksi uang kuno kepada teman-teman saya.
Dulu, waktu pertama kali saya mulai menulis.
Dulu, waktu pertama kali saya membaca novel.
Dulu, waktu saya pergi ke tempat peminjaman komik untuk meminjam komik One Piece, Detektif Conan, Master Q, Crayon Shinchan dan Kungfu Komang.
Dulu, waktu saya punya Mega, Koneng, si-Tanpa-Nama, Cing, Tim-Tam dan ke 9 kucing saya yang tidak sempat diberi nama.

Waktu dulu, jauh sebelum sekarang. Waktu saya mengenal kebahagiaan sebagai sebuah kata yang sederhana. Yang akan didapat hanya dengan memiliki cokelat, kucing dan komik.

I miss 'dulu' times for sure. Dan segala kebahagiaan sederhana yang sempat luput saat dulu.

Doraemon, mana mesin waktunya?

Tuesday 4 December 2012

Djenar


Warna oranye kemerahan tergurat di atas kanvas langit. Sekumpulan burung gereja berterbangan—mencari jalan pulang. Sesekali beberapa ekor bertengger di ranting-ranting pohon, menyaksikan betapa menakjubkannya warna langit kala itu.

Djenar, seorang gadis berusia pertengahan 20-an sedang berdiri di tepi atap gedung kantor tepat ia bekerja. Sendiri. Memandang ke bawah dengan tatapan yang kosong. Sekosong hatinya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia merogoh ponselnya dari saku blazer yang ia kenakan. Sebuah pesan singkat.

‘dimana?’

Djenar menghela nafas panjang. Ia bisa merasakan nafasnya yang dingin. Pesan itu dari Damar. Teman satu kantornya. Djenar menarikan jemarinya yang lentik di atas screen ponselnya.

‘di atas.’

Tak perlu berbasa-basi. Damar tahu ‘atas’ mana yang dimaksud Djenar. Atap gedung kantornya. Hanya dalam hitungan menit, Damar sudah tiba dan berdiri di samping Djenar.

“Nggak pulang? Ngopi dulu, yuk. Nanti pulangnya saya anterin.” Ujar Damar ceria.

Djenar menoleh dan tersenyum tipis. Ia menggeleng pelan.

“Kenapa? Biasanya kamu paling suka kalau saya traktir minum kopi.” Damar terkekeh. Tidak melihat respon yang diberikan Djenar, Damar berkata lagi, “Kali ini kamu yang milih tempatnya, deh. Saya nurut aja.”

Djenar menunduk. Ia kembali merogoh saku blazernya. Mengeluarkan sesuatu. Sebuah bungkus rokok dan pematik apinya. Djenar menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya yang tipis kebiruan karena diterpa angin sore. Ia mematik api dari pematiknya. Sekarang, ujung rokok itu sudah terhias dengan warna oranye menyala.

Damar yang masih berdiri di tempatnya terpaku.

“Dje, you don’t…”

Well now I do.” Ujar Djenar.

“Sejak kapan? Bukannya kamu pernah bilang sama saya kalau kamu itu paling anti sama yang namanya rokok..?” Tanya Damar masih tak percaya.

People change, Mar. They do it all the time. Apa salahnya kalau saya merokok?” jawab Djenar sambil mengepulkan asap rokok keluar dari mulutnya.

Damar kembali terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.

“Ini.., sekarang kita berada di lantai berapa sih, Mar? Kok kayaknya tinggi banget, ya?” Djenar maju selangkah dan memperhatikan kegiatan yang sedang berlalu-lalang di bawah sana.

Tubuh Damar menegang. Ia menjawab takut-takut.

“10.” Suaranya terdengar tercekat. Djenar hanya mengangguk-angguk kecil.

“Kalau misalkan saya…,”

“Jangan!”

Djenar menoleh. Damar mendekati Djenar dengan dada yang membuncah. Entah apa yang sedang berguncang hebat di dalam dadanya itu.

“Nggak boleh.” Ulang Damar. “Saya tahu kamu mau bicara apa tadi. Apapun itu, please jangan.”

Djenar mengerjap pelan. Ia menatap Damar tepat di matanya. Djenar mengalihkan pandangannya dari Damar dan tertawa.

“Ternyata kamu tahu saya banget ya, Mar.” ujarnya masih tertawa kecil.

Kali ini giliran Damar yang mengerjap pelan.

“Tapi ngomong-ngomong, saya pernah baca buku. Dan di bukunya itu ada kutipan ‘setiap orang pasti sudah menerima hukuman mati. Tapi mereka masih belum tahu kapan mereka akan menjalaninya.’ Pernah denger kan, Mar? Eh, belum, ya? Makanya jangan baca buku pengantar bisnis mulu, dong..” ujar Djenar tertawa.

Tawa milik Djenar seperti menghipnotis. Damar dibuat tertawa oleh perkataan milik Djenar tadi.

“Tapi kalau dipikir-pikir, itu benar kan, Mar? Saya jadi penasaran nanti saya meninggalnya bagaimana.” gumam Djenar.

Damar masih menatap Djenar nanar. Ia masih terhipnotis dengan pesona Djenar. Rambutnya yang hitam berkilau saat terpantul oleh sinar matahari, matanya yang kecil, alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis.., ingin rasanya Damar memiliki segalanya yang ada pada Djenar.

“Dje, listen.” Ujar Damar tegas. Djenar menoleh dan mengangkat kedua alisnya. Sebatang rokok terselip di antara kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Kalau kamu meninggal, itu urusan nanti, okay? Sekarang janji sama saya. Janji kalau apapun yang terjadi, jangan pernah berpikiran untuk meninggal. Kamu sendiri yang bilang kalau semua orang itu pasti meninggal. Iya, kan? Jangan menghampiri kematian. Dia akan menghampiri kita—dengan sendirinya.”

Djenar menatap Damar. Ia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan, tapi..

“Dje, masih banyak yang peduli sama kamu. Jadi tolong..,”

“Mar, now you listen. I’ll be fine, okay? Saya akan baik-baik saja. Sungguh—demi Tuhan, Mar. Kalau suatu hari nanti kamu menemukan saya dalam keadaan mati konyol, kamu boleh mengutuk saya apa saja. Saya juga punya akal sehat, Mar. Jadi saya tidak mungkin menyiakan sisa hidup saya dan mengakhirinya dengan cara-cara konyol yang tidak masuk akal.”

Damar tertawa. “Contohnya? Cara konyol yang tidak masuk akal itu contohnya seperti apa?”

Djenar tersenyum jahil dan pura-pura berpikir. “Mm, menghabiskan sisa hidup untuk membenci kamu, mungkin?”

