Sunday 28 October 2012

Untitled

Saya maunya sama kamu. Sungguh! Saya nggak mau sama yang lain. Cuma sama kamu saya bisa merasakan desiran dan getaran aneh di dalam diri saya. Cuma sama kamu saya bisa menjadi seperti sekarang. Kalaupun saya tidak bisa bersama kamu sekarang, saya akan menunggu lagi.

Mau, ya kamu nungguin saya? Supaya kita saling menunggu.

10 atau 15 tahun lagi. Mungkin bisa kurang, mungkin bisa lebih.

Mungkin.

Saturday 27 October 2012

Maaf

rindu /rin·du/a 1 sangat ingin dan berharap benar thd sesuatu.

cinta /cin·ta/ a 1 suka sekali; sayang benar.

sayang 1 /sa·yang / a kasih sayang (kpd); cinta (kpd); kasih (kpd); 2 v sayang akan (kpd); amat suka akan (kpd); mengasihi; mencintai.

Definisi kata rindu, cinta dan sayang bisa dengan mudah saya temukan di kamus. Mudah. Dan saya juga dapat mendefinisakan ketiga kata itu saat saya melihat kamu. Lho, memangnya saya pernah melihat kamu?

Pernah!

Di setiap kata yang saya rangkai menjadi kalimat, saya selalu terbayang wajahmu. Yang oriental, dan dengan rahang-rahang yang menonjol. Dan juga di setiap lagu pengantar tidur yang selalu berkumandang dari radio usang itu--wajahmu selalu terbayang! Aduh, saya tidak sabar. Doraemon, mana mesin waktunya? Atau setidaknya pinjamkan saya pintu kemana saja-mu.

Saya mohon.

Karena rasa rindu, cinta dan sayang saya sudah tidak tersematkan lagi.***


Maaf  ya saya selalu menulis tentang kamu. Saya pernah membaca sebuah kutipan novel, tulis apa yang sedang kamu pikirkan. Karena saya selalu memikirkan kamu, jadi...?

Maaf ya. Suatu saat nanti saya akan menebus kesalahan saya dengan memberimu tiga definisi rasa yang sudah tersemat di dalam dada saya. Rasa yang sudah lama tersemat. Untuk kamu. Hanya untuk kamu. Karena sesungguhnya rasa ini milik kamu - dan juga saya. Milik kita berdua.

Maaf karena sudah dengan lancangnya saya menulis tentang kamu. Tanpa seizin kamu. Suatu saat, saya janji saya akan mengirimkan tulisan-tulisan saya untuk kamu. Bersamaan dengan datangnya koran dan botol-botol susu itu. Hanya untuk kamu. Karena tulisan saya ini memang hanya untuk kamu.

Thursday 25 October 2012

Something Black Named Coffee

Saya nggak tau kapan tepatnya saya suka kopi. Dulu saya sering buatin almarhum ayah saya kopi. Setiap hari setelah beliau pulang dari kantor. Saya suka membuatnya. Mengaduk kopi dan gula agar berbaur menjadi satu di dalam cangkir beling yang bening. Saya suka melihat kepulan asap kopi yang disertai dengan aroma kopi yang luar biasa menenangkan. Saya suka melihat pusaran air di permukaan cangkir yang berbentuk spiral bersamaan dengan serbuk-serbuk kopi yang belum larut.

Singkatnya, saya telah jatuh cinta pada kopi!

Tapi belakangan ibu saya yang selalu melihat saya sibuk di dapur dengan cangkir, ceret, dan stoples yang berisi kopi dan gula berkata; "Jangan suka minum kopi, dek. Masih muda udah suka ngopi. Nanti cepet tua, lho." Aduh, ibu, maaf. Saya sudah terperosok jauh dalam pesona kopi. Pesonanya yang hitam dan anggun. Dan seperti saat ini - saat awan-awan kelabu yang terlihat seperti kapas menggantung di sudut-sudut langit, saya benar-benar membutuhkan kopi.

Seorang novelis pernah memosting sebuah foto yang memperlihatkan secangkir kopi dan me-tweeted;


You, beautiful liquid of happiness.



