Thursday 31 December 2015

Analogi Mentari, Rembulan, dan Gerhana

"Languages are beautiful."

He said this to me one night, and I couldn't agree more. He's a very good friend mine. He is talented. He draws like a God. He writes poem like a God. And he has something in his head that is so powerful. His minds are beautiful, if I have to be honest (if you're reading this, I know you're flattered thanks to my words. You owe me martabak okay).

And this morning, he sent me this. His analogy poem. And it was just beautiful. His words were dancing with the flow. Everything was perfect. And I asked his permission to put it on my blog. He said it was okay, and as a credit title, he wanted to be known as Enola Reverof. That bitch. Mind his a.k.a name, it might take you forever to treasure it (but it only took me minutes to get it. I know I am that awesome).

So here it is. An analogy poem by Enola Reverof. It's written in Bahasa, and translating poems only makes them worst so I choose to let it still in Bahasa.

Here, feel the words dancing and leaving that "Enola-Reverof-you-bitch-why-you-so-good" mark both on your chest and head.

--

Analogi Mentari, Rembulan, dan Gerhana

Hei, sedang apa Nona Matahari?
Apa yang kaupikirkan?
Sorot matamu hangat. Kucoba tunjukkan pada dunia, mereka tidak mengerti
Karena ketidakmampuanku menyampaikan sinar kehidupanmu,
Aku hanya jadi segumpal cahaya dingin di gelap malam
Bagaimana aku bisa mendampingimu, menyentuhmu, berdiri sejajar denganmu?
Cinta ini tak pantas
Biarkan aku memandangimu dari jauh

Hei, sedang apa, Bulan?
Hari ini seperti biasa aku bersemangat
Apa yang kaupikirkan?
Aku selalu memperhatikanmu,
Kenapa kau selalu dingin?
Aku tak ingin melihatmu seperti itu,
Tapi aku tak cukup hangat untuk mencairkan perasaanmu, kurasa
Atau mungkin dunia berlari ke arahmu
Karena bosan dengan panasku?
Karenanya aku hanya jadi sesuatu yang tidak dinantikan
Bagaimana aku bisa mendampingimu, menyentuhmu, berdiri sejajar denganmu?
Cinta ini salah
Biarkan aku memandangimu dari jauh

Hei, hari ini seperti ada yang berbeda
Matahari seperti tersipu
Ada tamu?
Mungkin gumpalan awan yang mengurai cahayanya
Tetapi tak seperti biasanya, matahari tak sama ceria,
Tapi hangat meski berbeda

Rupanya Bulan
Ia bertamu ke Siang, singgasana Sang Mentari,
Untuk sekadar bertemu sesaat
Bak sepasang kekasih yang lama tak jumpa,
Mereka bertatap muka bertemu mata,
Kita di Bumi pun tak sanggup berbuat apa-apa

Siapa yang segan mencegah pertemuan takdir yang indah tak berperikan ini?
Bahkan beberapa di antara kita memperingatinya
Dengan beribadah menghadap kiblat,
Penuh harap akan hadirnya hari-hari berikutnya,
Di mana mereka suatu saat akan bertemu kembali,
Dan menyaksikan kisah cinta pedih
Yang menawan ini

--

Dan andai saja saat itu aku mengenakan kacamata hitam saat melihatmu singgah ke singgasana Sang Mentari...

***

Wednesday 16 December 2015

(Dis)comforting Sound

I crave for someone's voice.

Someone's voice that calling my name whenever I lost in nowhere (or more often in my own thoughts). Someone's voice that singing me a song. Someone's voice that yelling at me because I've done something wrong.

I crave for someone's voice.

Ironically, I've been making 'another' voice in my head and pretending that that 'voice' is that someone's voice.

Ultra pathetic, I know. But then again, tell me something I don't know.

I crave for someone's voice, that is willing to prevent me from something wrong. That is willing to tell me that I am worth his everything. That is willing to say that everything's okay when everything's not okay.

I crave for someone's voice. But sadly, what comes after me is only this comforting sound you make.

This comforting sound which is half discomforting.

This comforting sound, which always hits me on the chest, in the stomach, inside my throat, and makes me realize that I will never have that someone's voice. That I will never listen my name is spoken using that someone's voice.

For the thousand times, again, I don't feel alright in spite all of these comforting sounds you make.*

Mew - Comforting Sound

(PS: This song is so good I probably will cry when I listen to this and is on my solitude (cie gitu) but seriously, so comforting, so relaxing, most of all, more pairs of ears need to listen to this song!)

Tuesday 24 November 2015

Aku adalah Jarak Antar Aksara

Aku adalah jarak antar aksara
Terpisah, atau mungkin sengaja dipisahkan dari aksara untuk sekadar memenuhi nilai estetika

Aku adalah jarak antar aksara
Barisan rindu yang tak sempat terucap kembali mengalir sendu
lewat celahku yang tak seberapa lebar

Aku adalah jarak antar aksara
Yang menjaga kalian, para aksara, dari segala benturan dan tidak keteraturan

Aku adalah jarak antar aksara
Yang mengantar para aksara menuju pelabuhan terakhir mereka

Aku adalah jarak antar aksara
Yang tidak bisa memilih harus berada di antara aksara yang mana dan yang apa

Aku adalah jarak antar aksara
Yang sesekali ingin berubah menjadi aksara
Agar bisa diperhatikan--disentuh--dirasakan--

                             "... dan agar bisa membentuk suatu kumpulan aksara penuh makna bersamamu."

