Saturday 15 September 2012

Ditengah Atmosfir Australia #5

Claudie dan Jonathan sudah tiba di depan rumah bergaya vintage yang didominasi dengan warna coklat kayu dan ditumbuhi banyak pohon rindang. Beberapa ekor burung sedang bertengger di salah satu ranting pohon dan bersiul dengan indahnya. Saling bersahutan dengan kicauan kawanannya yang lain.

"Nah, ayo masuk." ujar Paman George pada mereka berdua. Claudie dan Jonathan mengangguk dan mengikuti Paman George dari belakang. Begitu pintu depan terbuka, aroma masakan sudah tercium ke seluruh ruangan.

"Ellie, kita kedatangan tamu." Seru Paman George sambil melepas mantelnya lalu berlalu ke arah dapur. Claudie duduk di salah satu sofa besar di sudut ruangan dan pandangannya tidak beralih dari sebuah piano yang terletak di samping sofa yang ia duduki.

"Kau bisa bermain piano?" Claudie mendongak dan menyadari bahwa Jonathan sedang berdiri menjulang di hadapannya. Ia menggeleng. Menatap Jonathan sejenak lalu tatapannya kembali teralih ke piano tersebut. "Tidak? Aku bisa." Claudie menatap Jonathan dan mendengus.

"Dasar tukang pamer. Coba kau mainkan." ujarnya pada Jonathan. Jonathan menggedikan kedua bahunya dan ia mulai menekan tuts-tuts piano sambil mengguman tidak jelas. Ditariknya sebuah kursi kecil di hadapannya, ia duduk dan mulai mendaratkan jemari-jemari lentiknya di atas tuts-tuts piano.


Bright Eyes.


***

"Astaga, siapa yang sedang bermain piano itu? Jonathan? Kaukah itu?" Jonathan menoleh kearah suara itu dan bangkit dari kursi yang barusan ia duduki. Ia menghampiri dan memeluk seorang wanita tengah baya di hadapannya dengan erat. "Permainan pianomu bagus sekali. Dan, oh, siapa wanita itu? Perkenalkan dia padaku, Jonathan. Kau ini benar-benar tidak sopan."

"Oh, ya, aku lupa." Jonathan tertawa. "Die, kemarilah." Claudie menghampiri Jonathan, tersenyum dan menjabat tangan Bibi Ellie.

"Aku Claudie. Senang berkenalan dengan anda." Ujar Claudie.

"Aku juga senang berkenalan denganmu, young lady. Nah, bagaimana kalau kita makan sekarang? Aku rasa tamu-tamu kita sudah kelaparan. Bagimana menurutmu George?" tanya Bibi Ellie pada Paman George.

"Tentu saja, Ellie. Aku juga sudah lapar."

***

"Itu tadi merupakan bebek peking terenak yang pernah aku makan. Astaga, Bibimu sangat pandai memasak. Aku harus belajar padanya lain kali." Claudie dan Jonathan sedang duduk di teras rumah Paman George sambil memperhatikan ikan mas koi yang sedang berenang dengan lincah di kolam.

Hening. Hanya terdengar suara pancuran air dari kolam, jangkrik-jangkrik dan sesekali deru mesin kendaraan yang lewat di depan rumah.

"Aku punya ide," Claudie menoleh. Masuk ke kamarmu sekarang. Aku akan bicara pada Paman George sebentar. Claudie menurut saja dan segera masuk ke dalam kamar Luna yang sedang ditempatinya. Mengenai Luna dan Edward--anak Paman George dan Bibi Ellie, mereka berdua sudah menikah dan sudah mempunyai keluarga masing-masing. Jadi sekarang kamar mereka kosong. Biasanya pada akhir pekan mereka akan berkunjung ke rumah Paman George dan Bibi Ellie.

Saat Claudie berada di puncak tangga, ia melongokkan kepalanya kebawah untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana. Jonathan sedang berbicara kepada Paman George yang sedang menonton serial klasik di televisi. Seperti merasa diperhatikan, Jonathan menoleh kearah Claudie lalu beralih ke Paman George dan tertawa kecil. Merasa bosan, Claudie kembali melangkah menuju kamar Luna.

