Saya selalu bertemu dengannya
dimana-mana. Di koridor, di cafetaria, di halte, di perpustakaan. Dia tidak
melihat saya—mungkin. Tapi saya melihatnya dan ia selalu terlihat sibuk dengan
buku-buku yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil. Sebenarnya saya
tidak tega. Ingin rasanya saya menghampiri dan membantunya membawa buku-buku
itu. Tapi rasanya saya tidak bisa. Kaki saya seperti terpasung.
Suatu ketika, sehabis bertarung
dengan hipotesa-hipotesa sialan yang diberikan oleh dosen, saya pergi ke
cafetaria. Sekadar membeli minuman dan sepiring nasi untuk mengganjal perut
yang sudah meraung-raung untuk diisi. Dan saya melihatnya, lagi. Bagai sebuah
penyejuk di gersangnya gurun kehidupan saya, saya merasa seperti hidup kembali.
Semua perasaan kesal saya pun ikut hilang. Dia duduk di pojok cafetaria. Masih
dengan buku-buku tebal yang entah bercerita tentang apa. Ia sedang membaca. Ia
seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia bahkan tidak merasa terusik dengan
suara menggelegar sekelompok gadis-gadis yang sedang bergosip di sebelahnya. Ia
bahkan tidak menyadari kehadiran saya. Hampir satu menit penuh saya berdiri
memandangnya di dalam pintu cafetaria. Entah
saya yang terlalu berlebihan—sampai memandanginya seperi itu atau memang ia
adalah seorang gadis yang luar biasa sampai-sampai saya memandanginya seperti
itu?
***
Hari ini hari Minggu. Saya
terbebas dari mata kuliah yang seakan-akan ingin membunuh saya. Dan hari ini
saya berniat untuk bermeditasi di dalam rumah sepanjang hari. Saat itu pukul
dua siang saat saya sedang dengan nikmatnya menyantap beberapa seri komik manga terbaru kesukaan saya. Lalu
tiba-tiba ponsel saya berdering menandakan adanya pesan singkat yang masuk.
Dari teman saya. Dia menyuruh saya untuk menemaninya ke distro milik
keluarganya untuk memeriksa beberapa item
yang baru datang. Tadinya saya ingin menolak. Tapi tidak jadi. Saya mengiyakan
ajakannya.
Sinar matahari begitu terik
sampai-sampai saya harus menghalaunya menggunakan sebelah tangan. Saya baru ingin
masuk kedalam distro milik keluarga teman saya itu sampai sebuah suara dentuman
keras menyita perhatian saya. Para warga yang berada di dekat situ langsung
berlari berhamburan menuju suara dentuman itu berasal. Ada yang ketabrak, katanya. Perempuan.
Kayaknya masih kuliah. Teman saya berlari kecil ke kerumunan warga yang
sedang melingkari sesuatu. Mungkin sedang
mengerumuni korbannya, pikir saya. Saya tidak ikut masuk kedalam kerumunan
itu. Terlalu pengap. Lalu mata saya tiba-tiba tertuju pada suatu hamparan di
dekat kerumunan warga. Beberapa buah buku yang terhampar.
Buku-buku yang saya
kenal.
Keringat dingin mulai mengucuri dahi saya. Saya tidak mau memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang sedang saya pikirkan saat ini. Saya berusaha untuk
berpikir dengan jernih dan menepisnya, tetapi tidak bisa. Lalu akhirnya teman
saya keluar dari kerumunan itu dan menghampiri saya.
Udah meninggal. Nggak bisa ditolong lagi.
Katanya tabrak lari. Muka korbannya familiar banget. Dia satu kampus sama kita.
Demi
Tuhan, bukan itu yang ingin saya dengar!
Jantung
saya berdegup kencang. Saya memberanikan diri menerobos masuk ke dalam
kerumunan warga. Tidak memperdulikan betapa pengapnya dan kurangnya asupan
oksigen yang saya dapat di dalam kerumunan itu. Saya tercekat. Ternyata dugaan
saya benar. Kemungkinan-kemungkinan aneh yang saya pikirkan tadi ternyata
benar.
***
Belakangan ini saya mengetahui namanya. Jingga.
Belakangan ini saya mengetahui namanya. Jingga.
Gadis luar biasa
itu, gadis yang bernama Jingga, gadis yang selalu sibuk dengan dunianya
sendiri, gadis yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil dengan
buku-buku tebal itu, gadis yang selalu saya temui di koridor, cafetaria, halte
dan perpustakaan, gadis yang mampu menyita pandangan saya selama satu menit
penuh, gadis yang tidak pernah menyadari kehadiran saya itu..,
Kini
sudah tidak ada lagi jingga yang seperti itu. Karena sekarang Jingga sudah
padam ditelan oleh gelapnya malam.
Saya
menemui suatu hubungan dalam nama kami berdua. Fajar dan Jingga. Fajar yang
telah padam ditelan oleh Jingga dan Jingga yang sudah padam karena tertelan
habis oleh kelamnya malam.
Karena
sesungguhnya tidak akan pernah ada Jingga sebelum Fajar dan tidak akan pernah
ada Fajar sebelum Jingga dan kelamnya malam.
No comments:
Post a Comment