Tubuh Damar kembali menegang. Ia memperhatikan Djenar yang sedang menyulut api rokoknya dengan cara menginjak dengan ujung sepatunya. Saat Djenar mendongak, tatapan mereka berdua bertemu.

“Apa?” Tanya Djenar.

Damar melangkah maju menhampiri Djenar dan merengkuhnya perlahan. Djenar tersentak oleh tindakan Damar yang tiba-tiba itu.

“Da..mar..?” Damar semakin mempererat pelukannya. Ia bisa merasakan jantung Djenar beradu cepat dengan jantung miliknya.

Djenar tenggelam dalam pelukan Damar. Mereka terus seperti itu selama beberapa menit. Tak ada yang bersuara. Lalu Djenar memperlonggar rengkuhan tangan miliknya di sekitar leher Damar. Damar menunduk menatap Djenar tepat di mata dan menaikkan kedua alisnya.

“Tawaran kamu.. Tawaran kamu yang tadi masih berlaku? Err.., minum kopi? Kayaknya malam-malam begini kalau ditemani kopi enak juga,” gumam Djenar.

Damar tersenyum. Lalu berkata dengan nada sedikit memberengut.

“Hanya kalau ditemani kopi saja enaknya? Sama saya enggak?”

Djenar tertawa dan memukul dada Damar pelan. Djenar kembali merengkuhkan kedua tangannya di sekitar leher Damar dan kembali perpelukan selama beberapa menit.

“Yuk. Saya haus.” Ujar Damar sambil memperlonggar pelukannya. Djenar tertawa dan menyelipkan lengannya di antara lengan milik Damar. Mereka berdua berjalan di bawah sinar rembulan dan kerlipan bintang.

Tidak ada yang lebih indah dari malam ini, pikir Djenar dan Damar dalam hati.


***

Monday 3 December 2012

Sebuah Perubahan

Awal Desember. Sebentar lagi pergantian tahun, 2013. Bikin resolusi baru lagi dan entah akan terlaksana dalam jangka waktu 365 hari atau tidak. Saya mau membuat perubahan. Perubahan kecil (ya seenggaknya dimulai dari yang kecil dulu :p) yang mungkin akan membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Mungkin, lho. Eh, tapi semoga. Amin.

Pertama, masalah cinta dulu nih. #A. Aaron Wang Zhao. Saya akan selalu menunggu dia. Dan dia tetap akan berada di hati saya - apapun yang terjadi - dan sekalipun dia berada di posisi kedua, ketiga atau bahkan di posisi keseratus. Pun. Jadi intinya, saya mau membuka hati saya. Buat siapa aja. Buat kucing liar di depan rumah saya, kek, buat teman sekelas saya yang itu, kek :p atau buat siapa dan apapun (yang mau masuk).

Masih masalah cinta  lagi. Another A. A yang merokok. I've been thinking over and over again, saya dan another A hanya pantas untuk menjadi seorang teman biasa. Nggak lebih. Oke, jadi nggak ada perasaan apa-apa lagi, ya walaupun kadang saya suka deg-degan kalo ngomong sama si another a XD

Masalah maut itu sudah selesai. Sekarang masalah pertemanan. Tadi ceritanya pas saya lagi nunggu angkutan umum, saya berdiri di samping teman saya yang namanya Hapsari. Dia pulangnya naik ojek. Karena angkutan umumnya nggak dateng-dateng, saya nungguin dengan setia. Dan terjadilah percakapan berikut.

H : gua tungguin deh, Lan sampe angkotnya dateng.
S : eh nggak usah, Udah, duluan aja naik ojeknya.
H : nggak apa-apa. Sendirian itu nggak enak. Kan gue ngerasain. Cengo.

JLEB

Bisa dibilang, kalau di kelas Hapsari ini anaknya introvert. Jarang bergaul karena pola pikirnya agak berbeda dengan teman-teman sebayanya. Jadi dia selalu sendirian. Ya nggak selalu juga sih. Tapi gitu deh. Kadang saya suka kasian ngeliat Hapsari yang suka diejek sama temen-temen saya di kelas. Saya tau dia sakit hati. Tapi mau gimana lagi?

Jadi, saya mau merubah jalan pikiran saya yang semakin absurd agar menjadi lurus kembali. Misalnya dengan membuka pintu hati saya lebar-lebar untuk siapa dan apapun.

Dimulai dari detik ini. Sekarang juga. Tidak harus menunggu tanggalan di kalender berubah menjadi angka 2013. Tapi dari sekarang. Yosh!

Saturday 1 December 2012

Selamat Datang Desember!


Selamat datang, Desember!

Awal Desember. Pertengahan, akhir. Akhir Desember, akhir tahun. 2013. Masih nggak rela ninggalin 2012. Banyak banget kenangan yang hinggap dan melekat di tahun ini. Diantaranya, saya lulus UN, masuk SMA, anniversary yang ke satu tahun saya kenal sama Aaron (kita masih belum punya komitmen apa-apa :p), saya punya modem baru dan saya jatuh cinta lagi.

Waduh! Hahahahahahaha, okay. Ini frase terakhir nggak penting-penting banget buat di publish makanya font-nya saya ubah jadi small. Untung bukan smallest :p HAHAHAHAH UDAHAN AH!!!

Saya mau cerita tentang seseorang. Teman. Bisa dibilang teman yang akrab banget. Namanya Rifat Agni Fedina dia baru ulang tahun tanggal 28 November kemarin. Rifat itu teman SMP saya. Kelas satu, kita sekelas, kelas dua kita misah dan kelas tiga kita sekelas lagi. Rifat duduk sebangku dengan saya waktu kelas tiga. Ada satu momen yang masih saya inget sampe sekarang, itu waktu kelas 1 SMP. Saya marahan sama Rifat. Dan ini tumben. Saya nggak tau kenapa kita bisa marahan, mungkin karena sifat saya yang moody-an atau selfish, saya nggak tau. Sekitar 3 hari lebih kita diem-dieman. Dan itu rasanya aneh. Biasanya (waktu nggak marahan), saya sama Rifat selalu foto-foto bareng, jajan bareng (tapi saya lebih sering bawa bekel hahaha) yah pokoknya silly stuffs deh.

Oke, waktu kita lagi marahan, kertas ulangan matematika saya sekitar seminggu yang lalu dibagikan. Saya dapet nilai 100. Wah, haru banget disitu. Terus Rifat manggil dari belakang terus senyum, "Wulan dapet nilai 100 ya? Selamat ya.." JLEB! Ahhhhhh Rifat gentle banget disitu. Saya bingung dan nggak tau mesti ngapain jadi saya cuma nengok, senyum maksa dan bilang "Hehe iya.." udah. Gitu doang! Nggak ada ucapan terimakasih!!