Aku adalah jarak antar aksara
Yang sudah lelah memisahkan aksara-aksara,

"... padahal aku ingin sekali bersatu dengan aksara; denganmu."

Aku adalah jarak antar aksara
Yang sudah lelah dan
Yang selalu merasa bersalah
Karena selalu memisahkan dan tidak pernah mempersatukan

Aku adalah jarak antar aksara
Yang selalu diam dalam suatu interval

Aku adalah jarak antar aksara
Yang ingin kalian, para aksara, bersatu
Walau aku, jarak, harus rela tergerus
Oleh karet penghapus
Dan akhirnya
Pupus

Ah, tapi siapalah aku;
Hanya jarak antar aksara
Yang hanya bisa mengucap rindu dalam diam dan interval
Yang sesekali ingin menjelma menjadi aksara agar dapat bersanding denganmu;
Aksara yang paling aksara

Lalu aku sadar,

"Tetapi, hidup selalu punya tetapi."*

---


*Kutipan Aan Mansyur dalam novelnya, Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi

Saturday 10 October 2015

- (4)



This is not actually the first time I recorded something and uploaded it on internet, but it still feels weird. Not talking about you but because actually this record *has* something to do with you so I guess, I feel, ... still weird.

Pardon my voice, and not quite-fit-intonations. I might ruin the whole poems (I guess I really did), but who cares. I recorded it for 2 days straight, waiting for the perfect record to be uploaded on the internet, and guess what, none of these records is perfect.

None.

And that's okay. It's just like our love-life, isn't it? Far from perfect, but still flowing.

---

Credits to him, all the beautiful poems I just read were from his old blog titled "Reassessing Eskapisme #1" and "..dan kau pun datang membakar dengan canggung".

If the video doesn't work, here's the link.

Saturday 3 October 2015

Buat Salma

Cie yang tanggal 3 Oktober tadi ulang tahun.

Gue ngucapinnya telat, ya? He. Bodo amat. Yang penting ngucapin.

Asik udah 18 tahun sekarang umurnya. Udah boleh nikah. Terus membesarkan anak di Puncak Merbabu. Mantap.

Asik udah 18 tahun sekarang umurnya. Udah bukan sweet seventeen lagi tapi bitter eighteen because sudah semakin tua jadi semakin banyak rintangan hidup yang harus dilewati????

Ga deng. Elo kan strong, ya. Bolak-balik naik turun tangga bawa ember yang isinya air aja kuat, masa angkat beban hidup nggak kuat.

Gue juga strong, sih. Kita kan duo strong.

Strong.

Nama kabupaten di provinsi Papua Barat.

Maaf. Gue masih garing ternyata. Kirain semenjak ditinggal dia gue udah nggak garing lagi. Ternyata masih. Heu.

Kenapa judulnya "Buat Salma"?

Coba tebak. Kalo bener, novel "Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi" gue buat elo.

GA DENG ENAK AJA ITU GUE BELI JAUH-JAUH DI SENAYAN BIAR DAPET DISKON HNGGGH.

Coba tebak kenapa judulnya "Buat Salma"?

Ding-ding!

Gue juga nggak tau kenapa judulnya itu. Cuma itu yang kepikiran???

Ya Allah. Kebanyakan basa-basi. Kebanyakan alesan. Pantes aku ditinggal. Cry.

Buat Salma,

Halo. Inget nggak pertama kali kita ketemu yang melibatkan kontak mata ((geli ngetiknya ew)) itu di angkot pas pulang sekolah? Terus lo nggak berani nyapa gue gara-gara muka gue judes. Emang dasar nggak tau diri lo dasar belalai panjang milik Bona.

Buat Salma,

Halo lagi. Inget nggak kita disatukan oleh Bu Lusi di kelompok matematika? Kelompok 4. Gue yang jadi ketua kelompok. Ketua kelompok apaan ulangan statistika dapet nilai 60. Cry. Terus lo dapet 100. Terus lo dapet beng-beng max (eh apa silver queen?) dari Bu Lusi. Gue mupeng. Hhhh.

Buat Salma,

Halo lagi. Inget nggak percakapan pertama kita tentang novel? Lo modus gitu nanya-nanya gue punya novel ini apa engga, tau novel anu apa engga. Terus kita tukeran novel. Hhh ftv sekali.

Buat Salma,

Halo lagi. Inget nggak kita satu kelompok (lagi) di tugas film. Bosen tau nggak. Ew. Terus dengan excuse kalo kita nggak mau tampil di depan kamera, kita lebih milih jadi scriptwriter. Kalo diinget-inget lagi agak gimana gitu, ya. Terus syuting di Grand Wisata (tae gue ngakak ngetiknya), terus lo nemu belalang (apa cencorang??? Gue nggak bisa bedain????) di lapangan samping ruko. Lo bawa pulang. Dikasih makan duku. Eh apa kelengkeng? Terus dinamain siapa itu--Gonzales?

Buat Salma,

Halo lagi. Dulu kita ngomongnya masih pake aku-kamu, ya? Ini sebenernya geli kalo diinget-inget lagi. Tapi gpp. Mending diinget-inget lagi. Daripada dilupain. Itu nggak enak. Apalagi kalo udah deket banget sampe kode sana-sini. Eh nggak taunya malah nggak jadi. Asem emang.

Buat Salma,

Waktu Jakarta Book Fair tahun 2014 kita hedon banget, ya. Sampe nabung di tabung Pringles. Terus segala ditulis, "Demi Masa Depan Yang Lebih Baik" di tube-nya. Dapet 70 ribu dalam kurun waktu berapa--2 minggu, ya? Subhanallah. Alhamdulillah bisa beli buku di sana.

