Wednesday 26 December 2012

Romantically Apocalyptic Syndrome

Jadi ceritanya saya lagi kena sindrom Romantically Apocalyptic.

Yang nggak tau Romantically Apocalyptic itu apa, bisa langsung klik di sini atau langsung ke web-nya di sini.

Sebenernya saya udah tau RA ini dari temen saya Aghnia waktu kelas 9. Dan saya mulai baca RA. Pertama-tama lumayan excited. Tapi lama-lama saya nggak baca lagi. Mungkin karena nggak ngerti (komiknya pake bahasa inggris) dan mengingat kalau kemampuan vocabulary saya masih pas-pasan banget, akhirnya saya berhenti baca.

Dan entah kenapa, sekitar 4 hari yang lalu, saya mulai tertarik baca RA lagi. Saya terakhir baca pas di chapter 40-an. Waktu kelas 9. Terus saya memutuskan untuk baca lagi dari awal. Dan............... I loved it XD Banget. Makanya saya bilang saya jadi kena RA syndrome. Apalagi sama Snippy :3. Snippy itu ganteng, walaupun mukanya cuma keliatan setengah muahaha. Ini nih si Snippy :3

 

Dan ini  chapter kesukaan saya. Yang sukses bikin saya ngakak tengah malem





RA ini komik strip yang akan terus diupdate. Sekarang baru sampe chapter 117. Tapi tungguin aja, pasti bakal diupdate terus kok. Pokoknya harus baca. Komik gila yang pernah saya baca. Absurd. Random parah.

Dan ini efek yang timbul karena RA Syndrome.

 


Dan ini, editan tergila yang pernah saya buat.

 

Oke, sekian. Selamat malam! Semoga saya mimpiin Snippy malam ini XD


Saturday 22 December 2012

Selamat Hari Ibu

 

22 Desember.. Selamat hari ibu untuk seluruh ibu dan calon ibu di Indonesia. Kenapa 'hanya' Indonesia? Karena yang saya tau hari ibu di belahan dunia lain itu bukan sekarang. Sekitar bulan Mei. Tanggal 8 kalau nggak salah.

Dan pastinya, ucapan Selamat Hari Ibu bertebaran di Twitter dan Facebook. Bahkan di media lain. Saya bingung ngucapin Selamat Hari Ibu sama ibu saya gimana. Jadi saya memutuskan untuk bersikap kalem sepanjang hari ini (dan kalau bisa sampai hari seterusnya). Nggak bikin ibu saya kesel, nggak bikin ibu saya marah sampe-sampe kita berdebat XD (saya sering debat sama ibu saya. Terutama masalah pendidikan. Tenang, ini debat yang sehat kok :p) pokoknya bikin ibu saya seneng!

Dan saya yakin. Yakin seyakin-yakinnya kalau ibu saya itu tau bahwa saya sayang dan cinta sama beliau. Itu karena ada ikatan batin antara seorang ibu dan anaknya /oke ini mulai ngasal/ Saya cinta sama ibu saya. Sama Ayah saya juga. Sama kakak saya juga, deh (walaupun kadang suka ngeselin hahahaha), saya sayang keluarga besar saya dan saya sayang sama semua komponen alam semesta yang udah ikut berkonspirasi di dalam hidup saya.

Jadi.., Selamat Hari Ibu!


ini foto saya sama ibu saya. Ini foto lama. Saya jarang foto sama ibu saya :p

Sekali lagi, Selamat Hari Ibu! Spread the words, spread the love. Love youuu♥


Monday 17 December 2012

Hujan Desember

"This is bull." erang Nadine. Kedua matanya memerah. Ia menopangkan kedua tangan di dagunya. Berpikir keras. "Ash, gimana, dong?"

Ashqa yang sedang berjalan menghampiri tempat duduk Nadine sambil membawa croissant dan dua gelas earl grey melongo. "Apanya?"

"He asks me to go.., tonight. I just wonder if he does have brain." Nadine memijat pelipisnya. Ashqa tertawa lalu duduk di hadapan Nadine.

"Santai, Dine. Mungkin dia cuma mau menyelesaikan masalah yang belum selesai. Who knows? I mean, mungkin dia sudah berubah." ujar Ashqa sambil memotong bagian croissant-nya.