Nah, pas sampe di rumah, saya membulatkan tekad sebulat bulan purnama penuh. Saya SMS Rifat, SMSnya kayak gini,

"Walaupun kadang aku sekonyol Spongebob, sebodoh Patrick, Sejutek Squidward, Sepelit Mr.Krab dan sejahat Plankton, tapi permintaan maafku sebesar Bikini Bottom. Maafin ya!"

Waktu itu SMSnya masih pake font besar-kecil besar-kecil. Maklumin :p

Terus Rifat bales, (pretty much kayak gini hehe saya lupa.)

"Kayaknya lo pernah ngirim SMS itu deh dulu. Iya, maafin gue juga ya Lan."

Rifat itu... keren, ya? :'') Saya terharu. Beneran. Nah waktu kelas 3 kan kita sekelas dan duduk sebangku, banyak banget momen-momen yang saya sama Rifat buat. Mulai dari nyoret-nyoret buku IPS di halaman belakang, (biasanya nulis namanya Aaron), terus cerita-cerita nggak jelas sampe ngakak guling-guling, pokoknya banyak banget. Rifat juga selalu bisa bikin saya ngakak dengan mentionan-mentionan dia ke saya di Twitter atau chat di Facebook, Rifat yang selalu doain saya supaya bisa cepet ketemu sama Aaron,..

Rifat itu sesuatu. Dia salah satu teman terbaik saya selama 15 tahun saya hidup di dunia ini. Bahkan yang terbaik. Makasih ya Mr. Hwang! :* (Hwang diambil dari nama belakang idolanya, Tiffany Hwang, personil girlband asal Korea, SNSD.)



Ini foto saya sama Rifat Hwang (kiri). Ekspresinya bikin ngakak XD



Friday 23 November 2012

Lebih Lama

Dear, you. Another A.

Waktu itu, saya pernah berada di dekat kamu. Cukup lama. Bertatapan (tentu saja tatapan ini hanya berselang sepersekian detik karena saya tidak kuasa melihat pancaran mata milik kamu). Dan seketika, jantung saya berdesir. Rasanya nyeri. Nyeri tapi menyejukkan. Dan yang saya tahu saat itu adalah pernyataan bahwa,

Saya ingin memiliki kamu. Seutuhnya.
Saya hanya ingin bersama kamu lebih lama.

Bukan hanya sepersekian detik.
Tetapi sepersekian windu dan dekade. Atau mungkin lebih.
Intinya, saya ingin bersama kamu - berada di dekat kamu lebih lama.

Tapi sekarang saya tidak tahu harus mundur atau bagaimana.
You tweeted "I love you sure," couple days ago.
Dan saya bisa langsung mengira siapa you itu. Itu pasti dia. Seseorang yang kamu tunggu dan kamu harapkan. Seseorang dari masa lalu kamu. Bukan dari present atau future. Tapi dari past. Masa lalu kamu.

Jadi..., saya harus mundur?
Begitu?

Kalau bisa, saya akan mengatakan saya (pernah) menyukai kamu tanpa harus takut ditolak.
Hanya jika saya bisa.

Sudah, biarkan saja. Tak mengapa jika perasaan ini terkikis. Karena saya pernah mengatakan bahwa perasaan ini akan segera terkikis. Soon, entah kapan dan karena setidaknya saya pernah menyukai kamu. Dan saya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan dan menulis tentang kamu lebih lama dan lebih banyak lagi. Terimakasih, ya. :)

Tuesday 20 November 2012

Untitled

I love you like that - yeah, just like that. Diam-diam - memberikan kode-kode tersimpan dan memperhatikan dari jauh.

Itu cara saya mencintai seseorang. Jadi jangan heran. Saya - sungguh - sangat menikmati cara yang seperti itu. Walau saya tahu cinta kesumat ini tak akan pernah sampai dan kesempatan saya untuk terluka lagi untuk yang kesekian kali amatlah mungkin. Bahkan banyak.

Jadi..., biarkan saja saya mencintai kamu seperti ini. Tanpa balasan pun tak apa. Asalkan jangan pernah paksa saya untuk berhenti. Karena saya dan kamu sama-sama tahu kalau perasaan ini akan terkikis dengan segera. Soon. Entah kapan.

Friday 16 November 2012

Kala Itu..,

Kala itu, saya menemukan kamu. Yang sedang duduk di pojok ruangan. Dengan mata terpejam dan handsfree yang sedang menggantung di kedua telingamu. Saya melihat sesuatu terpancar dari diri kamu yang masih memejamkan mata itu. Sesuatu yang luar biasa. Lalu dengan cepat saya langsung mengalihkan pandangan. Takut ke gap sedang memperhatikan kamu.

Kala itu, - masih di tempat yang sama, saya menemukan kamu lagi. Tertidur. Dengan tas berisi buku-buku yang kamu gunakan sebagai sandaran untuk kepalamu. Saya memperhatikan kamu sekilas, lalu saya beralih lagi. Masih takut ke gap sedang memperhatikan kamu.

Setelah itu, semua hal tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Sampai belakangan saya mengetahui bahwa kamu masih ingin memiliki seseorang dari masa lalu kamu. Sudah. Berhenti sampai disitu. Tidak ada lagi acara mencuri-curi pandang ke arahmu. Sudah selesai. Semuanya. Saya mundur.

***

Lalu belakangan - baru-baru ini, saya kembali melihat sesuatu terpancar dari dalam diri kamu. Sesuatu yang luar biasa. Seperti layaknya magnet, kamu kembali menarik perhatian saya untuk kembali mencuri pandang ke arah kamu. Sampai saat ini.

***

Kala itu - kala saat saya pertama kali melihat kamu, saya sudah bisa menduga sesuatu akan terjadi pada diri saya yang dipengaruhi oleh kamu. Tapi saya menolaknya. Berusaha menyingkirkan berbagai what ifs karena saat itu hati saya sudah terlanjur dimiliki oleh orang ber-ras Mongoloid yang berada nun jauh disana. Lalu kamu kembali hadir. Ya, kamu hadir. Membawa perubahan - yang tidak lama lagi akan segera saya rasakan.

You've changed my life, another A. Sorta. Dan saya tidak tahu harus berterimakasih atau tidak. Maaf :(

Thursday 15 November 2012

Apa Kamu Tahu..? (note)

Dear, kamu. si-tanpa-huruf-A-besar.

Apa kamu tahu bahwa kamu telah sukses menawan hati saya?
Apa kamu tahu bahwa kamu satu-satunya pria yang berhasil membuat saya "mencintai" orang lain selain pria ber-ras mongoloid itu?
Apa kamu tahu bahwa kamu satu-satunya pria perokok yang dengan suksesnya menawan hati saya dan menatanya hingga sedemikian rupa?
Apa kamu tahu kalau jantung saya dapat berpacu lebih cepat dari biasanya saat tangan kita bersentuhan tanpa sengaja?
Apa kamu tahu kalau hati saya kadang berdesir saat kamu menyerukan nama saya?
Apa kamu tahu berapa banyak kata-kata yang telah saya curahkan tentang kamu dalam kurun waktu 4 hari ini?
Apa kamu tahu kalau saya pernah menangis tanpa alasan yang jelas saat saya memikirkan kamu?
Apa kamu tahu kalau saya selalu memperhatikan kamu melalui ekor mata saya?

