Thursday, 18 October 2012

Fajar dan Jingga

Saya selalu bertemu dengannya dimana-mana. Di koridor, di cafetaria, di halte, di perpustakaan. Dia tidak melihat saya—mungkin. Tapi saya melihatnya dan ia selalu terlihat sibuk dengan buku-buku yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil. Sebenarnya saya tidak tega. Ingin rasanya saya menghampiri dan membantunya membawa buku-buku itu. Tapi rasanya saya tidak bisa. Kaki saya seperti terpasung.

Suatu ketika, sehabis bertarung dengan hipotesa-hipotesa sialan yang diberikan oleh dosen, saya pergi ke cafetaria. Sekadar membeli minuman dan sepiring nasi untuk mengganjal perut yang sudah meraung-raung untuk diisi. Dan saya melihatnya, lagi. Bagai sebuah penyejuk di gersangnya gurun kehidupan saya, saya merasa seperti hidup kembali. Semua perasaan kesal saya pun ikut hilang. Dia duduk di pojok cafetaria. Masih dengan buku-buku tebal yang entah bercerita tentang apa. Ia sedang membaca. Ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia bahkan tidak merasa terusik dengan suara menggelegar sekelompok gadis-gadis yang sedang bergosip di sebelahnya. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran saya. Hampir satu menit penuh saya berdiri memandangnya di dalam pintu cafetaria. Entah saya yang terlalu berlebihan—sampai memandanginya seperi itu atau memang ia adalah seorang gadis yang luar biasa sampai-sampai saya memandanginya seperti itu?

***

Hari ini hari Minggu. Saya terbebas dari mata kuliah yang seakan-akan ingin membunuh saya. Dan hari ini saya berniat untuk bermeditasi di dalam rumah sepanjang hari. Saat itu pukul dua siang saat saya sedang dengan nikmatnya menyantap beberapa seri komik manga terbaru kesukaan saya. Lalu tiba-tiba ponsel saya berdering menandakan adanya pesan singkat yang masuk. Dari teman saya. Dia menyuruh saya untuk menemaninya ke distro milik keluarganya untuk memeriksa beberapa item yang baru datang. Tadinya saya ingin menolak. Tapi tidak jadi. Saya mengiyakan ajakannya.

Sinar matahari begitu terik sampai-sampai saya harus menghalaunya menggunakan sebelah tangan. Saya baru ingin masuk kedalam distro milik keluarga teman saya itu sampai sebuah suara dentuman keras menyita perhatian saya. Para warga yang berada di dekat situ langsung berlari berhamburan menuju suara dentuman itu berasal. Ada yang ketabrak, katanya. Perempuan. Kayaknya masih kuliah. Teman saya berlari kecil ke kerumunan warga yang sedang melingkari sesuatu. Mungkin sedang mengerumuni korbannya, pikir saya. Saya tidak ikut masuk kedalam kerumunan itu. Terlalu pengap. Lalu mata saya tiba-tiba tertuju pada suatu hamparan di dekat kerumunan warga. Beberapa buah buku yang terhampar. 

Buku-buku yang saya kenal. 

Keringat dingin mulai mengucuri dahi saya. Saya tidak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sedang saya pikirkan saat ini. Saya berusaha untuk berpikir dengan jernih dan menepisnya, tetapi tidak bisa. Lalu akhirnya teman saya keluar dari kerumunan itu dan menghampiri saya.

Udah meninggal. Nggak bisa ditolong lagi. Katanya tabrak lari. Muka korbannya familiar banget. Dia satu kampus sama kita.

Demi Tuhan, bukan itu yang ingin saya dengar!

Jantung saya berdegup kencang. Saya memberanikan diri menerobos masuk ke dalam kerumunan warga. Tidak memperdulikan betapa pengapnya dan kurangnya asupan oksigen yang saya dapat di dalam kerumunan itu. Saya tercekat. Ternyata dugaan saya benar. Kemungkinan-kemungkinan aneh yang saya pikirkan tadi ternyata benar.

***

Belakangan ini saya mengetahui namanya. Jingga.

Gadis luar biasa itu, gadis yang bernama Jingga, gadis yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri, gadis yang selalu memenuhi kedua tangannya yang mungil dengan buku-buku tebal itu, gadis yang selalu saya temui di koridor, cafetaria, halte dan perpustakaan, gadis yang mampu menyita pandangan saya selama satu menit penuh, gadis yang tidak pernah menyadari kehadiran saya itu..,

Kini sudah tidak ada lagi jingga yang seperti itu. Karena sekarang Jingga sudah padam ditelan oleh gelapnya malam.

Saya menemui suatu hubungan dalam nama kami berdua. Fajar dan Jingga. Fajar yang telah padam ditelan oleh Jingga dan Jingga yang sudah padam karena tertelan habis oleh kelamnya malam.

Karena sesungguhnya tidak akan pernah ada Jingga sebelum Fajar dan tidak akan pernah ada Fajar sebelum Jingga dan kelamnya malam.

No comments:

Post a Comment