Never too late..,

For a...,
  



Kopi. Terima kasih, ya.

Monday 22 October 2012

Tentang Rasa yang Lebih Besar

"Cinta bukanlah benda padat. Ngerti kamu?"
"Mengapa seorang pria bisa mencintai wanita, dan sebaliknya, walaupun jauh sebelumnya mereka tidak memiliki perasaan apa-apa sama sekali? Sebabnya ya, karena cinta itu seperti air, selalu mengalir untuk mengisi ruangan yang kosong. Ruangan yang kosong itu adalah hati manusia."
"Jangan lupa kalau air hanya mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Cinta juga begitu. Makanya, jika kamu ingin dia mencintai kamu, maka cinta kamu kepadanya harus jauh lebih tinggi."
-Here After: 96-97, Karya Mahir Pradana.

Masalahnya, sampai saat ini saya nggak tahu bagaimana perasaan orang itu kepada saya. Lebih tinggikah? Lebih rendahkah? Atau malah tidak memiliki perasaan kepada saya sama sekali?

Aduh, kamu itu susah ditebak. 
Perlu diingat kalau saya itu bukan Sherlock Holmes yang suka menyelesaikan kasus-kasus.
Saya hanyalah seorang gadis kecil yang sedang mencari jalan untuk pulang.
Pulang ke hati kamu.***

Sunday 21 October 2012

Tentang Perjalanan

I will travel far.
Around the world.
With you.
Both. Together.
-Me



Dari dulu saya punya ambisi untuk menaklukan dunia.
Minimal keliling dunia dulu, deh. Baru menaklukan.
Tapi sekarang saya punya ambisi baru.

Menaklukan kamu.
Memenangkan hati kamu.

Setelah saya berhasil menaklukan kamu,
Kita berdua akan pergi mengelilingi dunia--menaklukan dunia.
Berdua. Bersama-sama.

Dunia berada di dalam genggaman kita.
Kita juga sedang mengenggam sesuatu.
Sesuatu yang biasa dipanggil cinta.

Ayo kita keliling dunia!

Thursday 18 October 2012

Fajar dan Jingga

Saya selalu bertemu dengannya dimana-mana. Di koridor, di cafetaria, di halte, di perpustakaan. Dia tidak melihat saya—mungkin. Tapi saya melihatnya dan ia selalu terlihat sibuk dengan buku-buku yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil. Sebenarnya saya tidak tega. Ingin rasanya saya menghampiri dan membantunya membawa buku-buku itu. Tapi rasanya saya tidak bisa. Kaki saya seperti terpasung.

Suatu ketika, sehabis bertarung dengan hipotesa-hipotesa sialan yang diberikan oleh dosen, saya pergi ke cafetaria. Sekadar membeli minuman dan sepiring nasi untuk mengganjal perut yang sudah meraung-raung untuk diisi. Dan saya melihatnya, lagi. Bagai sebuah penyejuk di gersangnya gurun kehidupan saya, saya merasa seperti hidup kembali. Semua perasaan kesal saya pun ikut hilang. Dia duduk di pojok cafetaria. Masih dengan buku-buku tebal yang entah bercerita tentang apa. Ia sedang membaca. Ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia bahkan tidak merasa terusik dengan suara menggelegar sekelompok gadis-gadis yang sedang bergosip di sebelahnya. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran saya. Hampir satu menit penuh saya berdiri memandangnya di dalam pintu cafetaria. Entah saya yang terlalu berlebihan—sampai memandanginya seperi itu atau memang ia adalah seorang gadis yang luar biasa sampai-sampai saya memandanginya seperti itu?

***

Hari ini hari Minggu. Saya terbebas dari mata kuliah yang seakan-akan ingin membunuh saya. Dan hari ini saya berniat untuk bermeditasi di dalam rumah sepanjang hari. Saat itu pukul dua siang saat saya sedang dengan nikmatnya menyantap beberapa seri komik manga terbaru kesukaan saya. Lalu tiba-tiba ponsel saya berdering menandakan adanya pesan singkat yang masuk. Dari teman saya. Dia menyuruh saya untuk menemaninya ke distro milik keluarganya untuk memeriksa beberapa item yang baru datang. Tadinya saya ingin menolak. Tapi tidak jadi. Saya mengiyakan ajakannya.