Lebih dari itu, dan Demi Apapun yang ada di dunia ini,

Apa kamu tahu kalau saya menyukai kamu?

***

If I Should Love Again - Nina

Oh my love
You were the only one
Now you're gone and I'm alone

You left something behind. Me. -You Left Something Behind, beradadisini

All my friends
They say what's done is done
I pretend
But deep inside I know

Apa semuanya sudah berakhir? Belum. Perasaan saya belum berakhir - masih belum terlihat dimana ujungnya.


If I should love again
If I find someone new
It would be make-believe
For in my heart
It would be you


Itu akan tetap kamu, kan? Tidak akan berubah, kan? Tolong jawab "iya". Tolong. Saya maunya kamu.

And thought I hold him close
And want him now and then
I'll still be loving you
If I should love again


Karena saya akan tetap mencintai kamu. Tak peduli kamu berada di peringkat berapa di dalam hati saya. Atau setidaknya jika tiba hari itu, hari dimana saya tidak mencintai kamu lagi, ingatlah bahwa setidaknya saya pernah mencintai kamu. Sepenuh hati saya. Tanpa ada paksaan, tanpa ada tuntutan. Karena hati yang memilih.


All day long
I keep remembering
All the night
I think of you


Saya selalu memikirkan kamu. Terutama setiap malam. Sebelum saya beranjak terlelap di telan kelamnya malam. Saya selalu menyiapkan mental saya - bersiap-siap. Siapa yang tahu kalau tiba-tiba saya bermimpi tentang kamu?

All my life
You'll be the song I sing
I'll get by
But this I swear is true


But this I swear is true - waktu saya bilang bahwa saya (pernah) mencintai kamu. :)

***

What if someone had stolen your place in my heart?
What if that day has come?
What if I can't love someone like I ever was doing - to you?

***

Saya harus mengakui sesuatu.
Kamu, si-tanpa-huruf-A-besar sukses menawan hati saya. Kamu hebat, another a. Well done.

Wednesday 14 November 2012

Date A Girl Who Writes (rebloged)

Date a girl who writes.
Date a girl who may never wear completely clean clothes, because of coffee stains and ink spills. She’ll have many problems with her closet space, and her laptop is never boring because there are so many words, so many worlds that she’s cluttered amidst the space. Tabs open filled with obscure and popular music. Interesting factoids about Catherine the Great, and the immortality of jellyfish. Laugh it off when she tells you that she forgot to clean her room, that her clothes are lost among the binders so it’ll take her longer to get ready, that her shoes hidden under the mountain of broken Bic pens and the refurbished laptop that she’s saved for ever since she was twelve. 
Kiss her under the lamppost, when it’s raining. Tell her your definition of love.
Find a girl who writes. You’ll know that she has a sense of humor, a sense of empathy and kindness, and that she will dream up worlds, universes for you. She’s the one with the faintest of shadows underneath her eyelids, the one who smells of coffee and Coca-cola and jasmine green tea. You see that girl hunched over a notebook. That’s the writer. With her fingers occasionally smudged with charcoal, with ink that will travel onto your hands when you interlock your fingers with her’s. She will never stop, churning out adventures, of traitors and heroes. Darkness and light. Fear and love. That’s the writer. She can never resist filling a blank page with words, whatever the color of the page is.
She’s the girl reading while waiting for her coffee and tea. She’s the quiet girl with her music turned up loud (or impossibly quiet), separating the two of you by an ocean of crescendos and decrescendos as she’s thinking of the perfect words. If you take a peek at her cup, the tea or coffee’s already cold. She’s already forgotten it.
Use a pick-up line with her if she doesn’t look to busy.
If she raises her head, offer to buy her another cup of coffee. Or of tea. She’ll repay you with stories. If she closes her laptop, give her your critique of Tolstoy, and your best theories of Hannibal and the Crossing. Tell her your characters, your dreams, and ask if she gotten through her first novel.
It is hard to date a girl who writes. But be patient with her. Give her books for her birthday, pretty notebooks for Christmas and for anniversaries, moleskins and bookmarks and many, many books. Give her the gift of words, for writers are talkative people, and they are verbose in their thanks. Let her know that you’re behind her every step of the way, for the lines between fiction and reality are fluid.
She’ll give you a chance.
Don’t lie to her. She’ll understand the syntax behind your words. She’ll be disappointed by your lies, but a girl who writes will understand. She’ll understand that sometimes even the greatest heroes fail, and that happy endings take time, both in fiction and reality. She’s realistic. A girl who writes isn’t impatient; she will understand your flaws. She will cherish them, because a girl who writes will understand plot. She’ll understand that endings happen for better or for worst.
A girl who writes will not expect perfection from you. Her narratives are rich, her characters are multifaceted because of interesting flaws. She’ll understand that a good book does not have perfect characters; villains and tragic flaws are the salt of books. She’ll understand trouble, because it spices up her story. No author wants an invincible hero; the girl who writes will understand that you are only human.
Be her compatriot, be her darling, her love, her dream, her world.
If you find a girl who writes, keep her close. If you find her at two AM, typing furiously, the neon gaze of the light illuminating her furrowed forehead, place a blanket gently on her so that she does not catch a chill. Make her a pot of tea, and sit with her. You may lose her to her world for a few moments, but she will come back to you, brimming with treasure. You will believe in her every single time, the two of you illuminated only by the computer screen, but invincible in the darkness.
She is your Shahrazad. When you are afraid of the dark, she will guide you, her words turning into lanterns, turning into lights and stars and candles that will guide you through your darkest times. She’ll be the one to save you.
She’ll whisk you away on a hot air balloon, and you will be smitten with her. She’s mischievous, frisky, yet she’s quiet and when she has to kill off a lovely character, when she cries, hold her and tell her that it will be alright. 
You will propose to her. Maybe on a boat in the ocean, maybe in a little cottage in the Appalachian Mountains. Maybe in New York City. Maybe Chicago. Baltimore. Maybe outside her publisher’s office. Because she’s radiant, wherever she goes. Maybe even outside of a cinema where the two of you kiss in the rain. She’ll say that it is overused and clichéd, but the glint in her eyes will tell you that she appreciates it all the same.
You will smile hard as she talks a mile a second, and your heart will skip a beat when she holds your hand and she will write stories of your lives together. She’ll hold you close and whisper secrets into your ears. She’s lovely, remember that. She’s self made and she’s brilliant. Her names for the children might be terrible, but you’ll be okay with that. A girl who writes will tell your children fantastical stories.
Because that is the best part about a girl who writes. She has imagination and she has courage, and it will be enough. She’ll save you in the oceans of her dreams, and she’ll be your catharsis and your 11:11. She’ll be your firebird and she’ll be your knight, and she’ll become your world, in the curve of her smile, in the hazel of her eye the half-dimple on her face, the words that are pouring out of her, a torrent, a wave, a crescendo - so many sensations that you will be left breathless by a girl who writes.
Maybe she’s not the best at grammar, but that is okay.
Date a girl who writes because you deserve it. She’s witty, she’s empathetic, enigmatic at times and she’s lovely. She’s got the most colorful life. She may be living in NYC or she may be living in a small cottage. Date a girl who writes because a girl who writes reads.
A girl who writes will understand reality. She’ll be infuriating at times, and maybe sometimes you will hate her. Sometimes she will hate you too. But a girl who writes understands human nature, and she will understand that you are weak. She will not leave on the Midnight Train the first moment that things go sour. She will understand that real life isn’t like a story, because while she works in stories, she lives in reality. 
Date a girl who writes. 
Because there is nothing better then a girl who writes.
But I don’t like to write :(