Nadine menggedikan kedua bahunya. Meraih telinga cangkir earl grey-nya lalu menyesapnya perlahan. "Hei, Ashqa. Yudha pulang hari ini, kan?"

Ashqa menatap Nadine lalu mengangguk. Raut wajahnya berubah. "Iya. He texted me. Katanya pesawat delay. Mungkin Maghrib baru sampai sini. Gue nggak tahu..." Ashqa tertawa.

Hari ini, Yudha Fatar Ariffian-- Semua orang memanggilnya Yudha atau Arif tetapi Ashqa lebih suka memanggilnya Fatar--kekasih Ashqa kembali ke Jakarta. Ia sedang meraih gelar sarjana hukum di UGM. Sudah 4 bulan Ashqa tidak melihat Fatar. Selama ini mereka hanya dipertemukan lewat Skype dan Ashqa belum puas.

"Nanti mau jemput dia? Atau gimana?" tanya Nadine. Ashqa mengangguk lagi.

"Gue mau jemput dia. Udah lama juga nggak ketemu. Mau ikut sekalian? Kali aja Fatar juga kangen sama Nadine. Siapa tahu?" Kali ini gantian Nadine yang tertawa.

"Memang gue siapanya Yudha?" tanya Nadine di sela tawanya. "Um, mungkin lain kali. Hari ini banyak kerjaan. Tapi janji, ya, kapan-kapan ajak dia makan siang bareng."

"Sure." ujar Ashqa tersenyum. "Eh, Nad. Duluan, ya. Takut macet. See you tomorrow." Ashqa melangkah keluar dari dalam cafetaria. Ia mendengar Nadine berkata setengah berteriak,

"Take care, Hun."

***

Bandara petang itu sangat ramai. Banyak orang berlalu-lalang di terminal kedatangan. Ashqa mengedarkan pandangan ke seluruh bagian terminal. Tidak menemukan yang ia cari, Ashqa segera menepi dari kerumunan dan menelepon seseorang. Fatar. Tersambung. Dering pertama, kedua, ketiga sampai dering kesepuluh tak ada jawaban.

Nyaris putus asa, Ashqa mencoba lagi. Dering pertama, dering kedua, dan di dering ketiga terdengar suara berat dari seberang sana.

"Fatar? Fatar di mana? Aku lagi di..., eh bentar, bentar.., aku lagi di depan Burger King. Fatar kesini aja. Aku tunggu....., halo--Fatar? Aduh nyambung nggak, sih? Kok nggak dijawab...? Fat-....." Ashqa mendengus saat sambungan teleponnya terputus - atau entah Fatar sendiri yang memutusnya.

Ashqa kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saat Ashqa ingin beranjak pergi, seseorang menahan lengannya. Ashqa menoleh. Matanya melebar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebersit keharuan terpancar dari sinar matanya.

"Fatar?"

***

Saat keluar dari terminal kedatangan, Fatar sudah menangkap sosok gadis itu. Dengan rambut hitam lurus sepunggung dan poni yang dijepit begitu saja ke atas dan menyisakan beberapa helai di dahinya. Di dalam balutan blouse berwarna putih yang dimasukkan ke dalam rok selutut berwarna cokelat dan sepatu flat berwarna cokelat tua.

Gadis itu menepi keluar dari kerumunan orang-orang di dalam terminal. Gadis itu meraih ponsel dan menempelkannya di telinga. Gadis itu terlihat bingung. Ia mengigit bibir. Lalu berusaha menelepon sekali lagi.

Fatar tersadar. Gadis itu berusaha meneleponnya. Fatar merogoh saku kemejanya. Ponselnya bergetar. Benar saja. Ashqa calling. Fatar menekan tombol answer. Berkata 'halo' lalu sedetik kemudian suara gadis itu menggema di kedua telinganya. Ada kerinduan di dalam suara itu. Dan Fatar tahu - bahkan selalu tahu. Kedua sudut bibir Fatar terangkat. Ia tidak menanggapi celotehan gadis itu. Ia hanya tersenyum sambil berjalan menemui gadis itu. Fatar merindukan gadis itu. Gadis yang bernama Ashqa.