Sinar matahari begitu terik sampai-sampai saya harus menghalaunya menggunakan sebelah tangan. Saya baru ingin masuk kedalam distro milik keluarga teman saya itu sampai sebuah suara dentuman keras menyita perhatian saya. Para warga yang berada di dekat situ langsung berlari berhamburan menuju suara dentuman itu berasal. Ada yang ketabrak, katanya. Perempuan. Kayaknya masih kuliah. Teman saya berlari kecil ke kerumunan warga yang sedang melingkari sesuatu. Mungkin sedang mengerumuni korbannya, pikir saya. Saya tidak ikut masuk kedalam kerumunan itu. Terlalu pengap. Lalu mata saya tiba-tiba tertuju pada suatu hamparan di dekat kerumunan warga. Beberapa buah buku yang terhampar. 

Buku-buku yang saya kenal. 

Keringat dingin mulai mengucuri dahi saya. Saya tidak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sedang saya pikirkan saat ini. Saya berusaha untuk berpikir dengan jernih dan menepisnya, tetapi tidak bisa. Lalu akhirnya teman saya keluar dari kerumunan itu dan menghampiri saya.

Udah meninggal. Nggak bisa ditolong lagi. Katanya tabrak lari. Muka korbannya familiar banget. Dia satu kampus sama kita.

Demi Tuhan, bukan itu yang ingin saya dengar!

Jantung saya berdegup kencang. Saya memberanikan diri menerobos masuk ke dalam kerumunan warga. Tidak memperdulikan betapa pengapnya dan kurangnya asupan oksigen yang saya dapat di dalam kerumunan itu. Saya tercekat. Ternyata dugaan saya benar. Kemungkinan-kemungkinan aneh yang saya pikirkan tadi ternyata benar.

***

Belakangan ini saya mengetahui namanya. Jingga.

Gadis luar biasa itu, gadis yang bernama Jingga, gadis yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri, gadis yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil dengan buku-buku tebal itu, gadis yang selalu saya temui di koridor, cafetaria, halte dan perpustakaan, gadis yang mampu menyita pandangan saya selama satu menit penuh, gadis yang tidak pernah menyadari kehadiran saya itu..,

Kini sudah tidak ada lagi jingga yang seperti itu. Karena sekarang Jingga sudah padam ditelan oleh gelapnya malam.

Saya menemui suatu hubungan dalam nama kami berdua. Fajar dan Jingga. Fajar yang telah padam ditelan oleh Jingga dan Jingga yang sudah padam karena tertelan habis oleh kelamnya malam.

Karena sesungguhnya tidak akan pernah ada Jingga sebelum Fajar dan tidak akan pernah ada Fajar sebelum Jingga dan kelamnya malam.

Monday 15 October 2012

Kopi


“Sejak kapan kau mulai tergila-gila dengan kopi?” 

“Sejak aku kecil, mungkin? Entahlah. Mungkin saat aku berumur 15 tahun.” 

“Kau bercanda? Berapa cangkir kopi yang sudah kau minum hari ini?” 

“Sekitar 4 atau 5 gelas..? Ah, sudahlah. Aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah bahwa aku menyukai kopi. Itu saja.” 

***

Sky berdiri di depan sebuah gerai kopi di sudut kota. Ia menatap kedalam gerai. Kakinya seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tidak bisa bergerak. Tapi keinginannya untuk menyesap secangkir kopi sangatlah besar. Ia melirik jam tangannya. Masih pukul delapan. Belum terlalu larut untuk mampir sebentar.

“Kau tahu, sulit rasanya menghentikan suatu kebiasaan yang sudah kita lakukan sejak lama.” Sky menoleh ke arah suara. Seorang pria dengan kemeja biru sedang berdiri di sebelahnya.

Sky mengangguk dan menghela nafas panjang. “Kau benar. Did Karin tell you?

Kali ini gantian pria itu yang mengangguk. “Iya. Karin memberitahuku tadi.”