Buat Salma,

Waktu kelas 3 kita semakin liar, ya. Imajinasi kita makin ke mana-mana. (HAHAHAHAHAAHAHAHAHAHAHA) Apalagi kalo abis sholat Ashar di mushala sekolah. Emang kita nggak tau diri sih. Abis sholat bukannya tadarusan, lah ini malah berfantasi. Mending yang bagus-bagus. Lah ini. Hnggh.

Buat Salma,

Inget nggak kita pulang sekolah jam setengah 6 sore. Ngapain? Belajar. Ghibah juga sih. Dikit. Ngulang soal-soal buat kuis minggu depan. Ngabisin kertas HVS persediaan kelas cuma buat ngitung integral yang satu soal jawabannya bisa sampe satu halaman penuh. (Engga sih, ini gue doang ya bikos you know I tidak suka hitung-hitungan menggunakan pensil dan selalu menggunakan pulpen jadinya selalu penuh coretan) (Sombong)

Buat Salma,

Cie jadi orang pertama yang lulus kuis Matematika Pak Hamzah. Terus keluar. Disenyumin Pak Hamzah. Liat Pak Hamzah langkah tegap maju niruin anggota Paskibra yang lagi latihan di bawah. TERUS GUE JADI ORANG KETIGA YANG LULUS. HAHAHAHAHAHAHHAHA TERUS GUE NANGIS SAKING BAHAGIANYA???????

Buat Salma,

Buku Wreck This Journal-nya masih gue simpen. Belum semuanya diisi. Ya abis partner in crime buat wreck the journal-nya udah keburu bahagia sama yang lain. (Hah) Makasih, ya, kadonya. Drama banget ew ngasihnya di tengah jalan sambil nunggu angkot.

Buat Salma,

Kita pernah bikin kontingen buat POR di kelas sampe maghrib. Ngelukisnya pake cat, saking artsy-nya, ngecat-nya nggak pake kuas. Pake jari. Abis itu nggak mau cuci tangan. Gue sampe diliatin orang-orang di angkot. Mantap.

Buat Salma,

Kita jadi ketua kelompok kimia. H-sekian presentasi Kimia terakhir, kita makan mie ayam terus di kantin. Pake sambel yang banyak. Alesannya? Biar pas presentasi gastritis kita kambuh. Terus kitanya nggak presentasi. Anak buah kita yang presentasi. Bodo amat. Lagian yang kerja cuma ketuanya doang. Kan kzl.

Tapi akhirnya gastritis kita nggak kambuh dan tetep presentasi. Asem.

Buat Salma,

Galau masalah pria? Basi. Kita galau masalah SNMPTN. Tapi akhirnya tetep nggak keterima juga sih. Yha.

Buat Salma,

Makin ke sini makin sedikit ya ceritanya abis gue bingung kalo harus nulis ulang kehidupan SMA kita yang laknat???? Susah????? Mending disimpen sendiri kan????

Iyain aja biar cepet.

Buat Salma,

Selamat ulang tahun! Semoga panjang umur dan sehat selalu. Dimudahkan segala urusannya. Nggak ambyar lagi. Nggak gampang sensi lagi. Semoga bisa membahagiakan semua orang yang memang pantas untuk dibahagiakan. Jangan lupa bersyukur. Jangan lupa bahagia. Jangan lupa kalo lo nggak sendirian di sini. Semoga bisa pulang ke rumah yang tepat dengan segera, ya :p Semoga bisa terwujud #SalmaSixPack2016 #SalmaJadiPolwan2016 uwuwuwuw doaku bersamamu.

Makasih hari Selasa 2 tahun yang lalu lo nyapa gue duluan--bukan nyapa ding. Ngajak ngobrol gue duluan. Nanya-nanya tentang novel which was why aku sungguh bahagia akhirnya ada juga teman seperjuangan yang suka baca novel???

Makasih udah mau jadi anggota di Kelompok 4 Matematika. Makasih udah mau nerima gue jadi ketua kelompok padahal gue nggak bener orangnya gradakan so slengean so gampang salting.

Makasih udah mau kerja bareng jadi scriptwriter meskipun gue kerjanya wow so berantakan HAHAHAHAHAHA MAAF AKU TIDAK BECUS MEMBUAT SKENARIO MAKANYA KEHIDUPAN ASMARAKU JADI SEPERTI INI SEKARANG HAHAHAHAHAHAHAHAHAHASEDIH

Makasih udah mau menerima segala kekurangan gue. Kalo misalkan ada lebihnya, simpen aja gpp. Buat kenang-kenangan.

Makasih udah mau jadi temen gue selama ini. Susah bareng, ngakak bareng, pusing bareng, lulus bareng, nangis bareng, ambyar bareng. Hmm.

Makasih udah mau jadi menuruti ego gue dan memakluminya. Makasih udah bertahan selama 2 tahun terakhir (semoga bisa sampe tahun-tahun berikutnya he). Makasih udah ngasih saran, makasih udah mau denger segala curhatan gue, makasih udah maki-maki gue kalo gue salah + begonya kambuh.

Nggak tau lagi mau nulis apa. Bingung. Kadonya nanti ya, nyusul kalo gue udah punya duit sendiri. (Doain makanya mudah-mudahan gue bisa dapet murid bulan-bulan ini HAHAHAHAHAHAHAHAH DASAR DEMANDING PANTESAN DITINGGAL HAHAHAHAHAAHAHAHAHAHA)

Dah ah. Nggak tau lagi.

