Wednesday 24 April 2013

We Talked

We talked--finally.

Yesterday we didn't talk at all, you know, and I missed your voice already.

Today you asked me for a choki-choki--a chocolate paste, and I said, "I don't have any. I'm fasting," then you said, "O-oh,"

You don't know how it feels. You don't know how happy I am. You don't know--me neither--why your heavy voice is so damn-heart-warming. You don't know that I stop read a novel when you talked, do you? You don't know that I paused a Foo Fighter's song from iPod so I can hear your voice, do you?

Then you asked me for a paper. A physic paper. You haven't done your homework yet--I just knew it and you asked me. I laugh, you laugh too. Then I realized that I kind of miss your smile too.

Your voice, your smile, then what?

Your heart?

***

Saturday 6 April 2013

Draft 2

Sudah hampir 5 bulan saya tidak menulis sesuatu tentang Aaron di sini. Dan sekarang saya kembali lagi.

Awalnya, saat itu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia menyuruh saya dan teman-teman saya untuk menulis sebuah cerpen non-fiksi (kisah nyata). Dan saya bingung. Deadline yang hanya 1 minggu tidak mampu membuat saya untuk berpikir cerpen apa yang harus saya tulis.

Lalu saya memutuskan untuk menulis tentang Aaron. Dan ternyata kurang dari kurun waktu 1 jam, cerpen saya sudah selesai. Atas permintaan seorang teman, saya akan mempublish cerpen itu.



Jatuh Ke Sebuah Lubang


Jatuh cinta itu lumrah. Manusiawi. Setiap orang pasti pernah mengalamai apa yang namanya jatuh cinta. Saya juga pernah, beberapa kali. Meski saya sendiri juga tidak tahu apakah saya benar-benar jatuh cinta pada saat itu.

Bagi sebagian orang, makna cinta itu ambigu. Saya sendiri beranggapan kalau cinta itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Sesuatu yang harus dikejar, sesuatu yang  pantas untuk dimiliki. Semua orang berhak jatuh cinta, bahkan seluruh komponen semesta alam ini berhak merasakan cinta dan kasih sayang.

Pembicaraan absurd baru saja terjadi tadi siang saat teman saya—Revin namanya, berkata, “Nih, ya gue kasih satu pernyataan. Elo setuju apa enggak. Bentar,” teman saya menulis sesuatu di buku catatannya lalu ia memberikan catatan itu pada saya. Saya membacanya.

Di lembar itu tertulis, “Cinta tidak harus memiliki.” Saya mengernyit. Nyaris tertawa. Saya berkata pada teman saya itu,

“Ya enggak setuju, lah,” kata saya. “kalo cinta nggak harus memiliki, gimana kita bisa mencintai? Cinta itu kan sesuatu yang harus diperjuangin.”

Teman saya mengangguk. Saya melanjutkan lagi, “Orang kata Pak Mario Teguh aja cinta itu harus memiliki, kok. Kalo nggak memiliki itu bukan cinta namanya.”

Teman saya kembali menuliskan sesuatu lagi tepat di bawah kalimat ‘cinta tidak harus memiliki’. Ia menulis, “Orang yang putus asa.”

Saya mengernyit lagi. Teman saya lalu menunjuk kalimat ‘orang yang putus asa’ dengan ujung pensilnya. “Kalo ada yang beranggapan bahwa cinta itu nggak harus memiliki, itu tandanya orang itu adalah orang yang putus asa.”

Saya menaikkan kedua alis saya dan mengangguk. Lalu saya tertawa.

Saya setuju dengan pernyataan yang seperti itu karena sesuatu yang bernama cinta itu memang berhak untuk diperjuangkan. Dan harus memiliki satu sama lain.

***

Saya sudah berulang kali jatuh ke dalam lubang yang sama. Lubang yang dinamai ‘cinta’ oleh beberapa orang.
Saya pernah membaca kutipan di internet seperti ini,

Dig a hole, named it love, watch them fall in love.

Menggali lubang, menamainya cinta, melihat mereka jatuh ke dalam cinta.

Dan saya sudah terlanjur jatuh ke dalam lubang itu.

