Sunday 26 February 2012

RIP or R.I.P ?

 

Siapa yang nggak kenal Rowan Atkinson? 

Pemeran Mr.Bean di sekuel komedi Mr. Bean.

Dan serius, asli, saya kaget banget pas liat thread di kaskus kalo Rowan Atkinson meninggal. *jleb* terus saya liat trending topic di twitter, dan ada yang bilang Atkinson udah meninggal, ada juga yang enggak.

Masalahnya, di twitter itu banyak singkatan-singkatan yang anehnya naudzubillah. jadilah salah paham gini.

RIP = Really Inspiring Person

R.I.P = Rest In Peace

ribethhhh. -____- trus saya tadi baca di yahoo, katanya Atkinson mengalami kecelakaan, tapi cuma luka ringan di bahunya.

kontroversi nih!!! >:OOOO

Mozaique #2

"Kau.. Kau tahu puisi itu? Astaga.." aku terpekik. Kaget. Tidak menyangka.

"When a Woman Loves a Man karya David Lehman, kan? Aku pernah membacanya di sebuah web dan, it was..good." jawabnya--santai.

Suaraku makin tidak terkontrol lagi saking senangnya. Dia berbeda. Aaron berbeda. Dia tidak seperti George, Nathan, Dan, atau pria lain yang langsung menguap begitu aku membicarakan tentang sastra. Entahlah,

"Eh," ia menoleh. "Apa?"

"Keberatan kalau aku panggil A saja? Supaya pendek, maksudku." ia mengangguk. Anggukan yang berarti 'Iya'. "A," ia tidak menoleh. Tapi merespon dengan suara 'Hm'. "Kau suka sastra? Kalau suka kenapa mengambil jurusan hukum?"

"Kenapa sekarang kau jadi mau tahu begitu, sih?" ujarnya--tertawa. "Itu hanya sekadar hobi, kok."

"Tapi ini lain, A. Hobi dan suka itu.. berbeda. Dan perbedaannya...tampak jelas."

"Ini hanya hobi. Nggak lebih, okay? Memangnya kalau aku menyukai sastra kenapa? Aku dapat nilai tambahan satu poin sebagai orang yang menarik? Lucu sekali."


Kalau iya, memangnya kenapa?

"Moza," ia berdeham. "Aku mengantarmu sampai sini saja, ya. Maaf, bukannya tidak sopan, tapi masih ada proposal yang belum selesai aku kerjakan."

Aku mengerjapkan kedua mataku. Hah?!

"Kenapa nggak bilang daritadi? Sekarang sudah jam 2! Coba kalau kau bilang daritadi. Aku 'kan bisa pulang sendiri!"

"Sshh, tidak apa-apa. Aku sudah biasa begadang untuk mengerjakan proposal sialan itu." ia tertawa. Tapi bagiku itu sama sekali tidak lucu.

"Fine," desisku pelan. "Pulanglah dan kerjakan proposalmu, dan ini, kartu pengenalmu. Terima kasih untuk hari ini, A."

"Hari ini? Maksudmu kemarin?"

"Hah? Ap.. oh, I got it. Maksudku, kemarin. Terima kasih. Dan juga untuk hari ini. Hari ini atau kemarin, entahlah, Intinya, terima kasih, A."

"Terima kasih juga. Catch you later."

***

Aaron itu berbeda. Benar, kan? Aku tidak salah, kan? Dia tidak menguap--maksudku, bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa dia tidak bosan saat aku mulai berceloteh tentang puisi atau karya sastra yang lain. Ia bahkan tahu puisi karya David Lehman dan membacanya.

Astaga! Apa yang sedang aku pikirkan? Aaron Basch hanyalah pemuda biasa yang aku temui karena insiden 'mengambil kursi'. Aku bahkan tidak tahu dia tinggal dimana.., oh, dia tinggal di Seven Hills, aku bahkan tidak tahu ia kuliah dimana..., kalau tidak salah, di New South Wales University..., aku bahkan tidak tahu nomor ponselnya..., Astaga, ini benar-benar konyol!