Kini Fatar sudah berdiri tepat di belakang Ashqa yang memunggunginya. Fatar memutuskan sambungan telepon. Ia bisa mendengar gadis itu berkata sesuatu yang berupa gerutuan. Saat gadis itu hendak berjalan pergi, Fatar menahan lengannya. Gadis itu menoleh. Matanya melebar tidak percaya. Ada sebersit kerinduan di matanya.

"Fatar?" bisik gadis itu lirih.

"Hey, I'm back." bisik Fatar. Ashqa masih terdiam di tempatnya berdiri. Sebelah tangannya masih  berada di dalam genggaman Fatar.

Ashqa berusaha melepaskan genggaman tangannya dari genggaman tangan Fatar yang tidak seberapa kencang itu. Ashqa menatap Fatar nanar. "Welcome back." bisiknya getir. Fatar segera merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Fatar bisa merasakan bahunya mulai basah. Ashqa menangis. Fatar tahu karena sejak tadi gadis itu berusaha keras menahan tangis. Lalu Fatar mengelus punggung Ashqa yang gemetar hebat.

"It's okay. Jangan nangis, dong. Aku maunya disambut dengan senyum. Bukan tangisan. Ashqa..," pelukan Ashqa mulai mengendur. Fatar tahu Ashqa tidak menginginkannya. Fatar tahu Ashqa ingin tetap memeluk Fatar. Dan Fatar juga ingin tetap memeluk Ashqa.

"Sekarang, hapus air matanya." Fatar menyodorkan saputangan berwarna putih dan bermotif garis-garis kepada Ashqa.

"Ashqa mau makan dulu?" tanya Fatar setelah tangis Ashqa mulai mereda.

Ashqa mengangguk. "Tapi nggak di sini. Nggak apa-apa, kan?"

Fatar tersenyum sambil mengelus kepala Ashqa. "Terserah Ashqa. Ashqa 'kan tau sendiri aku doyan makan. Jadi nggak masalah."

"Fatar suka makan tapi nggak gemuk-gemuk. Curang." sungut Ashqa. Fatar tertawa mendengar gadisnya merengut.

Fatar melirik jam tangannya. Lalu kembali menoleh pada Ashqa. "Shalat Maghrib dulu, yuk. Takut nggak sempat."

Ashqa melirik ke arah jam tangannya lalu mengangguk. "Aku lagi nggak shalat. Tuh, di sana ada mushallah." Fatar mengangguk lalu segera berjalan ke arah mushallah itu. Mushallah itu sepi. Hanya ada segelintir orang di dalamnya. Ashqa duduk di bagian depan mushallah.

"Aku titip, ya." Fatar menaruh ransel dan kopornya di samping tempat duduk Ashqa. Ashqa mengangguk. Ia memperhatikan Fatar yang sedang mengambil air wudhu di pojok mushallah.

Ashqa menghela nafas. Ponselnya bergetar. Dari Nadine.

Hei! Udah ketemu Yudha? Ashqa membalas, udah.dia lagi shalat. mau titip salam? kurang dari 30 detik, ponsel Ashqa bergetar lagi. make sure you will. ajak dia makan siang bareng dong. Ashqa tersenyum. Lalu membalas lagi, i will, Nad. thanks for being such a good friend.

Saat Ashqa selesai membalas pesan dari Nadine, Ashqa melihat Fatar sedang berjalan menghampirinya.

"Fatar, tadi Nadine nitip salam buat Fatar. Terus dia ngajak kita makan siang besok."

Fatar tersenyum sambil mengenakan Converse-nya. "Sounds good. Tapi aku juga lapar sekarang. Yuk." Fatar berdiri. Meraih ransel dan kopornya di sisi bangku. Ashqa ikut berdiri. Ashqa menggenggam sebelah tangan Fatar yang bebas.

***

"Fatar, aneh nggak, sih. Cuma aku satu-satunya yang manggil kamu Fatar. Padahal yang lain manggil kamu Yudha atau Arif. Bahkan Bunda manggil kamu Yudha. Keluarga kamu juga, kan?"

Fatar tertawa. "Memangnya Ashqa nggak suka manggil aku Fatar? Lagipula aku seneng, kok. Cuma Ashqa satu-satunya yang manggil aku Fatar. It makes you special, you know." Ashqa tersenyum dan menunduk.