Pintu kamar Luna diketuk saat Claudie sedang membaca sebuah buku milik Luna yang berjudul I Heart You, You Haunt Me karya Lisa Schroeder. Claudie segera beranjak dari tempat tidur, membuka pintu dan terheran begitu melihat Jonathan berdiri di ambang pintu dan mengenakan mantelnya.

"Sudah siap? Kita akan berpetualang malam ini." ujar Jonathan.

"A..Apa? Kemana? Tapi.. Ini kan sudah malam. Aduh, sebentar," Claudie memejamkan matanya erat-erat, menarik nafas, menghembuskannya perlahan dan membuka matanya kembali. "Jadi, kita akan pergi kemana?"

"I told you. Kita akan berpetualang malam ini. Kita akan mengelilingi kota Melbourne, aku sudah minta izin pada Paman George dan Bibi Ellie. Mereka berdua setuju. Mereka bahkan memberiku kunci pintu jika kita pulang larut malam. Jadi, sekarang bersiap-siaplah. Pakai mantelmu dan bawa barang-barang yang akan berguna pada petualangan kita nanti." ujar Jonathan. Claudie mengerjap perlahan. Butuh waktu untuk mencerna kata-kata Jonathan tadi. "Oh, astaga," Jonathan mengerang dan masuk ke dalam kamar Luna dan berkacak pinggang.

"Ayo, Claudie. Cepatlah." Claudie mengerjap perlahan dan tersentak.

"Oh, ya. Aku lupa. Kau mau aku berganti pakaian atau bagaimana?" Tanya Claudie. Jonathan memperhatikan  penampilan Claudie dari atas sampai bawah. Lalu menggeleng.

"Tidak, tidak usah. Tapi aku sarankan kau untuk memakai mantel dan scarf. Itu juga kalau kau tidak mau mati membeku." Jonathan menggedikan kedua bahunya. Claudie menghela nafas dan tersenyum. Ia meraih mantel, scarf dan juga tas tangannya.

"Baiklah. Ayo kita selesaikan ini semua secepat mungkin." Claudie memukul lengan Jonathan pelan lalu  berjalan meninggalkan Jonathan. Sebelum Claudie berjalan terlalu jauh, Jonathan menarik lengan Claudie untuk menarik perhatian gadis itu. Claudie menoleh.

"Apa?"

"Kita akan berjalan kaki dan naik bus. Kuharap kau tidak keberatan."

***

Kota Melbourne pada malam hari benar-benar padat. Padat dan menakjubkan. Lorong-lorong tersembunyi di Melbourne menjadi tujuan mereka berdua malam ini. Aroma kopi yang tercium dari dalam kedai kopi di sepanjang Degraves Street menusuk hidung Claudie dan ia benar-benar jatuh hati pada aroma kopi itu.

"Joe, mau minum kopi dulu?" Jonathan menoleh kearah yang ditunjuk Claudie. Kearah deretan tenda-tenda dengan kursi dan meja. Jonathan mengangguk. "Kita duduk di luar saja, ya?"

"Baiklah." Jonathan duduk di sebuah kursi di dekatnya berdiri. Claudie duduk di seberangnya. Seorang pelayan dengan senyumnya yang ramah menghampiri mereka berdua dan mencatat pesanan Claudie dan Jonathan.

"Astaga, kopi disini lezat sekali." Claudie menyeruput latte-nya perlahan lalu menghirup aroma latte yang menyembul keluar membentuk asap-asap putih. Jonathan juga melakukan hal yang sama. Ia menyeruput espresso-nya lalu menghirup aroma kopi yang menyembul dari cangkir putihnya.

"Yeah. This coffee has something unexplained." Jonathan memejamkan kedua matanya lalu mulai menyeruput espresso-nya kembali.

Untuk sekian menit, Mereka berdua tidak berbicara. Larut dalam pikiran mereka masing-masing. Dan itu semua tidak perlu dijelaskan lagi. Karena suasana hati mereka sudah terlukiskan lewat secangkir kopi yang berada di dalam genggaman tangan mereka.

Hangat dan tenang.

Permukaan kopi itu datar dan tidak beriak. Juga tidak terombang-ambing karena kopi itu sedang digenggam oleh tangan-tangan yang benar.

Semua emosi-emosi mereka berdua melebur lewat kepulan asap-asap kopi itu.

***

No comments:

Post a Comment