Ini pasti efek karena kelelahan.

Aku sudah tiba di depan kamar apartement-ku. Memasukkan kunci ke lubang pintu, memutar knop dan langsung merebahkan diri di atas tempat tidur dan tidak memperdulikan bahwa jendela sedang terbuka dan membuat desiran angin malam di musim gugur masuk ke dalam ruanganku.

Besok pagi, semua akan berjalan lancar seperti biasa. Dan sepertinya, Aaron Basch akan menghilang dari pikiranku seiring dengan menguapnya rasa lelah yang menempel di tubuhku ini.

***

One said to me tonight or was it day
or was it the passage between the two,
"It's hard to remember, crossing time zones,


Flying - Sarah Arvio

***

Saturday 25 February 2012

Mozaique #1

Udara dingin musim gugur di Blacktown hari ini benar-benar menusuk tulang. Salju memang belum menumpuk di sisi jalan, tapi tetap saja, jujur, dingin. Sebuah stand kopi baru saja di buka di daerah The Rock Market. Dan itulah tujuanku datang kesini.

"Here ya go, young lady! One cup of espresso, and it's $ 1.25." seorang pria berbadan tambun menyodorkan espresso yang tadi aku pesan. Aku menerimanya dan menyerahkan beberapa lembar dollar padanya. "Here your changes. And have a nice day!" aku mengangguk dan mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari tempat duduk. Dan aku menemukannya. Satu kursi kosong di dekat toko roti. Perfect. Tanpa pikir panjang dan melihat keadaan sekeliling, aku langsung menyambar tempat duduk itu.

"Excuse me," aku menoleh. seorang pria berdiri tepat di sampingku. "Maaf, ini kursiku."

Ha?

Apa katanya? Ini? Kursinya? Ingin sekali aku berteriak, ini kursiku, tahu! Take another seat!

"Didn't you see my stuffs there?" ia menunjuk ke arah samping kursi yang aku duduki. Dan aku langsung mengikuti arah telunjuknya. Benar saja, dua kantung belanjaan memang tergeletak disana.

Fool me!

"Sorry, I.. I didn't see your stuffs around here and I thought this chair was empty. Sorry, my bad." ujarku. Malu, tentu saja.

"Never mind, it also my bad though. Aku tidak menaruh barang-barangku di atas kursi. Terang saja kau berpikir kalau kursi ini kosong." katanya sambil tersenyum.

"Thanks for your attention, mister.." aku mengangkat kedua alisku, menunggu jawaban.

"Basch. Aaron Basch."

"I'm Mozaique. Just call me Moza, for short." ia menjabat tanganku. Hal yang biasa dilakukan saat berkenalan.

"What an unique name! Let me guess. You like classic musics, don't you?" tebaknya. Nama Moza pasti mengingatkannya akan Mozart. Pasti.

"You think so? No I dont. It was only a name."

"Where did you come from anyway? Tell me, Italian? Germany?"

"I'm Indonesian."

"Are you kidding me? Wow, aku pikir kau orang Eropa. Dari namamu, kau tahu,"

"Beberapa orang berpikiran seperti itu. Haha," kami berdua terdiam selama beberapa saat. Awkward. "Well, maaf soal yang tadi, Mister Basch. Aku harus pergi sekarang. Catch you later."

"Oh, baiklah."

***

Hampir tengah malam. Dan aku uring-uringan karena kelaparan. Aku membutuhkan sesuatu untuk dimakan. Aku mengambil mantel dan memutuskan untuk membeli cemilan dalam porsi besar.

Blacktown di malam hari. Kota ini seakan-akan tidak pernah tidur. Tidak pernah lelah, begitu juga dengan orang-orang di dalamnya.

Sekitar 15 menit kemudian, aku sampai di depan 7-eleven yang untungnya buka 24 jam. Aku segera masuk, mengambil keranjang dan memasukkan makanan ringan kedalamnya.