“Baiklah,” Sky memutar badannya sehingga ia dan pria itu berdiri berhadapan. “Aku harus pulang sekarang. Aku duluan.” Sky berubah pikiran. Ia tidak jadi mampir ke gerai kopi itu. Bisa gawat urusannya jika pria ini memberitahu Karin nanti. Sky lalu berbalik dan pergi meninggalkan pria itu.

“Hei, Sky. Kau tidak usah memaksakan diri.” Seru pria itu dari kejauhan. Sky menoleh dan tertawa. Lalu ia mengepalkan sebelah tangannya ke udara. Pria itu balas mengepalkan sebelah tangannya juga.

***

Sky butuh kopi. Apa yang bisa ia lakukan tanpa kopi? Oh, astaga. Tapi ia tidak ingin penyakit gastritis ini semakin menyerangnya. Gastritis memang bukan penyakit yang berbahaya—setidaknya itu yang dokter katakan. Tapi Sky tidak pernah merasa baik-baik saja saat penyakit musiman itu melandanya. Kurangi kafein, katanya. Hindari stres yang berlebihan, katanya. Banyak makan-makanan berkabohidrat, katanya. Katanya, katanya, katanya.

Pukul sebelas malam. Layar ponselnya berkedip. Ada sebuah pesan masuk. Dari Karin.

Hanya pesan singkat biasa. Karin hanya menyuruhnya untuk beristirahat yang cukup. Tidak ada secangkir kopi lagi untuk hari ini. Sky mendengus. Ia melempar ponselnya ke ranjang, berjalan ke dapur, mengambil satu kotak besar es krim dan melahapnya dalam porsi besar.



“Sky!” Sky mendongak. Ia menyipitkan matanya dan melihat seorang pria menghampirinya.

Hey. Have a seat.” Sky mempersilakan pria itu untuk duduk di hadapannya dan ia kembali mengaduk-ngaduk cangkir kopinya.

“Apa yang kau minum? Kopi? Bagaimana kalau Karin melihat ini?” tanyanya. Sky tertawa kecil.

“Tidak apa-apa. Lagipula aku belum minum kopi tadi pagi.”

“Sebenarnya, apa gastritis itu parah? Separah apa?” Sky mendongak lagi dan tatapan mereka berdua bertemu. Lalu Sky buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Tidak terlalu parah. Kau hanya merasakan suatu manuver di dalam perutmu. Lalu akhirnya cairan keruh itu keluar—jangan tanya apa karena aku tahu kau sudah bisa menebaknya.” Pria itu tertawa. “Lalu kau akan merasa baikan. Tapi tiba-tiba manuver itu terjadi lagi. Padahal perutmu sudah terasa kosong. Sudah tidak ada lagi yang bisa kau keluarkan tapi tetap, cairan keruh itu keluar lagi. Dan akan tetap begini sampai kau mengimbanginya dengan karbohidrat.” Sky menyesap kopinya. Tapi pria itu masih memperhatikan gerak-gerik Sky.

“Tapi aku benar-benar tidak apa-apa. Sungguh. Kata dokter penyakit ini tidak parah. Dan aku hanya disuruh untuk mengurangi asupan kafein.”

“Kau tahu, dulu aku perokok berat.” Kali ini giliran Sky yang menatapnya tidak percaya.

“Benarkah?” Pria itu tersenyum melihat gestur tubuh Sky yang penasaran.

“Ya. Dan aku berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan itu. Aku bahkan sampai mengunyah permen karet tiap kali aku ingin merokok. Lucu, ya? Tapi sekarang aku sudah bersih. Aku sama sekali tidak merokok barang satu hisap pun.” Ujar pria itu. Lalu mereka berdua terdiam.

“Aku tidak tahu apa aku bisa mengurangi asupan kafein dalam sehari.” Ujar Sky rendah.

“Kenapa tidak?” tanya pria itu.

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa? Semua bisa jika ada kemauan dari diri kita masing-masing.”