rebloged from this

But I like - even love to write :'')

Jangan Paksa Saya Untuk Berhenti...,

Jangan paksa saya untuk berhenti menulis.
Karena itu sia-sia dan saya akan terus menulis.
Jadi maaf - maaf sekali kalau saya sering menulis - tentang kamu.
Karena hanya kamu yang selalu malang melintang di pikiran saya saat ini.
Iya, kamu. Kamu si-tanpa-huruf-A-besar.
Kamu yang tidak sipit. Dan kamu yang tadi hanya berjarak beberapa sentimeter dari saya.

Jangan paksa saya untuk berhenti memikirkan kamu, si-tanpa-huruf-A-besar.
Karena itu sia-sia. Kenapa? Karena dengan seiring berjalannya waktu, perasaan itu (mungkin) akan memudar, mengikis dan hilang.
Jadi jangan paksa saya.
Biar begini saja.

Tadi saya pikir kamu menghindar dari saya. Tapi ternyata tidak. Kamu masih seperti biasa. Santai, cuek, slengean dan lucu. Dan tadi kami juga mengobrol. Masih membicarakan hal-hal yang sepele. Dan saya menyukainya. Sungguh. Caramu tertawa, berbicara dan menyerukan nama saya.

Saya suka. Jadi jangan pernah paksa saya untuk berhenti. Berhenti menulis, memikirkanmu dan menyukaimu.

***

I don't want keep secret with me to death. But I'm afraid. Yes, the only reason is..., I'm afraid. I'm afraid to admit that I had fallen in love with you - for the second time. In a same hole. A hole named love. ***

Tuesday 13 November 2012

Selamat Malam

4 tulisan tentang diA dalam kurun waktu 2 hari.
Bagaimana kalau perasaan ini akan semakin memudar seiring berjalannya waktu?
Dan jika telah tiba hari itu - dimana perasaan saya kepada diA akan semakin memudar, saya akan tetap mengagumi diA tanpa ada yang harus dikorbankan.

Tak ada yang dikorbankan, dan tak ada cinta kesumat yang terurai.
Hanya ada saya dan diA dengan persaan yang biasa-biasa saja.

Ini tulisan terakhir saya tentang diA untuk malam ini. Masih ada hari esok, berlembar-lembar kertas dan waktu yang tersedia untuk menulis tentang kamu, si-tanpa-huruf-A-besar. Selamat malam :)))

May I?

Boleh saya memiliki senyum kamu, Another A?
Boleh saya membingkainya di dalam hati saya?

Ada puluhan foto kamu - yang jarang sekali menampilkan senyum di file komputer saya.
Dan saya ingin memilikinya.
Kamu - dan senyum "irit"mu itu.

Dan gambaran dirimu.

Yang sedang mengapit sebatang rokok di antara jari tengah dan telunjuk itu.
Yang sedang tertawa, bukan di dalam small-screen kamera saya atau foto-foto milikmu di situs jejaring sosial, tapi di dunia nyata - di dunia saya.
Kamu yang selalu bernyanyi di dalam kelas dan entah apa lagu yang sedang kamu senandungkan itu.
Kamu yang sedang menyalin catatan dan pekerjaan milik saya.

Hei, Another A. Apa kamu tidak sadar bahwa kamu selalu diikuti oleh tatapan dari ekor mata saya?
Kamu selalu menjadi objek saya, kamu tahu?
Lalu kapan saya bisa menjadi objek kamu?
Kapan-kapan.

(Tidak biasanya saya tertarik dengan pria yang merokok. Entah pesona apa yang mampu menarik saya jatuh ke dalamnya. Mungkin karena kamu baik? Hehehe)

Air (mata) Hujan

Saya sedang sibuk dengan PC saya. Sedang men-stalk twitter milik diA. Dan tiba-tiba hal itu terjadi lagi. Ini sudah yang kedua kali. For no reason, air mata saya jatuh. Padahal nggak ada yang sedih. Heran.

Lalu saya mendengar suara hujan. Nadanya yang monoton tapi tetap terdengar indah di telinga. Saya menoleh ke arah jendela, langitnya gelap. Gelap, hujan, dan beberapa lagu sendu yang mengalun lembut dari Media Player Classic. Perfect. Saya selalu suka saat-saat seperti ini. Sungguh.

Dan hujan tiba-tiba saja berhenti. Dan tanpa sadar air mata saya juga berhenti. Seperti ada suatu hubungan khusus antara saya dan hujan. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi sendu.

Tapi sayang, tak ada kamu.

Saya belum sempat mengucapkan ini jadi.., selamat musim penghujan, kamu. :)

(bukan kAmu. tapi kamu. iya, kamu. kamu tanpa huruf A besar. kamu yang itu, yang akhir-akhir ini mampu membuat hati saya menjadi sendu dan teduh. iya, kamu.)***

diA

Saya takut akan tiba suatu hari dimana saya tidak menginginkan kAmu lagi. Tapi diA.

***

Demi Tuhan, kAmu itu jauh. Sedangkan diA dekat. Saya dan diA terpisahkan oleh jarak yang hanya beberapa kilometer. Dan kAmi bisa berada sangat berdekatan saat kAmi di sekolah. kAmi hanya terpisah oleh satu meja saja. Dan kAmi bertemu hampir lima kali dalam seminggu. kAmi sering berbicara tentang segala hal. Bahkan hal-hal sepele yang tidak masuk akal.

