Friday 20 February 2015

Bapak



Bapak. Begitu saya biasa memanggilnya.

Saya rindu bapak.

Dan alasan mengapa saya menulis tentang bapak di sini adalah karena rindu ini sudah tidak terbendung lagi. Dan saya (masih) bukan orang yang verbal yang bisa dengan mudahnya menceritakan segala keluh-kesah saya pada semua orang. Atau beberapa orang. Ah, apa bedanya?

Saya cerita sedikit tentang Bapak, ya.

Bapak saya adalah seorang pesulap. Perawakannya memang seram. Dengan kumis lebat yang menggantung di antara mulut dan hidungnya. Tapi ketika kalian melihatnya tersenyum--abrakadabra!--kesan seram itu akan sirna dalam sekejap. Digantikan oleh sosok yang ramah.

Bapak saya adalah seorang MacGyver. Tangannya lihai sekali saat membetulkan barang yang rusak. Atau menciptakan barang baru. Alat elektronik, peralatan dapur, mainan, katakan saja, semua pasti akan kembali berfungsi seperti sedia kala. Bahkan lebih baik dari fungsi aslinya.

Bapak saya adalah seorang koki. Tidak terhitung berapa banyak masakan lezat yang bapak buat untuk saya, ibu, dan kakak saya. Jangan ditanya rasanya. Jujur, sampai sekarang saya belum menemukan telur dadar yang rasanya melebihi telur dadar buatan bapak.

Bapak saya adalah seorang penyanyi. Suara bapak bagus. Saya suka mendengar bapak berkaraoke setiap hari Minggu di rumah. Lagu yang selalu bapak putar tidak jauh dari lagu-lagu milik Michael Jackson dan New Kids On The Block.

Bapak saya adalah seorang teman yang baik. Bapak selalu menemani saya bermain. Mulai dari lempar bola di teras, ular tangga, dan monopoli. Bapak juga selalu berbagi. Apapun miliknya, kalau saya suka, pasti milik saya juga. Bapak juga selalu berbagi makanan. Suatu ketika bapak membelikan saya lolipop. Saya mencobanya. Dan saya tidak suka. Saya mengembalikan lolipop yang sudah saya kulum itu kepada bapak. Dan bapak menerimanya dengan senang hati dan mulai mengulumnya. Bapak juga pernah berbagi minuman berenergi dengan lambang kepala banteng di botolnya kepada saya. (Sstt, ibu saya tidak pernah tahu tentang hal ini.)

Bapak saya adalah seorang pendengar yang baik. Ceritakanlah segala keluh-kesahmu pada bapak, dan bapak pasti akan membantumu mencari jalan keluar. Bahkan tidak jarang bapak menyelipkan beberapa lelucon.

Bapak saya adalah seorang pekerja keras. Bapak berangkat ke kantor pukul 8 pagi. Dan pulang ke rumah pukul 7 malam. Dan bapak tidak akan tidur sebelum pukul 3 pagi. Saya tidak tahu kenapa. Tapi kadang saya berpikir bapak saya tidak akan pergi tidur sebelum kami, anak-anak dan istrinya tidur lelap. Bapak ingin memastikan kami baik-baik saja. Karena jika salah satu dari kami terbangun di tengah malam dan butuh sesuatu, bapak yang selalu hadir dan memenuhi sesuatu itu.

Bapak saya adalah seorang yang tegar. Bahkan saat divonis menderita kanker kelenjar getah bening stadium 3 dan komplikasi, bapak masih bisa tersenyum. Walau kanker itu membuat bapak tidak bisa bicara dan beraktivitas banyak, bapak masih bisa menemani saya menonton tv. Bapak masih bisa membetulkan mainan saya yang rusak.

Bapak saya adalah seorang pejuang. Di sela hari-harinya yang dipenuhi dengan segala macam obat dan diet ketat, bapak masih pergi bekerja. Kami semua melarang. Tapi bapak keras kepala. "Biar bisa beliin adek kamera baru," ujarnya suatu hari sebelum berangkat bekerja.

Bapak saya adalah seorang yang luar biasa. Bahkan saat bapak meninggal tahun 2010 lalu, saya masih bisa merasakan semangatnya untuk hidup di kamar itu.

Bahkan sampai sekarang, saya masih bisa merasakan semangat itu.

***

Saya tidak tahu apakah bapak tahu saya bukanlah orang yang verbal. Namun sepertinya bapak tahu.

Dan di saat-saat seperti inilah, ketika segala tekanan dan emosi bercampur jadi satu, saya merasa saya berada di titik paling lemah. Saya seperti berada di ujung jurang. Satu dorongan saja, dan selesai sudah.

Saya tidak memiliki banyak orang yang bisa saya andalkan. Terutama untuk masalah yang seperti ini. Yang melibatkan hati dan logika. Walau jauh, jauh di dalam hati saya ingin sekali berbagi keluh-kesah, saya tidak mampu. Saya tidak bisa. Walaupun bisa, pesan saya tidak akan tersampaikan.

Karena sampai sekarang, saya (masih) bukan orang yang verbal.

Dan saya rindu bapak.

Tidak relevan, memang. Tapi saya rindu bapak.

Ada beberapa masalah yang sepertinya hanya bapak yang mengerti dan tahu jalan keluarnya. Bantu anakmu ini, ya, Pak? Saya janji, kalau sempat, kalau ada waktu, saya akan berziarah dan membersihkan rumput liar yang mulai tumbuh di makam bapak.

Ah, iya. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca ini, Pak. Salam untuk Joy, Doy, Mega, Cing, dan 14 kucing lain yang tidak sempat saya beri nama. Semoga kalian semua bahagia di surga.

Friday 13 February 2015

Kamu dan Karya Seni

Saya akui saya bukan seorang pengamat karya seni yang baik.

Saya tidak bisa menentukan mana karya seni yang bagus secara estetika, dan mana yang tidak.

Karya seni yang bagus, menurut saya, adalah karya seni yang bisa membuat saya tersenyum hanya dengan melihat, menyentuh, atau mendengarnya.

Iya, saya tahu saya memang bukan seorang pengamat karya seni yang baik.

Saya cukup jadi pengagum dan penikmat saja.

Pengagum.

Penikmat.

Ada beberapa karya seni yang tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Juga tidak boleh dipotret. Hanya bisa dilihat dari jauh. Dan hanya bisa dirasakan dari jauh.

Ah, saya jadi ingat kamu.

Kenapa?

Karena menurut saya, kamu itu seperti karya seni; indah, tetapi hanya bisa dikagumi. 

Juga hanya bisa dilihat dan dirasakan dari jarak yang relatif tidak dekat.

Sebentar, boleh nggak, saya menjadikan kamu--si karya seni--sebagai hak milik agar saya bisa dengan bebasnya menyentuh, memotret, melihat, mengagumi, dan merasakan kamu dari dekat, seperti dari dalam dekap saya ini, misalnya?