“Masalahnya,” Sky menggigit bibirnya. “Masalahnya, bagaimana kau bisa berubah kalau dirimu sendiri tidak mengizinkan kau untuk berubah? Bagaimana aku bisa berubah jika diriku sendiri menolak dengan adanya perubahan dan bagaimana aku bisa berubah kalau aku sendiri tidak punya kemauan untuk berubah?”

Pria itu tertegun. Baik ia dan Sky sama-sama tidak bisa menjawab. Waktu rasanya seperti berhenti. Hanya kepulan asap kopi yang bergerak. Bergerak dalam diam dan akhirnya menguap begitu saja di udara. Seakan menjawab pertanyaan mereka berdua.

Tuesday 9 October 2012

Metropolitan


  


Di kota Metropolitan itu,
yang penuh dengan emisi karbon dan unsur-unsur gas yang bau
Kita akan bertemu.
Memulai lembar baru;
yang nantinya akan disusun menjadi sebuah buku.
Buku yang berisi tentang sesuatu.
Sesuatu tentang aku dan kamu. ***

Sunday 7 October 2012

Bahagia

Selamat pagi! Ah, cuaca diluar bagus sekali. Awan-awan menggantung di sudut-sudut langit.

Question of the day: Apakah hari ini saya bahagia?

Iya!

Kenapa saya bahagia?

Karena saya masih bisa bernafas dan menulis postingan ini.

Bahagia itu kan sederhana.

Saya pernah menonton salah satu acara talkshow. Disitu ada bintang tamu seorang kakek berumur 70 tahun yang masih semangat menjajakan mainan jualannya dengan menggunakan sepeda. Lalu tiba-tiba sang host bertanya,

"Bapak bahagia nggak dengan keadaan bapak yang seperti ini?" 
"Bahagia,"
"Apa yang membuat bapak bahagia?" 
"Makan."

Sesederhana itukah?
Lucu, ya.
Saya juga bahagia kok.
Saya bahagia waktu saya bisa makan makanan kesukaan saya. Saya bahagia waktu saya punya kucing baru yang imut. Saya bahagia waktu koneksi internet dirumah saya kenceng. Saya bahagia waktu saya minum kopi. Saya bahagia waktu ngeliat orangtua dan keluarga saya bahagia. Saya bahagia waktu saya makan cokelat. Saya bahagia waktu saya bisa mengikuti semua pelajaran di sekolah tanpa kesulitan. Saya bahagia waktu saya menulis. Saya bahagia waktu saya bisa membeli sesuatu menggunakan uang saya sendiri. Saya bahagia waktu saya membaca novel-novel tebal itu.

Saya bahagia waktu saya ingat kamu.
Saya bahagia waktu saya liat nama kamu ada di chat list saya.

Bahagia itu (memang betul-betul) sederhana.

Saturday 6 October 2012

Penting

Penting. Penting itu apasih?

penting
pen.ting
[a] (1) utama; pokok: perkara --; (2) sangat berharga (berguna) (3) mempunyai posisi yg menentukan

Percakapan absurd baru saja terjadi dengan salah seorang teman. Baru saja.

Semua ini bermula dari komputer saya (dan kakak saya tentu saja) yang terkena virus. Yang mau tidak mau harus di backup dan di install ulang. Semua data hilang. Dan saya bercerita pada teman saya ini. Rifat namanya. Saya bilang, "semua data ilang. tapi untungnya alamat sama nomer handphone-nya Aaron nggak keapus. sempet gue backup."

 

Terus saya bales,


Lalu percakapan ini berlanjut lagi.

 




 


I do and I will.
Eh, kamu. Coba liat, betapa beraninya saya ngomong kayak gitu (emang itu sih kenyataanya).
Dan jujur, ucapan-ucapan itu keluar begitu saja dari pikiran saya.

Saya setia, ya?
Kalo sama kamu, mudah-mudahan saya setia. Eh, amin.

Jangan lupa sertai nama saya diantara doa-doa kamu.
Tuhan itu Maha Pengabul,
Kali saja doa kita dikabulkan.

Satu amin dan beratus-ratus amin yang selalu di gumamkan tanpa jeda.***


Terimakasih atas percakapan ini, Mr.Hwang!