Monday, 15 October 2012

Kopi


“Sejak kapan kau mulai tergila-gila dengan kopi?” 

“Sejak aku kecil, mungkin? Entahlah. Mungkin saat aku berumur 15 tahun.” 

“Kau bercanda? Berapa cangkir kopi yang sudah kau minum hari ini?” 

“Sekitar 4 atau 5 gelas..? Ah, sudahlah. Aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah bahwa aku menyukai kopi. Itu saja.” 

***

Sky berdiri di depan sebuah gerai kopi di sudut kota. Ia menatap kedalam gerai. Kakinya seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tidak bisa bergerak. Tapi keinginannya untuk menyesap secangkir kopi sangatlah besar. Ia melirik jam tangannya. Masih pukul delapan. Belum terlalu larut untuk mampir sebentar.

“Kau tahu, sulit rasanya menghentikan suatu kebiasaan yang sudah kita lakukan sejak lama.” Sky menoleh ke arah suara. Seorang pria dengan kemeja biru sedang berdiri di sebelahnya.

Sky mengangguk dan menghela nafas panjang. “Kau benar. Did Karin tell you?

Kali ini gantian pria itu yang mengangguk. “Iya. Karin memberitahuku tadi.”

“Baiklah,” Sky memutar badannya sehingga ia dan pria itu berdiri berhadapan. “Aku harus pulang sekarang. Aku duluan.” Sky berubah pikiran. Ia tidak jadi mampir ke gerai kopi itu. Bisa gawat urusannya jika pria ini memberitahu Karin nanti. Sky lalu berbalik dan pergi meninggalkan pria itu.

“Hei, Sky. Kau tidak usah memaksakan diri.” Seru pria itu dari kejauhan. Sky menoleh dan tertawa. Lalu ia mengepalkan sebelah tangannya ke udara. Pria itu balas mengepalkan sebelah tangannya juga.

***

Sky butuh kopi. Apa yang bisa ia lakukan tanpa kopi? Oh, astaga. Tapi ia tidak ingin penyakit gastritis ini semakin menyerangnya. Gastritis memang bukan penyakit yang berbahaya—setidaknya itu yang dokter katakan. Tapi Sky tidak pernah merasa baik-baik saja saat penyakit musiman itu melandanya. Kurangi kafein, katanya. Hindari stres yang berlebihan, katanya. Banyak makan-makanan berkabohidrat, katanya. Katanya, katanya, katanya.

Pukul sebelas malam. Layar ponselnya berkedip. Ada sebuah pesan masuk. Dari Karin.

Hanya pesan singkat biasa. Karin hanya menyuruhnya untuk beristirahat yang cukup. Tidak ada secangkir kopi lagi untuk hari ini. Sky mendengus. Ia melempar ponselnya ke ranjang, berjalan ke dapur, mengambil satu kotak besar es krim dan melahapnya dalam porsi besar.



“Sky!” Sky mendongak. Ia menyipitkan matanya dan melihat seorang pria menghampirinya.

Hey. Have a seat.” Sky mempersilakan pria itu untuk duduk di hadapannya dan ia kembali mengaduk-ngaduk cangkir kopinya.

“Apa yang kau minum? Kopi? Bagaimana kalau Karin melihat ini?” tanyanya. Sky tertawa kecil.

“Tidak apa-apa. Lagipula aku belum minum kopi tadi pagi.”

“Sebenarnya, apa gastritis itu parah? Separah apa?” Sky mendongak lagi dan tatapan mereka berdua bertemu. Lalu Sky buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Tidak terlalu parah. Kau hanya merasakan suatu manuver di dalam perutmu. Lalu akhirnya cairan keruh itu keluar—jangan tanya apa karena aku tahu kau sudah bisa menebaknya.” Pria itu tertawa. “Lalu kau akan merasa baikan. Tapi tiba-tiba manuver itu terjadi lagi. Padahal perutmu sudah terasa kosong. Sudah tidak ada lagi yang bisa kau keluarkan tapi tetap, cairan keruh itu keluar lagi. Dan akan tetap begini sampai kau mengimbanginya dengan karbohidrat.” Sky menyesap kopinya. Tapi pria itu masih memperhatikan gerak-gerik Sky.

“Tapi aku benar-benar tidak apa-apa. Sungguh. Kata dokter penyakit ini tidak parah. Dan aku hanya disuruh untuk mengurangi asupan kafein.”

“Kau tahu, dulu aku perokok berat.” Kali ini giliran Sky yang menatapnya tidak percaya.

“Benarkah?” Pria itu tersenyum melihat gestur tubuh Sky yang penasaran.

“Ya. Dan aku berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan itu. Aku bahkan sampai mengunyah permen karet tiap kali aku ingin merokok. Lucu, ya? Tapi sekarang aku sudah bersih. Aku sama sekali tidak merokok barang satu hisap pun.” Ujar pria itu. Lalu mereka berdua terdiam.

“Aku tidak tahu apa aku bisa mengurangi asupan kafein dalam sehari.” Ujar Sky rendah.

“Kenapa tidak?” tanya pria itu.

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa? Semua bisa jika ada kemauan dari diri kita masing-masing.”

“Masalahnya,” Sky menggigit bibirnya. “Masalahnya, bagaimana kau bisa berubah kalau dirimu sendiri tidak mengizinkan kau untuk berubah? Bagaimana aku bisa berubah jika diriku sendiri menolak dengan adanya perubahan dan bagaimana aku bisa berubah kalau aku sendiri tidak punya kemauan untuk berubah?”

Pria itu tertegun. Baik ia dan Sky sama-sama tidak bisa menjawab. Waktu rasanya seperti berhenti. Hanya kepulan asap kopi yang bergerak. Bergerak dalam diam dan akhirnya menguap begitu saja di udara. Seakan menjawab pertanyaan mereka berdua.

No comments:

Post a Comment