Gue ngucapinnya udah paling telat belum? Udah kan, ya? Ok. Love you to the Pluto and get lost!



Foto aib. Gpp. Lucu. Ngapain jaim. Yaela. Blog gue juga nggak ada yang baca ini kan. Masnya pergi udah lama nggak tau ke mana jadi nggak ada yang singgah di sini lagi. Hm. Lho ini ada Agus di belakang. Gpp. Makin lucu. Ok. Bye.

Sunday 30 August 2015

A(n) (In)direct Letter For You

Hello. For whoever who reads it, this post might be a long one. And sucks. And who cares. I hope you read this. Because this one, again, is for you. And I'd like to apologize first in an advance.

I am sorry.

-----

I know I hurt you. And just like people say that regret always comes so late (and unfortunately it fucking does), I feel so dumb. For wasting opportunities that should have been great if I took them but I just didn’t.

You are a grown man. And I guess I also am a grown woman (seriously? I am only 18 years old by the time I write this.) You feel. I feel. You have feelings. I do have too. And sometimes, feelings fuck. They fuck each other. Those feeling—either a good or a bad ones—fuck—then another fucked up feeling being born. That fucked up feeling turned out to be a very worst possibility. Way too worse than anxiety, from being forgotten, being unloved, being ignored, from being hurt.

And I know I hurt you. Like, a lot. Trust me I didn’t mean it. Let me be brutally honest here. I’ve never ever been in this situation before where feelings and logic keep fucking and make another ‘what-if’ being born. I’ve never felt something like this (okay perhaps I have but this one was too strong I couldn’t handle????)

And I am sorry.

Sorry is not enough, I know.

No I’m not gonna blame myself for not being a verbal person because fuck you, self, this is not what we’re gonna confess about damnit.

I was confused. I still am. Because fuck feelings, right?

I write this post because I know I hurt you. You may not tell, but I know. I love people who don’t express their feelings and emotions right away because observing people is fun. Observing you included. I know what kind of people are you by the way you write. By the way you type. The way you speak. The way you take photos and write story behind them. I know. I just don’t tell. Just like you.

We’ve been hurt, okay? Not exactly being hurt in quite some same aspects but we’ve been hurt. No wonder. You ever hurt me. Not as straight as the way I hurt you, and I might be childish by thinking that you hurt me where in fact you didn’t. You were too nice to me. You treated me like I was your favorite pet. But I hurt anyway.

I know you’re reading this. And you might be wondering is this you in this writing is really you or another you. Yes, this post is meant for you. Yes, you. My muse. My kryptonite. My 2 a.m. thought.

This open letter I write actually is the most non-effective-way-to-apologize but at least I tried.

I tried my ass.

Write all my regrets down is probably the best thing I can do right now. Because I know you read. I don’t know if I was still your favorite writer or no but again, I tried.

I may hurt you. Many times. I played with your feelings. I doubted your seriousness. What else. Oh, I declined everything. I was a demanding bitch (oh wait I still am). I pretended that nothing happened between us where in fact there was always something between us.

So, take me back? When you do, you’ll no longer be my 2 a.m. thought. You’ll be my every-hour thought.

Just kidding.

Take me back, so I will try to fix you.

Wait, that line is already taken by Coldplay.

Take me back, I will be right here waiting for you.

Damn it, you thief. Already taken by Richard Marx.

Take me back, or you don’t you have to, at all.

Seriously, take it or leave it. I don't mind.

As long as you are okay, then that would be enough. (Point plus if you finally have another human being who is able to make you smile and laugh more often.)

Yes, you don’t have to take me back. Just let this thing be just the way it is, shall we?

Then I’ll no longer feel any insecurity creeps myself out when it comes to you.

I’ll no longer feel that this all is my fault.

Speaking of fault, the fault in our stars—ding-ding!—should have been “The Fault in Nastar".

OH LOOK I AM TRYING TO BE FUNNY BUT I FAILED.

Okay. I’ll stop. I hope you’re laughing by reading this. Or at least giggling. But smiling would do too. Because I miss the way I could make you laugh back then.

Laugh often. Smile often. And I promise I will write often.

Okay, not mostly write about you, but I will.

Just either give or leave me wonderful stories about us and I will write them down.

Do everything good, with or without me, okay?

Smile. Please. I'm begging you. Please. Smile. I love your smile. Yes. That smile. Oh my God. Keep smiling. Wait where is my camera—shit the battery is low—wait!—damnit now this thing is not working!—hey, we should take a selfie once our meeting is not declined again, okay?

***

Friday 21 August 2015

You; My 2 a.m. Thought



not 2 a.m. yet
still 12 a.m.
but should I wait
in 2 hours full of longing
so that I am
capable to say

I
      miss
                 you
                             ?
no I cannot
wait
any longer

***

these yearnings are unstoppable
so is time
the clock that I've been taking a glance at constantly for an hour while I write this post
keeps on ticking
because
it will take me to you;
my 2 a.m. thought

***

Saturday 25 July 2015

- (3)


Terus semuanya porak-poranda.

Nggak tau Dewa Zeus dan/atau Satrio Piningit-nya lagi di mana.

Tergantung siapa yang dateng duluan (ah tapi nggak tergantung juga sih. Saya maunya kamu yang dateng duluan), and just like what Ash Ketchum said, (maybe) I'd excitedly say; "I choose you,"

.... to help me fixing the mess. 