"Ngomong-ngomong, kita mau makan di mana?" tanya Fatar sambil memperhatikan argo taksi yang semakin naik.

"Di rumah. Bunda masak spesial. Bunda tau kalau Fatar pulang hari ini. Jadi Bunda mau ngerayain kepulangan Fatar ke Jakarta."

"Yang benar? Wow, I should thank much to Bunda, then." Fatar tertawa. "Eh, tapi ke rumah aku dulu, ya.  Mau ngambil mobil. Jadi nanti aku pulangnya gampang. Aku juga belum ketemu Papa sama Adit."

"Yaudah, nggak apa-apa, kok." Ashqa menoleh ke arah Fatar. Tersenyum. Lalu pandangannya beralih ke luar jendela.

"Hey, it starts to drizzling. Hujan pertama di bulan Desember.." sahut Ashqa riang. Ia kembali menatap Fatar. Sedikit memiringkan kepalanya. "Kenapa?"

Fatar menggeleng. "No," ujarnya. "Kamu suka hujan. Dan aku suka itu."

"The way I love rain...? Or the way I love you?" ujar Ashqa tertawa.

"Both." Jawab Fatar singkat. Ashqa mengangguk. Jawaban seperti itu saja sudah cukup. Ia menyandarkan kepalanya di sebelah bahu Fatar. Memperhatikan jalanan yang basah karena rintik hujan.

Ashqa akan sangat merindukan Fatar. Sekarang, nanti dan selamanya. Juga hujan pertama di bulan Desember ini. Itu pasti.

***

Thursday 13 December 2012

Kakak.

Kak! Tau nggak, sih? Sekarang saya jadi suka nulis puisi lho, Kak. Dan puisi itu sebenernya *ehem* buat kakak.

Dulu saya nggak bisa bikin sajak atau puisi gitu, Kak. Pasti nggak rima dan jadinya aneh. Saya pernah baca di novel Here After, "ryhmes make good poem." gara-gara puisi sama sajak saya nggak ber-rima, berarti puisi saya belum bagus. Dan waktu itu saya bikin puisi sama sajaknya masih pakai bahasa Indonesia. Belakangan saya mikir, "saya belum hebat kalau belum bisa bikin poetry pake bahasa Inggris." Kesannya aneh, ya? Bukannya saya nggak suka sama bahasa Indonesia lho, Kak. Tapi ya gitu deh hehehehe.

Saya mulai bikin puisi atau sajak singkat yang *ehem* ditujukan buat kakak ini sekitar dua hari yang lalu. Idenya datang tiba-tiba gitu, Kak. Masih belum bagus, sih hehe tapi itu dibuat pake bahasa Inggris :3 dan saya seneng! Puisinya dibuat waktu malam-malam, Kak. Sebelum saya tidur. Tapi nggak masalah kalau saya posting puisinya jam segini. Yang penting, kan bukan waktunya. Tapi kerja kerasnya, maknanya dan... kakaknya.


A star's shining above the sky
Making me who sees it cry
Cry because I can't find any ways,
Any ways to get in into your sweet deepest eyes


Itu puisi pertama saya buat kakak. 2 hari yang lalu.
Dan ini tulisan ringan tentang kakak. Dibuat pada hari yang sama juga. 2 hari yang lalu.

I love your eyes behind that glasses' frame
I love your voices. It's heartwarming
I love your bag - with superman's logo. A red one
I love your watch in your left hand
I love your chubby cheek
I love your way when you walk in corridor - leave a misery girl in the side with much heart-attacked

Kalau ini puisi yang saya buat kemarin malam.

Hey, you
Mr.Who-Wears-Glasses in social two
I adore you
And I know I do

Satu lagi. Puisi ini saya buat kemarin malam juga. Dan saya suka banget sama puisi ini.

Welcome to your thousand nights
Go Sleep in peace and tight
Because tomorrow I'll start to write
When everything in you's getting right

-o-

Sunday 9 December 2012

Changes

I've been here for one year. And it seems like I don't post my photos that much. So, now, I'll make a change XD



Left to right: Alri, Rifat, Aghnia, Me. It was taken on grade 9 when we were having soo much assignments to do and we decided to made a change. Crazy poses are one of the ways :p


Bwek.



