Friday 28 September 2012

Thief In The Night



Somehow through this house of mine
The windows shattered
The brick walls crumbled down
All without a sound

How this happened, I dont know
But this funny feelings something 
I've never felt before

Like a thief in the night
you came around, you came around
To steal away my heart
Didn't see, didn't hear
When you came around
When you came around
to steal away my heart

You took everything away
You took my soul
You took my heart
But I've been smiling these days

If there's one thing that I've found
It's that love can sneak behind
And pin you to the ground

Like a thief in the night
you came around, you came around
To steal away my heart
Didn't see, didn't hear
When you came around
When you came around
to steal away my heart

Oh it came to be
Sounds hard to believe
That love found me
That love found me

Like a thief in the night
you came around, you came around
To steal away my heart
Didn't see, didn't hear
When you came around
When you came around
to steal away my heart

When you came around
I gave away my heart




Like a thief in the night, you came around. You came around to steal away my heart. Didn't see, didn't hear when you came around. When you came around to steal away my heart. ***

When Nothing Goes Right.


Ah! Saya suka banget sama quotes ini. Eh, tapi ini nggak bisa dibilang quotes, ya?

Nah, when nothing goes right, go left.
Jangan maksain. Kalo nggak bisa, ya tinggalin.

(Mungkin) Harusnya



Lotso! Kamu harusnya kan ada di film Toy Story 3. Kenapa kamu malah ada di film Up?

Lotso. Dia tiba-tiba nyangsang di film Up. Itu bukan tempatnya Lotso. Lotso harusnya ada di film Toy Story 3. Lotso, kamu salah alamat!

Sama kayak saya. (Mungkin) Harusnya saya nggak tinggal disini.

(Mungkin) Harusnya saya tinggal sama kamu di Benua Kangguru sana.

Melewati hari demi hari bersama-sama, duduk di bangku taman berdua sambil menunggu terbenamnya matahari.

Meniti tiap detil perasaan ini. Merajut perasaan ini yang mulai dari sehelai—lalu menjadi  selembar. Berdua. Bersama-sama.

(Mungkin) Harusnya saya yang menemani kamu.

(Mungkin) Harusnya saya yang duduk di sebelah kamu.

(Mungkin) Harusnya saya yang membantu kamu berdiri waktu kamu jatuh.

(Mungkin) Harusnya saya yang berada disana—memberi applause waktu kamu selesai memainkan jari-jari kamu diatas tuts-tuts piano itu.

(Mungkin) Harusnya saya yang merasakan adanya energi cinta dari setiap ucapan dan tindakan kamu.

(Mungkin) Harusnya saya sosok yang pertama kali akan kamu lihat saat kamu bangun pagi di tempat tidur.

(Mungkin) Harusnya saya yang membuat sarapan dan bercangkir-cangkir kopi untuk kamu setiap pagi.

(Mungkin) Harusnya saya yang jadi wanita masa depan kamu.

Ah, sepertinya saya salah alamat. (Mungkin) Harusnya saya sekarang ada disamping kamu, kan? Menyandarkan kepala di bahu kamu, menyesap kopi itu. Di malam musim semi. Terus begini. Sampai musim semi bepuluh-puluh tahun berikutnya.

Tolong, rindu ini sudah tidak tersematkan lagi.

Doraemon, mana mesin waktunya?

Wednesday 26 September 2012

Satu


Kamu itu satu.
Satu itu kita.
Kita itu saling.
Dan cinta juga saling.
Karena kita satu dan kita saling,
itu artinya kita cinta.
Iya, kan?

Untitled




Tau apa yang saya suka dari kopi?
Aromanya, rasanya, sensasinya, kamunya.

Aroma kafein. Menenangkan.
Rasanya. Yang pahit dan manis. Bittersweet. Kayak kamu.
Sensasinya. Yang suka membuat perut kembung dan mual jika tidak biasa meminumnya. Juga sensasi saat saya nggak bisa tidur gara-gara menyeruput secangkir kopi itu.
Kamunya. Kamu yang selalu mondar-mandir di pikiran saya waktu saya menghirup aroma kopi atau waktu saya menyeruputnya.

