Sunday 25 January 2015

Saya Masih Punya Sepasang Telinga




Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik.

Saya masih bisa mendengar suara-suara yang syahdu. Saya masih bisa mendengar lantunan suara adzan dari masjid di ujung gang. Saya masih bisa mendengar suara ibu saya membangunkan saya kala subuh datang. Saya masih bisa mendengar lantunan suara dari radio peninggalan almarhum ayah saya yang sudah usang. Saya masih bisa mendengar suara gesekan daun-daun di halaman yang saling mengucap rindu.

Mengucap rindu.

Hahaha, rindu apa.

Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik.

Kadang telinga saya mendengar apa yang ingin saya dengar. Namun kadang mendengar apa yang tidak ingin saya dengar. Dan tidak jarang mendengar sesuatu yang tidak ingin saya dengar namun mau tidak mau harus saya dengar; dan sebaliknya. Vice versa.

Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik.

Dan saya masih bisa mendengar kamu. Kamu. Suaramu. Tawamu. Ceritamu. Gurauanmu. Candamu. Leluconmu.

Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik. Dan apabila suatu saat sebelah telinga saya tidak dapat berfungsi lagi dengan baik sebagaimana mestinya, ketahuilah, saya masih mempunyai sebelah telinga yang lain.

Yang bersedia untuk mendengar ceritamu. Walaupun kamu tidak ingin ceritamu didengar oleh saya, lalu kamu memilih telinga orang lain yang masih utuh, yang sempurna, untuk mendengarkan cerita kamu.

Ketahuilah, walau sayup, telinga saya masih dapat mendengar sayup yang syahdu itu.

Walau sayup, walau kamu tidak meminta saya untuk mendengar, walau kamu tidak meminta pendapat saya tentang apa yang baru saja saya dengar, ketahuilah, saya masih bersedia mendengarkan.

Walau jauh. Walau tidak diminta.

Hanya mendengarkan saja.

Lalu diam-diam bersyukur. Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa sepasang (atau sebelah?) telinga saya dustakan saat mendengar sayup syahdu yang keluar dari mulutmu itu?

Thursday 22 January 2015

Saya Bosan Menerka-Nerka

Kalau ditanya, "apa sih yang bikin kamu suka sama dia?", maka saya akan menjawab,

"Saya suka punggungnya."

Iya, saya akan jawab itu. Lalu disusul oleh "selera humornya, senyumnya, tawanya, tatapan matanya--"

"Lho, berarti kamu lihat dia dari fisiknya, dong?"

Iya. Saya nggak mau munafik. Toh, itu cuma punggung.

Cuma punggung.

Yang (kata orang) biasa saja. Yang tidak kekar. Yang tidak bidang. Yang tidak kuat.

Yang tapi bagi saya, menyimpan banyak kekuatan. Yang menyimpan banyak cerita. Yang terlihat tangguh, walau tidak setangguh yang orang-orang kira. Yang dengan melihatnya saja--tanpa mampu menjamahnya--bisa membuat saya tersenyum dalam diam. Yang hangat. Yang nyaman.

Ah, sial. Saya mulai bicara yang tidak-tidak.

Tapi sungguh. Saya suka punggung itu. Saya suka punggungmu itu.

Ah, saya bosan menerka-nerka senyaman apa rasa punggungmu. Boleh nggak sih saya memersetankankan semua hal dan langsung bersandar di punggung kamu saja?

***

Thursday 1 January 2015

Nwe Yaer Whta?

My first pure black-to-death coffee in 2015.

It's 2015 already.

New Year.

2014 was a good year.  Yes, indeed it was.

I've learned a lot in 2014. I've got many experiences. I've laughed a lot. I've cried a lot. I read a very good book seriously only if I could marry it.

And I  found him.

My object, whose laugh is crunchy. Whose smile is extremely sweet I almost could feel diabetes creeping up on me.

It's him. Who never sees me. Because I am either unseen, or he doesn't even care and got no time to look upon me.

And it's me, who stays quiet. Who smiles in silent. Who is his nobody, yet keeps wanting to be his somebody, someday.

-------------------------------------

Oh, look. I am murmuring *crap* again.

Forgive me, 2015.
I'm counting on you.