Webcam sessions. Left to right: Rifat, Alri, Tika, Me.


Waiting for Bunda's birthday. Photo session is a must! Left to Right: Yayan, Alfi, Artha, Me.


Ugly faces. Love thissss~~ XD Left to right: Cici, Tio, Nikita, Me.

Changes. People change. They do it all the time. Mine, too. Changes aren't always that bad, though. Yoshhh!!

ps: I didn't realize that I've always on right side in every photo sessions :L and got much cropped.

Dulu

Saya rindu dulu.

Dulu, waktu saya masih kecil. Waktu saya tidak perlu memikirkan hal-hal yang rumit. Yang saya pikirkan hanya permen, cokelat dan mainan.
Dulu, waktu saya masih mempunyai sebuah boneka bebek bernama Belu yang selalu saya bangga-banggakan.
Dulu, waktu bacaan saya sehari-hari hanyalah komik Crayon Shinchan, Doraemon dan Majalah Bobo.
Dulu, waktu saya masih bisa meminta ini-itu dengan mudahnya.
Dulu, waktu saya tidak peduli dengan adanya pengaruh globalisasi.
Dulu, waktu saya mendapat peringkat 3 besar di Sekolah Dasar.
Dulu, waktu saya selalu menganggap daun-daun kering di halaman rumah merupakan mainan terbaik untuk dijadikan makanan.
Dulu, waktu dengan bangganya saya memamerkan koleksi stiker dan koleksi uang kuno kepada teman-teman saya.
Dulu, waktu pertama kali saya mulai menulis.
Dulu, waktu pertama kali saya membaca novel.
Dulu, waktu saya pergi ke tempat peminjaman komik untuk meminjam komik One Piece, Detektif Conan, Master Q, Crayon Shinchan dan Kungfu Komang.
Dulu, waktu saya punya Mega, Koneng, si-Tanpa-Nama, Cing, Tim-Tam dan ke 9 kucing saya yang tidak sempat diberi nama.

Waktu dulu, jauh sebelum sekarang. Waktu saya mengenal kebahagiaan sebagai sebuah kata yang sederhana. Yang akan didapat hanya dengan memiliki cokelat, kucing dan komik.

I miss 'dulu' times for sure. Dan segala kebahagiaan sederhana yang sempat luput saat dulu.

Doraemon, mana mesin waktunya?

Tuesday 4 December 2012

Djenar


Warna oranye kemerahan tergurat di atas kanvas langit. Sekumpulan burung gereja berterbangan—mencari jalan pulang. Sesekali beberapa ekor bertengger di ranting-ranting pohon, menyaksikan betapa menakjubkannya warna langit kala itu.

Djenar, seorang gadis berusia pertengahan 20-an sedang berdiri di tepi atap gedung kantor tepat ia bekerja. Sendiri. Memandang ke bawah dengan tatapan yang kosong. Sekosong hatinya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia merogoh ponselnya dari saku blazer yang ia kenakan. Sebuah pesan singkat.

‘dimana?’

Djenar menghela nafas panjang. Ia bisa merasakan nafasnya yang dingin. Pesan itu dari Damar. Teman satu kantornya. Djenar menarikan jemarinya yang lentik di atas screen ponselnya.

‘di atas.’

Tak perlu berbasa-basi. Damar tahu ‘atas’ mana yang dimaksud Djenar. Atap gedung kantornya. Hanya dalam hitungan menit, Damar sudah tiba dan berdiri di samping Djenar.

“Nggak pulang? Ngopi dulu, yuk. Nanti pulangnya saya anterin.” Ujar Damar ceria.

Djenar menoleh dan tersenyum tipis. Ia menggeleng pelan.

“Kenapa? Biasanya kamu paling suka kalau saya traktir minum kopi.” Damar terkekeh. Tidak melihat respon yang diberikan Djenar, Damar berkata lagi, “Kali ini kamu yang milih tempatnya, deh. Saya nurut aja.”