Hih, kamu!

Seenaknya saja mondar-mandir di pikiran saya.
Kamu tuh kayak hantu kalau dipikir-pikir.
Datang tiba-tiba, pergi juga tiba-tiba.
Dan kamu selalu bikin saya takut.

Iya, saya takut jika nanti saya nggak bisa ketemu kamu.

Saya nggak tau kamu suka kopi atau engga,
tapi boleh, ya suatu saat nanti saya bikinin kamu kopi lalu kita minum berdua?

Kamu yang duduk di kursi tinggi itu, menopangkan dagu dengan kedua tangan kamu lalu mencuri pandang kearah saya yang sedang sibuk dengan cangkir dan coffee-maker itu.

Dan saya akan melama-lamai proses pembuatan kopi itu.

Gantian. Biar kali ini kamu yang menunggu saya.

Saturday 22 September 2012

Balon dan Perahu Kertas

 




Dua puluh tujuh, bulan lima, dua ribu dua belas.

Ingat dan tahu itu hari apa?
Hari ulang tahunmu.
Dan aku mengirimkan kado untukmu.
Kado yang tidak seberapa.
Tapi seluruh isi hatiku tercurahkan lewat hadiah itu.
Lewat balon.
Dan juga selembar kertas yang berisi suratyang dibentuk menyerupai perahu.
Balon yang aku terbangkan dan surat yang aku hanyutkan di kali dekat rumahku.
Ah, sudah bermuara dimana kira-kira balon dan perahu kertas itu?
Di rumahmu, kah? melewati Samudera Hindia.
Atau malah bermuara di gorong-gorong?
Dan apakah balon gas berwarna merah itu sudah mengempis dan tidak sanggup untuk terbang lagi?
Apakah balon merah itu sungguh tidak bisa sampai ke depan rumahmu?
Apakah... Apakah....

Ya, Tuhan. Labuhkanlah perahu dan balon itu di depan rumahnya.
Juga labuhkanlah hatiku ini di hadapannya.
Satukanlah hati kami.
Karena 10 atau 15 tahun lagi hati kami akan menyatu.
Membentuk suatu barang imajiner yang disebut dengan cinta.
Ah, cinta.
Cinta yang tertulis dan terungkapkan secara tidak langsung lewat sebuah balon gas dan sebuah perahu kertas.

Dan yang aku tahu, cinta itu kamu.
Karena cinta aku ada di kamu.
Nggak muluk-muluk, kan?

Friday 21 September 2012

Lego

Tau lego?
Mainan waktu aku kecil.
Aku ingat. Merangkai lego-lego itu menjadi sesuatu yang entah apa namanya.
Lego yang bentuknya persegi. Berwarna biru, merah, kuning dan hijau.
Kadang aku kesal. Kadang aku bosan.
Lalu aku menghancurkan susunan lego itu yang tingginya tidak sampai tigapuluh sentimeter.
Dan potongan lego itu menghilang. Tercecer entah kemana.
Lalu bertahun-tahun kemudian aku menemukan potongan lego itu di bawah tempat tidurku.
Usang, kotor dan berdebu. Dan aku lupa bagaimana rasanya bermain lego.
Dan aku disini. Berdiri di bawah sinar rembulan.
Menyusun kembali lego-lego itu—lego perasaan ini.
Lego itu sudah tinggi sekarang.
Dan aku tidak kesal. Aku tidak bosan.
Itulah alasan mengapa aku tetap menyusun lego perasaan itu sampai setinggi ini.
Dan aku tidak berniat untuk menghancurkannya.
Karena aku tidak siap jika aku harus menemukan potongan lego itu bertahun-tahun kemudian di bawah tempat tidurku.
Usang dan berdebu.