"Moza? Mozaique?" aku menoleh. Siapa yang memanggilku berusan? "Ahahaha, tentu saja itu kau. Aku tidak salah orang. Masih mengenalku?"

Aku memicingkan mata. Dan orang itu menghampiriku. Aaron Basch. Itulah orangnya.

"Oh, hai, Mister Basch, apa yang kau lakukan disini?"

"Aaron. Panggil saja aku Aaron. Menurutmu, apa yang sedang aku lakukan disini? Memancing? Hahaha, bercanda. Aku sedikit insomnia dan aku kelaparan. Jadi aku membeli beberapa makanan disini."

Gotcha! Sama sepertiku!

"Wahahaha, kita sama, Mister.. Maksudku, Aaron. Aku juga sedang kelaparan. Jadinya aku juga ingin membeli makanan disini."

"Yang benar? Nah, karena kau juga kelaparan, bagaimana kalau kita makan di subway? Aku tahu toko yang menjual croissant paling enak di Blacktown. Bagaimana? Aku yang traktir,"

Apa aku bisa menolak? Haha tentu saja tidak.

"Baiklah. Tapi aku ingin membayar belanjaanku terlebih dahulu."

***

"Enak, kan?" Aku mengangguk. "Hh-hm."

Kami terdiam lagi. Lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ngomong-ngomong kau tinggal dimana?"

"Blacktown Road. Kenapa?"

"Serius? Wah, kebetulan aku tinggal di Seven Hills. Kau naik kendaraan kesini?"

"Tidak. Jalan kaki. Hanya 15 menit dari sini."

"Mau kuantar? Tempat tinggal kita--you know, searah."

"Tidak usah. Aku bisa sendiri. Tidak, tidak usah."

"Aku tidak akan membiarkan seorang gadis jalan sendirian tengah malam seperti ini. Ayolah, aku tidak akan macam-macam. Kau butuh bukti? Sebentar," ia merogoh sakunya dan mengeluarkan dompet. "Ambil kartu pengenalku. Ambil kartu mahasiswa dan SIM-ku sebagai jaminan. Telfon polisi kalau aku macam-macam padamu."

"Serius? Baiklah," aku mengambil semuar kartu pengenal yang tadi dikeluarkannya. "Aku akan menyita ini sampai kau benar-benar membawaku pulang dengan selamat."

"Fine, ayo kita pulang sekarang."

***

"Kau kuliah?" aku menoleh. "Eh? Iya." menjawab seperlunya.

"Dimana?"

"Western Sydney. Kau? Kuliah juga atau bagaimana?"

"Yap, di New South Wales University. Kau mengambil jurusan apa?"

"Sastra. Kau?"

"Hukum. Coba buatkan aku sebait puisi."

"Hah? Apa?"

"Kau anak sastra, kan? Coba buatkan aku sebait puisi."

"Wow, wow, wait a minute! Tidak secepat itu." sergahku panik.

"Ayolah, apa susahnya sih? Nih, ya, aku kasih contoh,

So we'll go no more a roving
so late into the night
Though the heart be still as loving
And the moon be still as bright.


Gampang, kan?"

"Kau curang! Itu kan karya Lord Byron. Jangan kira aku tidak tahu, ya."

"Aku ketahuan," ia tertawa. "Nah, sekarang giliranmu."

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

"When a woman loves a man,
she wants him to meet her at the airport in a foreign country with a jeep. 
When a man loves a woman he's there. 
He doesn't complain that she's two hours late and there's nothing in the refrigerator. 
When a woman loves a man, she wants to stay awake. 
She's like a child crying at nightfall because she didn't want the day to end..."

"...When a man loves a woman, he watches her sleep, thinking:
as midnight to the moon is sleep to the beloved.
A thousand fireflies wink at him.
The frogs sound like the string section
of the orchestra warming up.
The stars dangle down like earrings the shape of grapes."


When a Woman Loves a Man - David Lehman

***