Djenar menunduk. Ia kembali merogoh saku blazernya. Mengeluarkan sesuatu. Sebuah bungkus rokok dan pematik apinya. Djenar menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya yang tipis kebiruan karena diterpa angin sore. Ia mematik api dari pematiknya. Sekarang, ujung rokok itu sudah terhias dengan warna oranye menyala.

Damar yang masih berdiri di tempatnya terpaku.

“Dje, you don’t…”

Well now I do.” Ujar Djenar.

“Sejak kapan? Bukannya kamu pernah bilang sama saya kalau kamu itu paling anti sama yang namanya rokok..?” Tanya Damar masih tak percaya.

People change, Mar. They do it all the time. Apa salahnya kalau saya merokok?” jawab Djenar sambil mengepulkan asap rokok keluar dari mulutnya.

Damar kembali terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.

“Ini.., sekarang kita berada di lantai berapa sih, Mar? Kok kayaknya tinggi banget, ya?” Djenar maju selangkah dan memperhatikan kegiatan yang sedang berlalu-lalang di bawah sana.

Tubuh Damar menegang. Ia menjawab takut-takut.

“10.” Suaranya terdengar tercekat. Djenar hanya mengangguk-angguk kecil.

“Kalau misalkan saya…,”

“Jangan!”

Djenar menoleh. Damar mendekati Djenar dengan dada yang membuncah. Entah apa yang sedang berguncang hebat di dalam dadanya itu.

“Nggak boleh.” Ulang Damar. “Saya tahu kamu mau bicara apa tadi. Apapun itu, please jangan.”

Djenar mengerjap pelan. Ia menatap Damar tepat di matanya. Djenar mengalihkan pandangannya dari Damar dan tertawa.

“Ternyata kamu tahu saya banget ya, Mar.” ujarnya masih tertawa kecil.

Kali ini giliran Damar yang mengerjap pelan.

“Tapi ngomong-ngomong, saya pernah baca buku. Dan di bukunya itu ada kutipan ‘setiap orang pasti sudah menerima hukuman mati. Tapi mereka masih belum tahu kapan mereka akan menjalaninya.’ Pernah denger kan, Mar? Eh, belum, ya? Makanya jangan baca buku pengantar bisnis mulu, dong..” ujar Djenar tertawa.

Tawa milik Djenar seperti menghipnotis. Damar dibuat tertawa oleh perkataan milik Djenar tadi.

“Tapi kalau dipikir-pikir, itu benar kan, Mar? Saya jadi penasaran nanti saya meninggalnya bagaimana.” gumam Djenar.

Damar masih menatap Djenar nanar. Ia masih terhipnotis dengan pesona Djenar. Rambutnya yang hitam berkilau saat terpantul oleh sinar matahari, matanya yang kecil, alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis.., ingin rasanya Damar memiliki segalanya yang ada pada Djenar.

“Dje, listen.” Ujar Damar tegas. Djenar menoleh dan mengangkat kedua alisnya. Sebatang rokok terselip di antara kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Kalau kamu meninggal, itu urusan nanti, okay? Sekarang janji sama saya. Janji kalau apapun yang terjadi, jangan pernah berpikiran untuk meninggal. Kamu sendiri yang bilang kalau semua orang itu pasti meninggal. Iya, kan? Jangan menghampiri kematian. Dia akan menghampiri kita—dengan sendirinya.”

Djenar menatap Damar. Ia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan, tapi..

“Dje, masih banyak yang peduli sama kamu. Jadi tolong..,”

“Mar, now you listen. I’ll be fine, okay? Saya akan baik-baik saja. Sungguh—demi Tuhan, Mar. Kalau suatu hari nanti kamu menemukan saya dalam keadaan mati konyol, kamu boleh mengutuk saya apa saja. Saya juga punya akal sehat, Mar. Jadi saya tidak mungkin menyiakan sisa hidup saya dan mengakhirinya dengan cara-cara konyol yang tidak masuk akal.”

Damar tertawa. “Contohnya? Cara konyol yang tidak masuk akal itu contohnya seperti apa?”

Djenar tersenyum jahil dan pura-pura berpikir. “Mm, menghabiskan sisa hidup untuk membenci kamu, mungkin?”

Tubuh Damar kembali menegang. Ia memperhatikan Djenar yang sedang menyulut api rokoknya dengan cara menginjak dengan ujung sepatunya. Saat Djenar mendongak, tatapan mereka berdua bertemu.