Imajiner

Ingin rasanya aku menulis lagi.
Tentangmu.
Menulis rentetan huruf dan kata-kata yang penuh dengan emosi.
Ingin rasanya aku sematkan namamu dalam tulisan ini.
Tapi tidak bisa.
Namamu tampak imajiner.
Ada yang aneh saat aku mencoba untuk menyematkan namamu.
Tapi aku bisa melafalkannya dengan lantang dan jelas.
Tak jarang juga aku menyebut namamu dengan lirih.
. . . . .  . . . .  . . . .
Imajiner, kan?

Wednesday 19 September 2012

Shitty Mood

19 September. Biasa aja. Nggak ada yang spesial-spesial banget. Tapi rasanya saya bener-bener dilanda sesuatu yang ugh, gitu. Pengen rasanya saya jedotin kepala saya ke tembok, pengen rasanya saya teriak, pengen rasanya saya nyobek-nyobek kertas ulangan Fisika tadi..

Saya badmood :|

Puncaknya kemarin malam. Waktu saya lagi ngerjain PR Fisika tentang vektor-vektor, resultan, poligen atau apalah itu namanya. Waktu lagi ngerjain, tiba-tiba saya kesel sendiri. Kesel banget. Enath karena faktor soal yang agak lumayan susah itu atau  karena saya lagi "dikunjungi" oleh tamu yang setiap bulan selalu datang ini.

Dan tadi di sekolah, ulangan Fisika. Deg. Nyes. Dag-dig-dug-duer. Soalnya itu gampang sebetulnya. Kalo kita belajar. Tapi tadi sebelum ulangan saya belajar kok! >:( tapi tetep yang masuk itu cuma 15% (''._.) Hahahahaha dari 15 soal, saya cuma ngisi 13. Ada yang ngasal, ada yang engga. Dan saking ngejelimetnya itu soal, akhirnya saya gambar sesuatu di pojok kira bawah kertas ulangan saya. Gambarnya itu orang yang lagi bingung ngerjain ulangan Fisika. Sama dengan apa yang saya rasain tadi.

Dan, lagi. Satu hal yang bikin saya tambah kesel. Menstruasi saya bocor. Saya tau itu waktu saya selesai ulangan Fisika dan keluar dari kelas. Untungnya Fisika itu pelajaran terakhir. Jadi waktu bel bunyi saya langsung pulang tanpa cas-cis-cus lagi.

Shitty mood. Semoga tiada lagi shitty mood episode selanjutnya dalam kehidupan saya. Amin.

Tuesday 18 September 2012

Bayangan

Kita berbeda iman - yeah?

Dan katanya itu dosa. Benarkah?

Maksudku, dimana dua orang insan yang berbeda kepercayaan dan iman menjadi satu, membentuk kisah cintanya sendiri. Sedemikian rupa. Itu dosa. Katanya.

Dan bagaimana dengan kita?

Berbeda iman, berbeda kepercayaan, tetapi 'bukan' kita berdua yang menjalani kisah cinta itu.

Hanya aku.

Hanya aku yang menjalaninya.

Apakah itu tetap dosa namanya?

Mencintai bayangan. Dan bayangan itu selalu menjauh saat aku berusaha untuk menangkapnya.

Tidak bisa. Sudah kukejar. Sudah kutunggu agar bayangan itu datang kepadaku dengan sendirinya. Tapi tetap tidak bisa. Ia tidak pernah datang.

Dibawah bayang-bayang seseorang, aku menunggunya. Tidak lagi berusaha menangkapnya. Akan aku biarkan bayangan ini lepas. Bebas mengarungi dunia. Dan saat bayangan ini mulai lelah dan kembali, yang kutahu hanya satu. Bayangan ini telah memilih. Dan yang akan kulakukan hanya satu. Menerima bayangan ini kembali dengan penuh sukacita.

For Your Self

"Be (with) someone that makes you happy."




Do it for your self.

Saturday 15 September 2012

Ditengah Atmosfir Australia #5

Claudie dan Jonathan sudah tiba di depan rumah bergaya vintage yang didominasi dengan warna coklat kayu dan ditumbuhi banyak pohon rindang. Beberapa ekor burung sedang bertengger di salah satu ranting pohon dan bersiul dengan indahnya. Saling bersahutan dengan kicauan kawanannya yang lain.