Jadi jangan heran kalau rasa itu tiba-tiba tumbuh di dalam hati saya seiring berjalannya detik, menit, jam, hari dan segala komponen alam yang telah ikut berpartisipasi di dalamnya.

***

Tadi malam saya bermimpi tentang diA. We actually made it. Maksudnya kami sudah menjalin hubungan satu tingkatan dari sekadar seorang teman (hahahaha saya malu bilangnya). Tadi kAmi juga sempat mengobrol beberapa hal saat pulang sekolah. Pembicaraan yang tidak begitu berarti tapi masih melekat di dalam memori saya. Terimakasih, another A :)))

Sunday 11 November 2012

The Other A

Di dalam sAyA terdapat 2 A. kAmu dan diA.

kAmu dan diA sama-sama orang baik.

Setengah hati saya dimiliki oleh kAmu dan seperempatnya lagi dimiliki oleh diA. Sekarang hati saya tinggal seperempatnya lagi. Dan saya bingung harus memberikan seperempat hati saya ini untuk kAmu atau diA.

Ah, kAliAn berdua sungguh membuat saya bingung!

Tolong, saya telah jatuh hati kepada diA - untuk yang kedua kalinya. ***

Wednesday 7 November 2012

Wiper


source: google.com

Beberapa hari yang lalu saya habis dari suatu acara. Pulangnya sore, sekitar jam 5. Langit sudah mendung. Gelap. Satu dua tetes hujan sudah turun. Waktu saya masuk mobil masih belum hujan. Tapi gerimis. Dan waktu maghrib sudah beranjak naik, hujan turun. Cukup deras. Tapi masih menyisakan kelabunya langit dan putihnya awan yang menggumpal - membelah langit.

Lalu saya melihat wiper. Perhatian saya tertuju pada sepasang wiper yang bergerak ke kanan dan ke kiri di kaca depan mobil. Dan saya berpikir, "Wiper itu hebat. Mereka pantang menyerah. Mereka tetap bekerja - bergerak dari kiri ke kanan, berusaha untuk menghapus hujan dari kaca mobil." Konyol, memang. Tapi wiper itu memang hebat!

Malam makin beranjak naik. Hujan sudah berhenti tetapi masih menyisakan rintik dan kubangan air di atas aspal yang bolong. Dan wiper masih dengan setia bergerak ke kanan dan ke kiri - memenuhi tugasnya.

Sunday 4 November 2012

Langit Biru dan Musim Semi


Hanya satu pintaku,
'tuk memandang langit biru
di pangkuan hangat milikmu.***

Disana sedang musim semi, kan? Wah, kebetulan sekali. Pasti warna langitnya cerah. Biru cemerlang. Hanya ada goresan awan tipis disana-sini. Pintaku hanya satu. Untuk memandang langit biru di pangkuanmu. Eh, ada satu lagi permintaanku. Memilikimu. Selalu.

Glenn Fredly - Kisah Romantis



Pagi! Kemarin ceritanya saya sama temen saya, Virnanda Ardi lagi galau. Eh, salah. Lagi iseng gitu deh pokoknya. Terus tiba-tiba sebuah ide untuk meng-cover lagunya Glenn Fredly yang berjudul Kisah Romantis terlintas di benak teman saya ini. Jadilah kita meng-cover lagu ini :D Pribadi, saya suka sama lagunya. Suka banget muehehe tapi kalau masih ada salah-salah sedikiiiiit, kami mohon maaf.

Btw, di video ini muka saya gitu banget :|

Sunday 28 October 2012

Untitled

Saya maunya sama kamu. Sungguh! Saya nggak mau sama yang lain. Cuma sama kamu saya bisa merasakan desiran dan getaran aneh di dalam diri saya. Cuma sama kamu saya bisa menjadi seperti sekarang. Kalaupun saya tidak bisa bersama kamu sekarang, saya akan menunggu lagi.

Mau, ya kamu nungguin saya? Supaya kita saling menunggu.

10 atau 15 tahun lagi. Mungkin bisa kurang, mungkin bisa lebih.

Mungkin.

Saturday 27 October 2012

Maaf

rindu /rin·du/a 1 sangat ingin dan berharap benar thd sesuatu.

cinta /cin·ta/ a 1 suka sekali; sayang benar.

sayang 1 /sa·yang / a kasih sayang (kpd); cinta (kpd); kasih (kpd); 2 v sayang akan (kpd); amat suka akan (kpd); mengasihi; mencintai.

Definisi kata rindu, cinta dan sayang bisa dengan mudah saya temukan di kamus. Mudah. Dan saya juga dapat mendefinisakan ketiga kata itu saat saya melihat kamu. Lho, memangnya saya pernah melihat kamu?

Pernah!

Di setiap kata yang saya rangkai menjadi kalimat, saya selalu terbayang wajahmu. Yang oriental, dan dengan rahang-rahang yang menonjol. Dan juga di setiap lagu pengantar tidur yang selalu berkumandang dari radio usang itu--wajahmu selalu terbayang! Aduh, saya tidak sabar. Doraemon, mana mesin waktunya? Atau setidaknya pinjamkan saya pintu kemana saja-mu.

Saya mohon.

Karena rasa rindu, cinta dan sayang saya sudah tidak tersematkan lagi.***


Maaf  ya saya selalu menulis tentang kamu. Saya pernah membaca sebuah kutipan novel, tulis apa yang sedang kamu pikirkan. Karena saya selalu memikirkan kamu, jadi...?

Maaf ya. Suatu saat nanti saya akan menebus kesalahan saya dengan memberimu tiga definisi rasa yang sudah tersemat di dalam dada saya. Rasa yang sudah lama tersemat. Untuk kamu. Hanya untuk kamu. Karena sesungguhnya rasa ini milik kamu - dan juga saya. Milik kita berdua.

Maaf karena sudah dengan lancangnya saya menulis tentang kamu. Tanpa seizin kamu. Suatu saat, saya janji saya akan mengirimkan tulisan-tulisan saya untuk kamu. Bersamaan dengan datangnya koran dan botol-botol susu itu. Hanya untuk kamu. Karena tulisan saya ini memang hanya untuk kamu.

Thursday 25 October 2012

Something Black Named Coffee

Saya nggak tau kapan tepatnya saya suka kopi. Dulu saya sering buatin almarhum ayah saya kopi. Setiap hari setelah beliau pulang dari kantor. Saya suka membuatnya. Mengaduk kopi dan gula agar berbaur menjadi satu di dalam cangkir beling yang bening. Saya suka melihat kepulan asap kopi yang disertai dengan aroma kopi yang luar biasa menenangkan. Saya suka melihat pusaran air di permukaan cangkir yang berbentuk spiral bersamaan dengan serbuk-serbuk kopi yang belum larut.