(and if the mess cannot be fixed at all, that's okay because I will still choose you anyway to be my partner-in-crime so we can enjoy this mess together)

Hhe.

Thursday 23 July 2015

- (2)


.... And for you, I'll keep trying to write
as often as you wanted me to do.
And just like the other night
when everything I did was always about you.

***

Oh, I still do.

***

Wednesday 22 July 2015

(No) Room in Frame

I play guitar.

Not quite well, but I do. (and I pretty suck, really)

And I know you do too.

At least, I hope you do.

So, you know, we can do these guitar-related things together. Cover songs, sing along, get our nails stuck on the strings, teach each others about how to strum well, to finger-style well,

And the universe knows you can teach me how to fall in love again.

***



(I'm hugging the guitar. Sure I wish that the guitar were you after all)
(Lol, pardon my fantasy)


Ps: When will both of us take selfie in one frame? Screw Death Cab for Cutie with their No Room in Frame.

I want us, in one frame, for this present time.

I need you to be real.

Please, be real.

Sunday 19 July 2015

-


This is my very first writing in 100 words project. Not that good and the vocabularies are not grammatically well written, but I'll try harder again soon.

Hey I just think that this very first project is not that good because your disappearance for these last few days has been bugging my mind ever since so that I kind of, lack of motivation (????)

Wow look I am murmuring crap again. 

Sorry. 

I wish you well and do stuffs good as usual.

Saturday 11 July 2015

A Little Truth That Remains Unseen

Dear someone who encourages me to write more,
I know you are not the only one who seems to, but anyway, thank you.

Dear someone who encourages me to write more,
Sorry I'm using you as the idea behind this writing,
And sorry for not asking for your permission first. (you know I am a rebel one, don't you?)

Dear someone who encourages me to write more,
Let's write together someday. Let's see if we could have such soul-match in writing (lovey-dovey) stuffs.

Dear someone who encourages me to write more,
Write something, I'm givin' up on you.

Dear someone who encourages me to write more,
Here's the little truth:

I can't thank you enough.

***

Saturday 4 July 2015

But Dear, It Doesn't Always Look Like It May Seem



Let's play assumption game.

Let's assume that this book, this page, is my heart.

Let's assume that you love me. (Assumption, okay? Because I know you won't, so shut up.)

"Gores dengan benda tajam."

Would you ever give it any scratch?

Would you ever let my heart's torn up? Would you ever let it bleed? Would you ever do the command?

The worst; would you ever notice?

***

This is one of the pages of the book titled "Wreck This Journal". It was a birthday present. A dear friend gave it to me last year. And I loved this part. I loved this page. I even scratched the page by myself. While I was scratching the page, you know what, I thought about my heart too as well. I wondered if my heart would ever end up like this page; scratched and tore up.

And I just found the answer within these last 3 days; it would.

***

Spoiler: my heart is being scratched too. Somebody has scratched it.

Guess who;

it's probably you.

***

Surprise much? Relax, calm your tits. It's period.

***

PS: Looks like my masochist side is showing up again. Because I love the way you scratch my heart like nobody does. I love the way you scratch my heart by the way you notice, and by the way you pay me such little attention.

Thank you, and fuck you.

***

Sunday 21 June 2015

12:38 am

12:30 am

I write less lately.

I don't know, I have many things to be written down but my hands just don't seem to.

And I am sorry.

For breaking my own promises. I told myself that I would write thousand poems for you. I would write everything about you. But I failed.

These words I was trying to create just seemed to fly away.

Fly away.

Far.

Then farther.

Just like you.

Just like us.

Or just like me, who doesn't want to make things either complicated or confusing.

So I choose to step back. Choose to stay away from the things that I shouldn't have involved into.

Choose to leave everything behind.

Choose to not have any heart (that soon will be) broken.

I am sorry.

For breaking my own promises. To choose to step back. To leave you.

But you don't know that I leave, do you?

You never realized. You never knew. Whether I was there or not.

So I guess you won't miss my disappearance though.

Am I right?

***

12:38 am

"Hi. Where have you been?"

***

Friday 17 April 2015

That Back


A drawing with its story written on it. 
Explains enough, doesn't it?

----

No, I don't miss you.
I miss it--my unknown's back.

---

Sunday 22 March 2015

I Just Finished You

The end of the chapter of Saman, Ayu Utami

It almost enters April.

And I haven't read any fiction book. Literally. Because I've been busy (lol, seriously).
But, yes, it's true. I haven't.
But I have read you. I have finished you.
And I am quite happy.
Because after longing for the answer of the riddle in you, I finally found it.

And no doubt, of course, that I am quite sad too. Simply because, me, you; end.
I can't find surprises in you anymore. I can't find the pleasure of touching you, sniffing you, wondering you, guessing your end, I just can't.

***

Middle of 2013.

Hi, my name is Wulan and you can mind my name by calling me nobody or whatever.

I love reading. Especially those books that make me being a desperate bitch for days, or maybe weeks, and those books that left hundred of dead butterflies in my stomach.

Ugh, I can't resist good books.

I was on my way of finding good books. And I found this book. Well, I had no idea what genre this book was but that was okay. This book might be interesting as well.

--

See? I was right! This book was undeniably good! Even awesome! I found myself laughed. I found myself happy when I turned the next page.

See you guys later! I need more time to spend with this book. Alone. Just the two of us. Ehe.

--

I love this book. Well-written, well-packaged, well-everything.

Enough said.