“Apa?” Tanya Djenar.

Damar melangkah maju menhampiri Djenar dan merengkuhnya perlahan. Djenar tersentak oleh tindakan Damar yang tiba-tiba itu.

“Da..mar..?” Damar semakin mempererat pelukannya. Ia bisa merasakan jantung Djenar beradu cepat dengan jantung miliknya.

Djenar tenggelam dalam pelukan Damar. Mereka terus seperti itu selama beberapa menit. Tak ada yang bersuara. Lalu Djenar memperlonggar rengkuhan tangan miliknya di sekitar leher Damar. Damar menunduk menatap Djenar tepat di mata dan menaikkan kedua alisnya.

“Tawaran kamu.. Tawaran kamu yang tadi masih berlaku? Err.., minum kopi? Kayaknya malam-malam begini kalau ditemani kopi enak juga,” gumam Djenar.

Damar tersenyum. Lalu berkata dengan nada sedikit memberengut.

“Hanya kalau ditemani kopi saja enaknya? Sama saya enggak?”

Djenar tertawa dan memukul dada Damar pelan. Djenar kembali merengkuhkan kedua tangannya di sekitar leher Damar dan kembali perpelukan selama beberapa menit.

“Yuk. Saya haus.” Ujar Damar sambil memperlonggar pelukannya. Djenar tertawa dan menyelipkan lengannya di antara lengan milik Damar. Mereka berdua berjalan di bawah sinar rembulan dan kerlipan bintang.

Tidak ada yang lebih indah dari malam ini, pikir Djenar dan Damar dalam hati.


***

Monday 3 December 2012

Sebuah Perubahan

Awal Desember. Sebentar lagi pergantian tahun, 2013. Bikin resolusi baru lagi dan entah akan terlaksana dalam jangka waktu 365 hari atau tidak. Saya mau membuat perubahan. Perubahan kecil (ya seenggaknya dimulai dari yang kecil dulu :p) yang mungkin akan membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Mungkin, lho. Eh, tapi semoga. Amin.

Pertama, masalah cinta dulu nih. #A. Aaron Wang Zhao. Saya akan selalu menunggu dia. Dan dia tetap akan berada di hati saya - apapun yang terjadi - dan sekalipun dia berada di posisi kedua, ketiga atau bahkan di posisi keseratus. Pun. Jadi intinya, saya mau membuka hati saya. Buat siapa aja. Buat kucing liar di depan rumah saya, kek, buat teman sekelas saya yang itu, kek :p atau buat siapa dan apapun (yang mau masuk).

Masih masalah cinta  lagi. Another A. A yang merokok. I've been thinking over and over again, saya dan another A hanya pantas untuk menjadi seorang teman biasa. Nggak lebih. Oke, jadi nggak ada perasaan apa-apa lagi, ya walaupun kadang saya suka deg-degan kalo ngomong sama si another a XD

Masalah maut itu sudah selesai. Sekarang masalah pertemanan. Tadi ceritanya pas saya lagi nunggu angkutan umum, saya berdiri di samping teman saya yang namanya Hapsari. Dia pulangnya naik ojek. Karena angkutan umumnya nggak dateng-dateng, saya nungguin dengan setia. Dan terjadilah percakapan berikut.

H : gua tungguin deh, Lan sampe angkotnya dateng.
S : eh nggak usah, Udah, duluan aja naik ojeknya.
H : nggak apa-apa. Sendirian itu nggak enak. Kan gue ngerasain. Cengo.

JLEB

Bisa dibilang, kalau di kelas Hapsari ini anaknya introvert. Jarang bergaul karena pola pikirnya agak berbeda dengan teman-teman sebayanya. Jadi dia selalu sendirian. Ya nggak selalu juga sih. Tapi gitu deh. Kadang saya suka kasian ngeliat Hapsari yang suka diejek sama temen-temen saya di kelas. Saya tau dia sakit hati. Tapi mau gimana lagi?

Jadi, saya mau merubah jalan pikiran saya yang semakin absurd agar menjadi lurus kembali. Misalnya dengan membuka pintu hati saya lebar-lebar untuk siapa dan apapun.