"Nah, ayo masuk." ujar Paman George pada mereka berdua. Claudie dan Jonathan mengangguk dan mengikuti Paman George dari belakang. Begitu pintu depan terbuka, aroma masakan sudah tercium ke seluruh ruangan.

"Ellie, kita kedatangan tamu." Seru Paman George sambil melepas mantelnya lalu berlalu ke arah dapur. Claudie duduk di salah satu sofa besar di sudut ruangan dan pandangannya tidak beralih dari sebuah piano yang terletak di samping sofa yang ia duduki.

"Kau bisa bermain piano?" Claudie mendongak dan menyadari bahwa Jonathan sedang berdiri menjulang di hadapannya. Ia menggeleng. Menatap Jonathan sejenak lalu tatapannya kembali teralih ke piano tersebut. "Tidak? Aku bisa." Claudie menatap Jonathan dan mendengus.

"Dasar tukang pamer. Coba kau mainkan." ujarnya pada Jonathan. Jonathan menggedikan kedua bahunya dan ia mulai menekan tuts-tuts piano sambil mengguman tidak jelas. Ditariknya sebuah kursi kecil di hadapannya, ia duduk dan mulai mendaratkan jemari-jemari lentiknya di atas tuts-tuts piano.


Bright Eyes.


***

"Astaga, siapa yang sedang bermain piano itu? Jonathan? Kaukah itu?" Jonathan menoleh kearah suara itu dan bangkit dari kursi yang barusan ia duduki. Ia menghampiri dan memeluk seorang wanita tengah baya di hadapannya dengan erat. "Permainan pianomu bagus sekali. Dan, oh, siapa wanita itu? Perkenalkan dia padaku, Jonathan. Kau ini benar-benar tidak sopan."

"Oh, ya, aku lupa." Jonathan tertawa. "Die, kemarilah." Claudie menghampiri Jonathan, tersenyum dan menjabat tangan Bibi Ellie.

"Aku Claudie. Senang berkenalan dengan anda." Ujar Claudie.

"Aku juga senang berkenalan denganmu, young lady. Nah, bagaimana kalau kita makan sekarang? Aku rasa tamu-tamu kita sudah kelaparan. Bagimana menurutmu George?" tanya Bibi Ellie pada Paman George.

"Tentu saja, Ellie. Aku juga sudah lapar."

***

"Itu tadi merupakan bebek peking terenak yang pernah aku makan. Astaga, Bibimu sangat pandai memasak. Aku harus belajar padanya lain kali." Claudie dan Jonathan sedang duduk di teras rumah Paman George sambil memperhatikan ikan mas koi yang sedang berenang dengan lincah di kolam.

Hening. Hanya terdengar suara pancuran air dari kolam, jangkrik-jangkrik dan sesekali deru mesin kendaraan yang lewat di depan rumah.

"Aku punya ide," Claudie menoleh. Masuk ke kamarmu sekarang. Aku akan bicara pada Paman George sebentar. Claudie menurut saja dan segera masuk ke dalam kamar Luna yang sedang ditempatinya. Mengenai Luna dan Edward--anak Paman George dan Bibi Ellie, mereka berdua sudah menikah dan sudah mempunyai keluarga masing-masing. Jadi sekarang kamar mereka kosong. Biasanya pada akhir pekan mereka akan berkunjung ke rumah Paman George dan Bibi Ellie.

Saat Claudie berada di puncak tangga, ia melongokkan kepalanya kebawah untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana. Jonathan sedang berbicara kepada Paman George yang sedang menonton serial klasik di televisi. Seperti merasa diperhatikan, Jonathan menoleh kearah Claudie lalu beralih ke Paman George dan tertawa kecil. Merasa bosan, Claudie kembali melangkah menuju kamar Luna.