Singkatnya, saya telah jatuh cinta pada kopi!

Tapi belakangan ibu saya yang selalu melihat saya sibuk di dapur dengan cangkir, ceret, dan stoples yang berisi kopi dan gula berkata; "Jangan suka minum kopi, dek. Masih muda udah suka ngopi. Nanti cepet tua, lho." Aduh, ibu, maaf. Saya sudah terperosok jauh dalam pesona kopi. Pesonanya yang hitam dan anggun. Dan seperti saat ini - saat awan-awan kelabu yang terlihat seperti kapas menggantung di sudut-sudut langit, saya benar-benar membutuhkan kopi.

Seorang novelis pernah memosting sebuah foto yang memperlihatkan secangkir kopi dan me-tweeted;


You, beautiful liquid of happiness.



Never too late..,

For a...,
  



Kopi. Terima kasih, ya.

Monday 22 October 2012

Tentang Rasa yang Lebih Besar

"Cinta bukanlah benda padat. Ngerti kamu?"
"Mengapa seorang pria bisa mencintai wanita, dan sebaliknya, walaupun jauh sebelumnya mereka tidak memiliki perasaan apa-apa sama sekali? Sebabnya ya, karena cinta itu seperti air, selalu mengalir untuk mengisi ruangan yang kosong. Ruangan yang kosong itu adalah hati manusia."
"Jangan lupa kalau air hanya mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Cinta juga begitu. Makanya, jika kamu ingin dia mencintai kamu, maka cinta kamu kepadanya harus jauh lebih tinggi."
-Here After: 96-97, Karya Mahir Pradana.

Masalahnya, sampai saat ini saya nggak tahu bagaimana perasaan orang itu kepada saya. Lebih tinggikah? Lebih rendahkah? Atau malah tidak memiliki perasaan kepada saya sama sekali?

Aduh, kamu itu susah ditebak. 
Perlu diingat kalau saya itu bukan Sherlock Holmes yang suka menyelesaikan kasus-kasus.
Saya hanyalah seorang gadis kecil yang sedang mencari jalan untuk pulang.
Pulang ke hati kamu.***

Sunday 21 October 2012

Tentang Perjalanan

I will travel far.
Around the world.
With you.
Both. Together.
-Me



Dari dulu saya punya ambisi untuk menaklukan dunia.
Minimal keliling dunia dulu, deh. Baru menaklukan.
Tapi sekarang saya punya ambisi baru.

Menaklukan kamu.
Memenangkan hati kamu.

Setelah saya berhasil menaklukan kamu,
Kita berdua akan pergi mengelilingi dunia--menaklukan dunia.
Berdua. Bersama-sama.

Dunia berada di dalam genggaman kita.
Kita juga sedang mengenggam sesuatu.
Sesuatu yang biasa dipanggil cinta.

Ayo kita keliling dunia!

Thursday 18 October 2012

Fajar dan Jingga

Saya selalu bertemu dengannya dimana-mana. Di koridor, di cafetaria, di halte, di perpustakaan. Dia tidak melihat saya—mungkin. Tapi saya melihatnya dan ia selalu terlihat sibuk dengan buku-buku yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil. Sebenarnya saya tidak tega. Ingin rasanya saya menghampiri dan membantunya membawa buku-buku itu. Tapi rasanya saya tidak bisa. Kaki saya seperti terpasung.

Suatu ketika, sehabis bertarung dengan hipotesa-hipotesa sialan yang diberikan oleh dosen, saya pergi ke cafetaria. Sekadar membeli minuman dan sepiring nasi untuk mengganjal perut yang sudah meraung-raung untuk diisi. Dan saya melihatnya, lagi. Bagai sebuah penyejuk di gersangnya gurun kehidupan saya, saya merasa seperti hidup kembali. Semua perasaan kesal saya pun ikut hilang. Dia duduk di pojok cafetaria. Masih dengan buku-buku tebal yang entah bercerita tentang apa. Ia sedang membaca. Ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia bahkan tidak merasa terusik dengan suara menggelegar sekelompok gadis-gadis yang sedang bergosip di sebelahnya. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran saya. Hampir satu menit penuh saya berdiri memandangnya di dalam pintu cafetaria. Entah saya yang terlalu berlebihan—sampai memandanginya seperi itu atau memang ia adalah seorang gadis yang luar biasa sampai-sampai saya memandanginya seperti itu?

***

Hari ini hari Minggu. Saya terbebas dari mata kuliah yang seakan-akan ingin membunuh saya. Dan hari ini saya berniat untuk bermeditasi di dalam rumah sepanjang hari. Saat itu pukul dua siang saat saya sedang dengan nikmatnya menyantap beberapa seri komik manga terbaru kesukaan saya. Lalu tiba-tiba ponsel saya berdering menandakan adanya pesan singkat yang masuk. Dari teman saya. Dia menyuruh saya untuk menemaninya ke distro milik keluarganya untuk memeriksa beberapa item yang baru datang. Tadinya saya ingin menolak. Tapi tidak jadi. Saya mengiyakan ajakannya.

Sinar matahari begitu terik sampai-sampai saya harus menghalaunya menggunakan sebelah tangan. Saya baru ingin masuk kedalam distro milik keluarga teman saya itu sampai sebuah suara dentuman keras menyita perhatian saya. Para warga yang berada di dekat situ langsung berlari berhamburan menuju suara dentuman itu berasal. Ada yang ketabrak, katanya. Perempuan. Kayaknya masih kuliah. Teman saya berlari kecil ke kerumunan warga yang sedang melingkari sesuatu. Mungkin sedang mengerumuni korbannya, pikir saya. Saya tidak ikut masuk kedalam kerumunan itu. Terlalu pengap. Lalu mata saya tiba-tiba tertuju pada suatu hamparan di dekat kerumunan warga. Beberapa buah buku yang terhampar. 

Buku-buku yang saya kenal. 

Keringat dingin mulai mengucuri dahi saya. Saya tidak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sedang saya pikirkan saat ini. Saya berusaha untuk berpikir dengan jernih dan menepisnya, tetapi tidak bisa. Lalu akhirnya teman saya keluar dari kerumunan itu dan menghampiri saya.

Udah meninggal. Nggak bisa ditolong lagi. Katanya tabrak lari. Muka korbannya familiar banget. Dia satu kampus sama kita.

Demi Tuhan, bukan itu yang ingin saya dengar!

Jantung saya berdegup kencang. Saya memberanikan diri menerobos masuk ke dalam kerumunan warga. Tidak memperdulikan betapa pengapnya dan kurangnya asupan oksigen yang saya dapat di dalam kerumunan itu. Saya tercekat. Ternyata dugaan saya benar. Kemungkinan-kemungkinan aneh yang saya pikirkan tadi ternyata benar.