--

Months passed. 

And I can't find my book.

Where are you?

--

Um, hello..

Well, this is awkward...

But...

Why are you gone?

Please, come back. Let my fingers explore you. Let my nose sniff you.

Please..?

--

***

Middle of 2014.

It seems that I have no chance anymore.

I lost my good book. I can't even..

--

I've been looking information about you, my book. And I found some. Yet, I am still in doubt that you wouldn't mind if I *cough* stalk you.

Is that okay with you, book?

--

***

Early March, 2015.

Finally, finally, finally. I've got a chance to explore you again. To read you. To finish you. To find surprises in you.

Knowing that you are okay and do things well makes me happy.

Thank you for believing in me.

***

Fast forward to now, 3 weeks after.

Now it's time.

To close you.

To (supposedly) be satisfied because the riddle in you has been solved. 

But I cannot be satisfied *that* easily, you know.

I haven't had enough time to explore you. To sniff you. To mark every lovely word in you using my marker.

But well, you already said those ultimate words.

So, yeah, I better do what you said.

Because, you are the best book I've ever read (and sniffed) so far. And I, of course, cannot refuse your command.

You are my closed book now. Because I past-participle you.

***

But seriously, it's rare for me to find a book with "Finish"/ "End"/ "Selesai" written at the end of the chapter.

So I simply assume that the story wasn't really end that way.

Sometimes the story still creeps on us, haunts us, makes us wonder.

And even though you said those ultimate words, I neither found the word "Finish" nor "End" nor "Selesai". Well it might only me who was being a baper bitch.

So..

Is there still hope...?

You know, the story, can it be continued?

Well, if it can't, that's okay.

I can still reread you though.

And who knows I could find another object in you which I missed months ago.

And once again, or twice, or third, being grateful because The Lord has been letting me explored you back then.

I knew I was a lucky bitch. And I still am. Because I've ever had you.


***

The Yellow Birds, Kevin Powers.

Sunday 8 March 2015

Semangat Terus

Semangat terus jangan sampai engga.

Iya, semangat terus. Kalo tiba-tiba merasa nggak semangat, ya harus semangat terus biar semangat.

Kenapa harus semangat, sih?

Ya biar kita semua jadi semangat. Apalagi?

Oh! Biar bisa melihat senyum penuh kemenangan dan kepuasan dari para berandal ini. (yang nggak ada di foto ini, maaf ya. Lagian salah sendiri kenapa nggak ikut foto-foto. Bwek.)


Semangat terus. Hidup ini kayak buku trilogi. Atau bahkan tetralogi, yang terdiri dari beberapa buku. Buku 1 sudah selesai? Ish, jangan seneng dulu. Masih ada lanjutannya. Masih banyak yang lebih klimaks. Maka dari itu, semangat terus, ya, jangan sampai engga.




Materi praktikum numpuk? Tugas-tugas jadi lebih gila dari semester-semester sebelumnya? Pendalaman Materi setiap hari? Kuis terus tiap awal dan akhir minggu? My ass. Semangat terus makanya. Biar nggak ngeluh mulu.

(Atau mungkin bisa minta tolong sama mereka biar tugas-tugasnya diratain, dibenyek-benyekin pake Rolling Pin.)


Semangat terus.
Kalo nggak semangat, nanti Kepala Suku bisa marah.


Semangat terus....

Semangat selfie maksudnya. Ehe.



 



Semangat terus. Biar kita bisa sukses bareng-bareng. Biar kita bisa bilang, "CUK, GUE LULUS UN, CUK." dan nggak ada satu pun berandal-berandal kesayangan kita semua yang ketinggalan.

Semangat terus. Karena sebentar lagi, kita udah sampai di ending Buku 1. Kalo udah selesai, ya udah. Tapi masih ada Buku 2 atau Buku 3 atau Buku 4 yang udah nungguin. Yang udah nuntut minta dibaca. Makanya semangat terus. Biar cepat selesai. Kasian buku-buku lain yang udah nunggu buat dibaca. Nunggu itu nggak enak tau.

Semangat terus. Kalau nggak semangat, kapan mau semangatnya? Kapan mau suksesnya? Kapan mau nunjukin ke semesta kalau semangat kita bakalan berbuah hasil?

Semangat terus. Biar nggak disangka iklan sosis yang diulang-ulang. Biar nggak disangka iklan sosis yang diulang-ulang. Biar nggak disangka iklan sosis yang diulang-ulang.

Oke maaf.

Semangat terus. Karena saya, gue, masih bukan orang yang verbal.

Yang nggak bisa secara langsung ngasih semangat ke kalian semua, 31 bajingan yang udah bareng-bareng sama gue selama 2 tahun terakhir ini.

Ya coba aja bayangin gue ngasih semangat ke 31 anak-anak kelas. Kalo nggak heboh. Kalo nggak salting. Hah.

Jadi mending nggak usah.

Jadi mending lewat tulisan ini. Lewat doa.

Gini-gini gue bisa melankolis orangnya.

Ehe.

Jadi, semangat terus, ya.

Jangan sampai engga.

Kalo nggak semangat, gue santet lo semua satu-satu. Gue benyekin pake Rolling Pin. Gue siram larutan HCl biar badan lo semua pada gatel-gatel. Mamam.

Friday 20 February 2015

Bapak



Bapak. Begitu saya biasa memanggilnya.

Saya rindu bapak.