Pintu kamar Luna diketuk saat Claudie sedang membaca sebuah buku milik Luna yang berjudul I Heart You, You Haunt Me karya Lisa Schroeder. Claudie segera beranjak dari tempat tidur, membuka pintu dan terheran begitu melihat Jonathan berdiri di ambang pintu dan mengenakan mantelnya.

"Sudah siap? Kita akan berpetualang malam ini." ujar Jonathan.

"A..Apa? Kemana? Tapi.. Ini kan sudah malam. Aduh, sebentar," Claudie memejamkan matanya erat-erat, menarik nafas, menghembuskannya perlahan dan membuka matanya kembali. "Jadi, kita akan pergi kemana?"

"I told you. Kita akan berpetualang malam ini. Kita akan mengelilingi kota Melbourne, aku sudah minta izin pada Paman George dan Bibi Ellie. Mereka berdua setuju. Mereka bahkan memberiku kunci pintu jika kita pulang larut malam. Jadi, sekarang bersiap-siaplah. Pakai mantelmu dan bawa barang-barang yang akan berguna pada petualangan kita nanti." ujar Jonathan. Claudie mengerjap perlahan. Butuh waktu untuk mencerna kata-kata Jonathan tadi. "Oh, astaga," Jonathan mengerang dan masuk ke dalam kamar Luna dan berkacak pinggang.

"Ayo, Claudie. Cepatlah." Claudie mengerjap perlahan dan tersentak.

"Oh, ya. Aku lupa. Kau mau aku berganti pakaian atau bagaimana?" Tanya Claudie. Jonathan memperhatikan  penampilan Claudie dari atas sampai bawah. Lalu menggeleng.

"Tidak, tidak usah. Tapi aku sarankan kau untuk memakai mantel dan scarf. Itu juga kalau kau tidak mau mati membeku." Jonathan menggedikan kedua bahunya. Claudie menghela nafas dan tersenyum. Ia meraih mantel, scarf dan juga tas tangannya.

"Baiklah. Ayo kita selesaikan ini semua secepat mungkin." Claudie memukul lengan Jonathan pelan lalu  berjalan meninggalkan Jonathan. Sebelum Claudie berjalan terlalu jauh, Jonathan menarik lengan Claudie untuk menarik perhatian gadis itu. Claudie menoleh.

"Apa?"

"Kita akan berjalan kaki dan naik bus. Kuharap kau tidak keberatan."

***

Kota Melbourne pada malam hari benar-benar padat. Padat dan menakjubkan. Lorong-lorong tersembunyi di Melbourne menjadi tujuan mereka berdua malam ini. Aroma kopi yang tercium dari dalam kedai kopi di sepanjang Degraves Street menusuk hidung Claudie dan ia benar-benar jatuh hati pada aroma kopi itu.

"Joe, mau minum kopi dulu?" Jonathan menoleh kearah yang ditunjuk Claudie. Kearah deretan tenda-tenda dengan kursi dan meja. Jonathan mengangguk. "Kita duduk di luar saja, ya?"

"Baiklah." Jonathan duduk di sebuah kursi di dekatnya berdiri. Claudie duduk di seberangnya. Seorang pelayan dengan senyumnya yang ramah menghampiri mereka berdua dan mencatat pesanan Claudie dan Jonathan.

"Astaga, kopi disini lezat sekali." Claudie menyeruput latte-nya perlahan lalu menghirup aroma latte yang menyembul keluar membentuk asap-asap putih. Jonathan juga melakukan hal yang sama. Ia menyeruput espresso-nya lalu menghirup aroma kopi yang menyembul dari cangkir putihnya.

"Yeah. This coffee has something unexplained." Jonathan memejamkan kedua matanya lalu mulai menyeruput espresso-nya kembali.

Untuk sekian menit, Mereka berdua tidak berbicara. Larut dalam pikiran mereka masing-masing. Dan itu semua tidak perlu dijelaskan lagi. Karena suasana hati mereka sudah terlukiskan lewat secangkir kopi yang berada di dalam genggaman tangan mereka.