***

Belakangan ini saya mengetahui namanya. Jingga.

Gadis luar biasa itu, gadis yang bernama Jingga, gadis yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri, gadis yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil dengan buku-buku tebal itu, gadis yang selalu saya temui di koridor, cafetaria, halte dan perpustakaan, gadis yang mampu menyita pandangan saya selama satu menit penuh, gadis yang tidak pernah menyadari kehadiran saya itu..,

Kini sudah tidak ada lagi jingga yang seperti itu. Karena sekarang Jingga sudah padam ditelan oleh gelapnya malam.

Saya menemui suatu hubungan dalam nama kami berdua. Fajar dan Jingga. Fajar yang telah padam ditelan oleh Jingga dan Jingga yang sudah padam karena tertelan habis oleh kelamnya malam.

Karena sesungguhnya tidak akan pernah ada Jingga sebelum Fajar dan tidak akan pernah ada Fajar sebelum Jingga dan kelamnya malam.

Monday 15 October 2012

Kopi


“Sejak kapan kau mulai tergila-gila dengan kopi?” 

“Sejak aku kecil, mungkin? Entahlah. Mungkin saat aku berumur 15 tahun.” 

“Kau bercanda? Berapa cangkir kopi yang sudah kau minum hari ini?” 

“Sekitar 4 atau 5 gelas..? Ah, sudahlah. Aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah bahwa aku menyukai kopi. Itu saja.” 

***

Sky berdiri di depan sebuah gerai kopi di sudut kota. Ia menatap kedalam gerai. Kakinya seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tidak bisa bergerak. Tapi keinginannya untuk menyesap secangkir kopi sangatlah besar. Ia melirik jam tangannya. Masih pukul delapan. Belum terlalu larut untuk mampir sebentar.

“Kau tahu, sulit rasanya menghentikan suatu kebiasaan yang sudah kita lakukan sejak lama.” Sky menoleh ke arah suara. Seorang pria dengan kemeja biru sedang berdiri di sebelahnya.

Sky mengangguk dan menghela nafas panjang. “Kau benar. Did Karin tell you?

Kali ini gantian pria itu yang mengangguk. “Iya. Karin memberitahuku tadi.”

“Baiklah,” Sky memutar badannya sehingga ia dan pria itu berdiri berhadapan. “Aku harus pulang sekarang. Aku duluan.” Sky berubah pikiran. Ia tidak jadi mampir ke gerai kopi itu. Bisa gawat urusannya jika pria ini memberitahu Karin nanti. Sky lalu berbalik dan pergi meninggalkan pria itu.

“Hei, Sky. Kau tidak usah memaksakan diri.” Seru pria itu dari kejauhan. Sky menoleh dan tertawa. Lalu ia mengepalkan sebelah tangannya ke udara. Pria itu balas mengepalkan sebelah tangannya juga.

***

Sky butuh kopi. Apa yang bisa ia lakukan tanpa kopi? Oh, astaga. Tapi ia tidak ingin penyakit gastritis ini semakin menyerangnya. Gastritis memang bukan penyakit yang berbahaya—setidaknya itu yang dokter katakan. Tapi Sky tidak pernah merasa baik-baik saja saat penyakit musiman itu melandanya. Kurangi kafein, katanya. Hindari stres yang berlebihan, katanya. Banyak makan-makanan berkabohidrat, katanya. Katanya, katanya, katanya.

Pukul sebelas malam. Layar ponselnya berkedip. Ada sebuah pesan masuk. Dari Karin.

Hanya pesan singkat biasa. Karin hanya menyuruhnya untuk beristirahat yang cukup. Tidak ada secangkir kopi lagi untuk hari ini. Sky mendengus. Ia melempar ponselnya ke ranjang, berjalan ke dapur, mengambil satu kotak besar es krim dan melahapnya dalam porsi besar.



“Sky!” Sky mendongak. Ia menyipitkan matanya dan melihat seorang pria menghampirinya.

Hey. Have a seat.” Sky mempersilakan pria itu untuk duduk di hadapannya dan ia kembali mengaduk-ngaduk cangkir kopinya.

“Apa yang kau minum? Kopi? Bagaimana kalau Karin melihat ini?” tanyanya. Sky tertawa kecil.

“Tidak apa-apa. Lagipula aku belum minum kopi tadi pagi.”

“Sebenarnya, apa gastritis itu parah? Separah apa?” Sky mendongak lagi dan tatapan mereka berdua bertemu. Lalu Sky buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Tidak terlalu parah. Kau hanya merasakan suatu manuver di dalam perutmu. Lalu akhirnya cairan keruh itu keluar—jangan tanya apa karena aku tahu kau sudah bisa menebaknya.” Pria itu tertawa. “Lalu kau akan merasa baikan. Tapi tiba-tiba manuver itu terjadi lagi. Padahal perutmu sudah terasa kosong. Sudah tidak ada lagi yang bisa kau keluarkan tapi tetap, cairan keruh itu keluar lagi. Dan akan tetap begini sampai kau mengimbanginya dengan karbohidrat.” Sky menyesap kopinya. Tapi pria itu masih memperhatikan gerak-gerik Sky.

“Tapi aku benar-benar tidak apa-apa. Sungguh. Kata dokter penyakit ini tidak parah. Dan aku hanya disuruh untuk mengurangi asupan kafein.”

“Kau tahu, dulu aku perokok berat.” Kali ini giliran Sky yang menatapnya tidak percaya.

“Benarkah?” Pria itu tersenyum melihat gestur tubuh Sky yang penasaran.

“Ya. Dan aku berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan itu. Aku bahkan sampai mengunyah permen karet tiap kali aku ingin merokok. Lucu, ya? Tapi sekarang aku sudah bersih. Aku sama sekali tidak merokok barang satu hisap pun.” Ujar pria itu. Lalu mereka berdua terdiam.

“Aku tidak tahu apa aku bisa mengurangi asupan kafein dalam sehari.” Ujar Sky rendah.

“Kenapa tidak?” tanya pria itu.

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa? Semua bisa jika ada kemauan dari diri kita masing-masing.”

“Masalahnya,” Sky menggigit bibirnya. “Masalahnya, bagaimana kau bisa berubah kalau dirimu sendiri tidak mengizinkan kau untuk berubah? Bagaimana aku bisa berubah jika diriku sendiri menolak dengan adanya perubahan dan bagaimana aku bisa berubah kalau aku sendiri tidak punya kemauan untuk berubah?”

Pria itu tertegun. Baik ia dan Sky sama-sama tidak bisa menjawab. Waktu rasanya seperti berhenti. Hanya kepulan asap kopi yang bergerak. Bergerak dalam diam dan akhirnya menguap begitu saja di udara. Seakan menjawab pertanyaan mereka berdua.