Dimulai dari detik ini. Sekarang juga. Tidak harus menunggu tanggalan di kalender berubah menjadi angka 2013. Tapi dari sekarang. Yosh!

Saturday 1 December 2012

Selamat Datang Desember!


Selamat datang, Desember!

Awal Desember. Pertengahan, akhir. Akhir Desember, akhir tahun. 2013. Masih nggak rela ninggalin 2012. Banyak banget kenangan yang hinggap dan melekat di tahun ini. Diantaranya, saya lulus UN, masuk SMA, anniversary yang ke satu tahun saya kenal sama Aaron (kita masih belum punya komitmen apa-apa :p), saya punya modem baru dan saya jatuh cinta lagi.

Waduh! Hahahahahahaha, okay. Ini frase terakhir nggak penting-penting banget buat di publish makanya font-nya saya ubah jadi small. Untung bukan smallest :p HAHAHAHAH UDAHAN AH!!!

Saya mau cerita tentang seseorang. Teman. Bisa dibilang teman yang akrab banget. Namanya Rifat Agni Fedina dia baru ulang tahun tanggal 28 November kemarin. Rifat itu teman SMP saya. Kelas satu, kita sekelas, kelas dua kita misah dan kelas tiga kita sekelas lagi. Rifat duduk sebangku dengan saya waktu kelas tiga. Ada satu momen yang masih saya inget sampe sekarang, itu waktu kelas 1 SMP. Saya marahan sama Rifat. Dan ini tumben. Saya nggak tau kenapa kita bisa marahan, mungkin karena sifat saya yang moody-an atau selfish, saya nggak tau. Sekitar 3 hari lebih kita diem-dieman. Dan itu rasanya aneh. Biasanya (waktu nggak marahan), saya sama Rifat selalu foto-foto bareng, jajan bareng (tapi saya lebih sering bawa bekel hahaha) yah pokoknya silly stuffs deh.

Oke, waktu kita lagi marahan, kertas ulangan matematika saya sekitar seminggu yang lalu dibagikan. Saya dapet nilai 100. Wah, haru banget disitu. Terus Rifat manggil dari belakang terus senyum, "Wulan dapet nilai 100 ya? Selamat ya.." JLEB! Ahhhhhh Rifat gentle banget disitu. Saya bingung dan nggak tau mesti ngapain jadi saya cuma nengok, senyum maksa dan bilang "Hehe iya.." udah. Gitu doang! Nggak ada ucapan terimakasih!!


Nah, pas sampe di rumah, saya membulatkan tekad sebulat bulan purnama penuh. Saya SMS Rifat, SMSnya kayak gini,

"Walaupun kadang aku sekonyol Spongebob, sebodoh Patrick, Sejutek Squidward, Sepelit Mr.Krab dan sejahat Plankton, tapi permintaan maafku sebesar Bikini Bottom. Maafin ya!"

Waktu itu SMSnya masih pake font besar-kecil besar-kecil. Maklumin :p

Terus Rifat bales, (pretty much kayak gini hehe saya lupa.)

"Kayaknya lo pernah ngirim SMS itu deh dulu. Iya, maafin gue juga ya Lan."

Rifat itu... keren, ya? :'') Saya terharu. Beneran. Nah waktu kelas 3 kan kita sekelas dan duduk sebangku, banyak banget momen-momen yang saya sama Rifat buat. Mulai dari nyoret-nyoret buku IPS di halaman belakang, (biasanya nulis namanya Aaron), terus cerita-cerita nggak jelas sampe ngakak guling-guling, pokoknya banyak banget. Rifat juga selalu bisa bikin saya ngakak dengan mentionan-mentionan dia ke saya di Twitter atau chat di Facebook, Rifat yang selalu doain saya supaya bisa cepet ketemu sama Aaron,..

Rifat itu sesuatu. Dia salah satu teman terbaik saya selama 15 tahun saya hidup di dunia ini. Bahkan yang terbaik. Makasih ya Mr. Hwang! :* (Hwang diambil dari nama belakang idolanya, Tiffany Hwang, personil girlband asal Korea, SNSD.)



Ini foto saya sama Rifat Hwang (kiri). Ekspresinya bikin ngakak XD