Hangat dan tenang.

Permukaan kopi itu datar dan tidak beriak. Juga tidak terombang-ambing karena kopi itu sedang digenggam oleh tangan-tangan yang benar.

Semua emosi-emosi mereka berdua melebur lewat kepulan asap-asap kopi itu.

***

Friday 14 September 2012

Ditengah Atmosfir Australia #4

Kali ini  keheningan menyelimuti mereka berdua. Suasana kota Melbourne yang sedang ramai pun menjadi hening di telinga Claudie. Claudie dan Jonathan tenggelam di dalam pikirannya masing-masing.

Claudie berjalan tepat disamping Jonathan. Dan Demi Tuhan, mereka berdua terlihat sangat canggung. Tidak ada yang membuka percakapan terlebih dahulu, hanya Claudie yang kadang menggumam tidak jelas dan melirik Jonathan melalui ekor matanya, dan tetap saja Jonathan tidak bergeming. Entah apa yang membuat Jonathan menjadi pasif seperti ini. Apa karena kata-katanya tadi? Entahlah, saling berdiam diri dengan Jonathan seperti ini saja sudah cukup membuatnya gusar.

"Apa kau lapar? Sudah hampir 3 jam dan kita belum makan apa-apa." Claudie menoleh dan seketika mukanya bersemu merah. Ia mengangguk kecil. Mengetahui bahwa Jonathan tidak menoleh kearahnya dan kecil kemungkinan untuk Jonathan melihat bahwa Claudie mengangguk, Claudie dengan cepat berseru,

"Ya..," hening sejenak. "Aku lapar..,"

Jonathan berhenti sejenak dan menyambar lengan kiri Claudie perlahan. "Ayo, aku juga lapar." Claudie tersentak. "Oh, tunggu sebentar. Jangan kau bertanya padaku dimana kita akan makan sore ini, karena jujur aku sendiri juga tidak tahu kita akan makan dimana, tapi percayalah bahwa kita akan menemukan sebuah tempat yang memiliki cita rasa makanan paling enak karena instingku tidak pernah salah." Jonathan menoleh kearah Claudie dan terkekeh pelan. Claudie ternganga lalu seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Jonathan sudah kembali seperti sedia kala.

***

Claudie sendiri tidak tahu kemana Jonathan akan membawanya. Ia hanya menurut seperti seekor anjing yang sudah terlatih dengan majikannya. Claudie sedang asyik memikirkan segala kemungkinan kemana Jonathan akan membawanya sampai ia merasa terdorong oleh seseorang dan ia jatuh terduduk ke tanah--dengan sebelah tangan yang masih digenggam oleh Jonathan.

Jonathan tersentak dan segera berlutut di depan Claudie. "Kau tidak apa-apa? Yang mana yang sakit? Oh, astaga.." Claudie meringis lalu ia mencoba berdiri dengan susah payah dan tersenyum tipis.

"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik sa..."

"Astaga, maafkan aku young lady. Aku tidak sengaja menabrakmu.., Kau baik-baik saja?" Seorang pria tengah baya menghampiri Claudie dan meminta maaf padanya.

"Aku tidak apa-apa, Sir." Ujar Claudie sambil meringis dan tersenyum tipis kepada pria tengah baya itu. Dan pria tengah baya itupun menghela nafas lega dan tersenyum kepada Claudie lalu beralih kearah Jonathan.

"Jonathan? Kaukah itu? Astaga, kau sudah banyak berubah!" Jonathan dan Claudie saling berpandangan lalu pandangannya kembali tertuju pada pria itu.

"Aku pamanmu. George. Terakhir aku melihatmu kau dulu masih setinggi pinggangku." Pria itu menyentuh pinggangnya dan tertawa. "Kau ingat? Keterlaluan sekali jika kau tidak mengingatku karena dulu aku selalu mengirimmu mainan kayu yang kubuat sendiri." Jonathan tersentak dan tertawa.