Namanya Aaron. Dia tinggal sekitar 5.250 kilometer dari sini. Tepatnya, dia tinggal di Australia.Sebuah jejaring sosial yang mempertemukan kami—atau sepertinya saya yang menemukan dia. Dia berwajah oriental. Ayah dan ibunya merupakan orang Tionghoa. Dan seperti perawakan orang Tionghoa pada umunya, Aaron memiliki kedua mata yang sipit, tulang hidung yang tajam, rahang yang keras, alis yang menipis di ujung dan menebal di pangkal.

Dan senyumnya. Senyum yang menurut saya dapat mencairkan glester es di laut arktik sekalipun.
Saya bertemu dengannya—atau lebih tepatnya mengenalnya sekitar 2 tahun lalu. Tanggal 8 Agustus 2011. Dan seketika hidup saya berubah hampir 180 derajat. Saya menjadi seseorang yang bukan saya. Saya menjadi lebih suka berlama-lama di depan PC saya sambil memandangi fotonya, saya menjadi lebih suka menulis berlembar-lembar sajak dan puisi dan saya menjadi seseorang yang melankolis.

Ini aneh. Saya sudah berkali-kali jatuh ke dalam lubang yang sama tapi saya tidak pernah jatuh sampai sedalam ini. Saya tidak tahu apa namanya tapi selalu ada sesuatu yang memaksa saya untuk menarik kedua sudut bibir saya hingga membentuk sebuah lengkung senyuman saat saya berpikir tentang dia.

Ini benar-benar aneh.

Saya bahkan tidak pernah berpikir kalau saya bisa jatuh cinta—atau apalah namanya—sampai seperti ini.  Jadi saya hanya membiarkannya. Barangkali seiring berjalannya waktu perasaan ini akan terkikis dengan segera.

Mungkin. Saya juga tidak tahu.

Ada sebuah percakapan dengan seorang teman beberapa saat yang lalu. Pada waktu itu, PC saya diinstall ulang. Seluruh data-data milik saya mulai dari dokumen, foto sampai lagu hilang. Kecuali beberapa data yang sempat saya backup sebelumnya.

Lalu saya berkata pada teman saya melalui twitter, Rifat namanya. “Semua data di komputer gue ilang. Tapi untung alamat rumah sama nomer telfonnya Aaron nggak ilang. Sempet gue backup.”

Rifat berkata, setengah menyindir mungkin, “Dih, dasar orang aneh.”

Saya berkata, “Kok aneh sih? Bagus dong..”

Ujarnya lagi, “Iyalah. Kalo bagus itu file penting kayak tugas yang gak ilang. Lah ini malah alamat sama nomer telfon.. ”

“Aaron kan juga penting, Fat…..”

“Sepenting apa sih Aaron?” seperti disiram air es, saat itu juga otak saya mendadak tumpul. 

“*skak mat* *nggak bisa jawab*”

“Nggak bisa jawab, kan kenapa lo bilang Aaron penting? Wajib dijawab sekarang.”

Saya merasa seperti disiram berliter-liter air es lagi. “Ih Rifat……”
“Coba jawab aja,” katanya lagi—defensif.

“Ini….. susah..” saya bingung menemukan kata-kata yang tepat. “Aaron penting ya karna dia penting. Seenggaknya buat gue dan buat sekarang. For the present.”

Jujur, saya kurang menyukai percakapan yang memojokkan seperti ini.

Rifat berkata lagi, “Emang Aaron pernah ngasih lo apa?”

“Harapan. Sayangnya harapan yang jawabannya nggak dateng-dateng.”

“Dan itu lo anggap penting?”

“Ironisnya, iya.”

“Kenapa nggak mencoba berfikir kalo Aaron gak akan pernah ngasih harapan ke elo?”

Hahahahaha, speechless. Waktu itu saya benar-benar tidak tahu mau menjawab apa.

“Aduh, nggak tau ya. Ini tuh kayak air. Ngalir gitu aja.. buat ke depannya ya kita liat aja nanti.”

“Terus lo maunya ngelupain Aaron apa tetep suka sama Aaron?”

“Tetep suka!!”

“Finally you always answer that, ”

“I do and I will.”

Saat saya menjawab “tetep suka” atas pertanyaan Rifat itu, saya merasa tidak yakin.

Apakah saya akan tetap menyukainya? Maksudnya jika suatu saat nanti perasaan itu akan segera terkikis, apakah saya akan tetap menyukainya?

Entahlah.

***