Dan alasan mengapa saya menulis tentang bapak di sini adalah karena rindu ini sudah tidak terbendung lagi. Dan saya (masih) bukan orang yang verbal yang bisa dengan mudahnya menceritakan segala keluh-kesah saya pada semua orang. Atau beberapa orang. Ah, apa bedanya?

Saya cerita sedikit tentang Bapak, ya.

Bapak saya adalah seorang pesulap. Perawakannya memang seram. Dengan kumis lebat yang menggantung di antara mulut dan hidungnya. Tapi ketika kalian melihatnya tersenyum--abrakadabra!--kesan seram itu akan sirna dalam sekejap. Digantikan oleh sosok yang ramah.

Bapak saya adalah seorang MacGyver. Tangannya lihai sekali saat membetulkan barang yang rusak. Atau menciptakan barang baru. Alat elektronik, peralatan dapur, mainan, katakan saja, semua pasti akan kembali berfungsi seperti sedia kala. Bahkan lebih baik dari fungsi aslinya.

Bapak saya adalah seorang koki. Tidak terhitung berapa banyak masakan lezat yang bapak buat untuk saya, ibu, dan kakak saya. Jangan ditanya rasanya. Jujur, sampai sekarang saya belum menemukan telur dadar yang rasanya melebihi telur dadar buatan bapak.

Bapak saya adalah seorang penyanyi. Suara bapak bagus. Saya suka mendengar bapak berkaraoke setiap hari Minggu di rumah. Lagu yang selalu bapak putar tidak jauh dari lagu-lagu milik Michael Jackson dan New Kids On The Block.

Bapak saya adalah seorang teman yang baik. Bapak selalu menemani saya bermain. Mulai dari lempar bola di teras, ular tangga, dan monopoli. Bapak juga selalu berbagi. Apapun miliknya, kalau saya suka, pasti milik saya juga. Bapak juga selalu berbagi makanan. Suatu ketika bapak membelikan saya lolipop. Saya mencobanya. Dan saya tidak suka. Saya mengembalikan lolipop yang sudah saya kulum itu kepada bapak. Dan bapak menerimanya dengan senang hati dan mulai mengulumnya. Bapak juga pernah berbagi minuman berenergi dengan lambang kepala banteng di botolnya kepada saya. (Sstt, ibu saya tidak pernah tahu tentang hal ini.)

Bapak saya adalah seorang pendengar yang baik. Ceritakanlah segala keluh-kesahmu pada bapak, dan bapak pasti akan membantumu mencari jalan keluar. Bahkan tidak jarang bapak menyelipkan beberapa lelucon.

Bapak saya adalah seorang pekerja keras. Bapak berangkat ke kantor pukul 8 pagi. Dan pulang ke rumah pukul 7 malam. Dan bapak tidak akan tidur sebelum pukul 3 pagi. Saya tidak tahu kenapa. Tapi kadang saya berpikir bapak saya tidak akan pergi tidur sebelum kami, anak-anak dan istrinya tidur lelap. Bapak ingin memastikan kami baik-baik saja. Karena jika salah satu dari kami terbangun di tengah malam dan butuh sesuatu, bapak yang selalu hadir dan memenuhi sesuatu itu.

Bapak saya adalah seorang yang tegar. Bahkan saat divonis menderita kanker kelenjar getah bening stadium 3 dan komplikasi, bapak masih bisa tersenyum. Walau kanker itu membuat bapak tidak bisa bicara dan beraktivitas banyak, bapak masih bisa menemani saya menonton tv. Bapak masih bisa membetulkan mainan saya yang rusak.

Bapak saya adalah seorang pejuang. Di sela hari-harinya yang dipenuhi dengan segala macam obat dan diet ketat, bapak masih pergi bekerja. Kami semua melarang. Tapi bapak keras kepala. "Biar bisa beliin adek kamera baru," ujarnya suatu hari sebelum berangkat bekerja.

Bapak saya adalah seorang yang luar biasa. Bahkan saat bapak meninggal tahun 2010 lalu, saya masih bisa merasakan semangatnya untuk hidup di kamar itu.

Bahkan sampai sekarang, saya masih bisa merasakan semangat itu.

***

Saya tidak tahu apakah bapak tahu saya bukanlah orang yang verbal. Namun sepertinya bapak tahu.

Dan di saat-saat seperti inilah, ketika segala tekanan dan emosi bercampur jadi satu, saya merasa saya berada di titik paling lemah. Saya seperti berada di ujung jurang. Satu dorongan saja, dan selesai sudah.

Saya tidak memiliki banyak orang yang bisa saya andalkan. Terutama untuk masalah yang seperti ini. Yang melibatkan hati dan logika. Walau jauh, jauh di dalam hati saya ingin sekali berbagi keluh-kesah, saya tidak mampu. Saya tidak bisa. Walaupun bisa, pesan saya tidak akan tersampaikan.

Karena sampai sekarang, saya (masih) bukan orang yang verbal.

Dan saya rindu bapak.

Tidak relevan, memang. Tapi saya rindu bapak.

Ada beberapa masalah yang sepertinya hanya bapak yang mengerti dan tahu jalan keluarnya. Bantu anakmu ini, ya, Pak? Saya janji, kalau sempat, kalau ada waktu, saya akan berziarah dan membersihkan rumput liar yang mulai tumbuh di makam bapak.

Ah, iya. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca ini, Pak. Salam untuk Joy, Doy, Mega, Cing, dan 14 kucing lain yang tidak sempat saya beri nama. Semoga kalian semua bahagia di surga.