"Tentu saja aku ingat, Paman. Aku hanya bercanda." Jonathan memeluk pria tengah baya yang mengaku bernama 'Paman George' itu.

"Sedang apa kau di Melbourne? Dan siapa ini? Temanmu? Astaga, ia cantik sekali." Claudie tersenyum lebar kepada pria itu.

"Paman, ini Claudie. Temanku. Dan Claudie, ini pamanku. Panggil saja Paman George."

"Senang berkenalan dengan anda, Paman George." Paman George tersenyum dan berseru,

"Bagaimana kalau kita makan dulu? Rumahku hanya 4 blok dari sini. Dan aku rasa istriku sedang memasak sesuatu yang lezat. Bagimana? Oh, apakah kalian sudah memiliki tempat peristirahatan? Kalau belum, kalian bisa menginap di rumahku. Jonathan, kau bisa tidur di kamar Edward dan temanmu ini bisa tidur dikamar Luna." Paman George tersenyum kepada Jonathan dan Claudie lalu mereka berdua membalas senyumnya.

"Dengan senang hati, Paman." ujar Jonathan tertawa kecil. Paman George berjalan memunggungi Jonathan dan Claudie lalu mereka berdua pun mengikutinya dari belakang. Lalu Jonathan menyiku sikut Claudie perlahan. Claudie menoleh.

"Kau lihat? Instingku tidak pernah salah, kan?" Jonathan tertawa. Dan itu tidak menahan Claudie untuk tidak ikut tertawa bersamanya.

"You're just lucky." ujar Claudie disela tawanya.

"Terserah apa katamu." Jonathan menggedikan kedua bahunya lalu merangkul Claudie dan menariknya perlahan sehingga sisi tubuh mereka saling tertempel erat.

***

Balada Angkot

Jadi ceritanya tadi pagi saya berangkat ke sekolah naik angkutan umum. Naik angkutan umum nomor 12 jurusan Duren Jaya dan seterusnya. Tadi di angkutan tersebut isinya padat anak sekolahan semua. Ada yang SD, SMP dan SMA. Abis itu di suatu SD, angkutan itu berhenti buat nurunin penumpang. Anak-anak SD yang imut-imut itu pada turun dan ngasih uang ke pak supir. Saya duduk pas di belakang pak supir, jadinya bisa curi-curi pandang gitu kan, dan waktu anak SD itu ngasih uangnya, saya shock se-shock-nya orang yang lagi shock.

Kenapa?

Itu anak-anak SD-nya ngasih 2 keping uang 500 logam ke pak supir dan bilang, "Nih, Bang. Berdua, ya..."

SHOCK...



SHOCK...


SHOCK...



SHOCK...

Abis itu ada anak SD yang satu lagi bayar ke pak supirnya. Dan beneran, itu anak SD-nya ngasih uang 500 ke pak supir. Dan yang saya bingung, kenapa pak supirnya nggak nagih lagi?



SHOCK...




SHOCK...


SHOCK...



SHOCK...


Karena biasanya, menurut yang udah-udah (pengalaman sendiri) biasanya abang angkot itu suka nagih kalo ongkosnya itu kurang. Saya aja waktu itu pernah naik angkot, deket, saya bayar 1000 tapi abang-abangnya nagih lagi -___-


Saya tahu, 500 itu juga uang. Dan itu sangat berguna bagi kehidupan kita. Tapi KENAPA?!! Lokasi SD-nya terbilang cukup jauh lho dari tempat anak SD itu nunggu angkot. Miris rasanya. Bener deh. Masalahnya lagi, angkot K-12 itu udah jarang penumpang, sewanya juga murah (banget).

Ya, Tuhan. Selamatkan dunia kami dari unsur ketidak-adilan. Sadarkan juga para pemerintah-pemerintahnya pemegang kursi jabatan untuk lebih memperhatikan rakyatnya. Ya, Tuhan. Kabulkanlah doa-doa kami. Kami mewakili jutaan rakyat yang tertindas karena adanya ketidak-adilan di negeri ini. Amin.