Friday 13 February 2015

Kamu dan Karya Seni

Saya akui saya bukan seorang pengamat karya seni yang baik.

Saya tidak bisa menentukan mana karya seni yang bagus secara estetika, dan mana yang tidak.

Karya seni yang bagus, menurut saya, adalah karya seni yang bisa membuat saya tersenyum hanya dengan melihat, menyentuh, atau mendengarnya.

Iya, saya tahu saya memang bukan seorang pengamat karya seni yang baik.

Saya cukup jadi pengagum dan penikmat saja.

Pengagum.

Penikmat.

Ada beberapa karya seni yang tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Juga tidak boleh dipotret. Hanya bisa dilihat dari jauh. Dan hanya bisa dirasakan dari jauh.

Ah, saya jadi ingat kamu.

Kenapa?

Karena menurut saya, kamu itu seperti karya seni; indah, tetapi hanya bisa dikagumi. 

Juga hanya bisa dilihat dan dirasakan dari jarak yang relatif tidak dekat.

Sebentar, boleh nggak, saya menjadikan kamu--si karya seni--sebagai hak milik agar saya bisa dengan bebasnya menyentuh, memotret, melihat, mengagumi, dan merasakan kamu dari dekat, seperti dari dalam dekap saya ini, misalnya?

Sunday 25 January 2015

Saya Masih Punya Sepasang Telinga




Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik.

Saya masih bisa mendengar suara-suara yang syahdu. Saya masih bisa mendengar lantunan suara adzan dari masjid di ujung gang. Saya masih bisa mendengar suara ibu saya membangunkan saya kala subuh datang. Saya masih bisa mendengar lantunan suara dari radio peninggalan almarhum ayah saya yang sudah usang. Saya masih bisa mendengar suara gesekan daun-daun di halaman yang saling mengucap rindu.

Mengucap rindu.

Hahaha, rindu apa.

Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik.

Kadang telinga saya mendengar apa yang ingin saya dengar. Namun kadang mendengar apa yang tidak ingin saya dengar. Dan tidak jarang mendengar sesuatu yang tidak ingin saya dengar namun mau tidak mau harus saya dengar; dan sebaliknya. Vice versa.

Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik.

Dan saya masih bisa mendengar kamu. Kamu. Suaramu. Tawamu. Ceritamu. Gurauanmu. Candamu. Leluconmu.

Kamu tahu, saya mempunyai sepasang telinga. Dan keduanya masih berfungsi dengan baik. Dan apabila suatu saat sebelah telinga saya tidak dapat berfungsi lagi dengan baik sebagaimana mestinya, ketahuilah, saya masih mempunyai sebelah telinga yang lain.

Yang bersedia untuk mendengar ceritamu. Walaupun kamu tidak ingin ceritamu didengar oleh saya, lalu kamu memilih telinga orang lain yang masih utuh, yang sempurna, untuk mendengarkan cerita kamu.

Ketahuilah, walau sayup, telinga saya masih dapat mendengar sayup yang syahdu itu.

Walau sayup, walau kamu tidak meminta saya untuk mendengar, walau kamu tidak meminta pendapat saya tentang apa yang baru saja saya dengar, ketahuilah, saya masih bersedia mendengarkan.

Walau jauh. Walau tidak diminta.

Hanya mendengarkan saja.

Lalu diam-diam bersyukur. Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa sepasang (atau sebelah?) telinga saya dustakan saat mendengar sayup syahdu yang keluar dari mulutmu itu?

Thursday 22 January 2015

Saya Bosan Menerka-Nerka

Kalau ditanya, "apa sih yang bikin kamu suka sama dia?", maka saya akan menjawab,

"Saya suka punggungnya."

Iya, saya akan jawab itu. Lalu disusul oleh "selera humornya, senyumnya, tawanya, tatapan matanya--"

"Lho, berarti kamu lihat dia dari fisiknya, dong?"

Iya. Saya nggak mau munafik. Toh, itu cuma punggung.

Cuma punggung.

Yang (kata orang) biasa saja. Yang tidak kekar. Yang tidak bidang. Yang tidak kuat.

Yang tapi bagi saya, menyimpan banyak kekuatan. Yang menyimpan banyak cerita. Yang terlihat tangguh, walau tidak setangguh yang orang-orang kira. Yang dengan melihatnya saja--tanpa mampu menjamahnya--bisa membuat saya tersenyum dalam diam. Yang hangat. Yang nyaman.

Ah, sial. Saya mulai bicara yang tidak-tidak.

Tapi sungguh. Saya suka punggung itu. Saya suka punggungmu itu.

Ah, saya bosan menerka-nerka senyaman apa rasa punggungmu. Boleh nggak sih saya memersetankankan semua hal dan langsung bersandar di punggung kamu saja?

***

Thursday 1 January 2015

Nwe Yaer Whta?

My first pure black-to-death coffee in 2015.

It's 2015 already.

New Year.

2014 was a good year.  Yes, indeed it was.

I've learned a lot in 2014. I've got many experiences. I've laughed a lot. I've cried a lot. I read a very good book seriously only if I could marry it.

And I  found him.

My object, whose laugh is crunchy. Whose smile is extremely sweet I almost could feel diabetes creeping up on me.

It's him. Who never sees me. Because I am either unseen, or he doesn't even care and got no time to look upon me.

And it's me, who stays quiet. Who smiles in silent. Who is his nobody, yet keeps wanting to be his somebody, someday.

-------------------------------------

Oh, look. I am murmuring *crap* again.

Forgive me, 2015.
I'm counting on you.