Tuesday 28 May 2013

Bukan Waktu Lagi Yang Akan Menjawab

Tanggal 27 Mei--Senin kemarin, Aaron berulang tahun yang ke 17. Saya senang. Saya tidak tahu kenapa saya senang dan sepertinya saya tidak memerlukan alasan untuk bisa senang hari itu.

Dua hari yang lalu, hari Minggu, saya mengucapkan sumpah serapah kepada provider internet saya karena koneksinya yang terlalu lambat. Waktu itu pukul 8 malam lebih sedikit. Saya tidak ingin melewatkan momen, rengek saya dalam hati. Momen apa sebenarnya yang tidak ingin saya lewatkan itu?

Perbedaan waktu antara Indonesia bagian barat dengan Australia itu 4 jam. Pada hari Minggu, tanggal 26 Mei pukul 8 malam lewat sepersekian menit, saya ingin mengucapkan "Happy birthday" kepada Aaron. Sudah saya katakan saya tidak ingin melewatkan momen. Kalau saya mengucapkan Happy Birthday pada puul 8 malam waktu Indonesia bagian barat, itu berarti saya mengucapkan Happy Birthday pada pukul 12 malam waktu Australia.

Sumpah serapah sudah saya keluarkan. Baru pada pukul 9 malam lewat sedikit koneksi internet saya sudah mulai stabil seperti biasa dan saya mengucapkan Happy Birthday untuk Aaron di Facebook. Pukul 9 lewat sedikit, yang artinya pukul 1 pagi waktu Australia.

Setelah mengucapkan Happy Birthday itu saya menjadi lega. Entah kenapa. Saya merasa hidup saya baik-baik saja sampai saat tadi saya iseng membuka folder foto di komputer saya.

Dan saya menemukan sebuah foto, penggalan dari kalimat salah satu novel yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah beberapa minggu yang lalu.


Pada saat saya melihat foto tersebut barusan, otak saya berputar. Berpikir keras.

Selama ini saya memang takut untuk memikirkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Bagaimana saya nanti, dimana saya berada nanti, siapa saya nanti dan sebagainya. Tapi untuk masalah saya yang satu ini--tentang Aaron--lain lagi urusannya.

Selama ini saya selalu mengajak otak saya untuk berimajinasi. Kadang saya berimajinasi kalau 10 tahun yang akan datang saya sudah mapan dan menetap di Australia. Lalu saya bertemu Aaron dan layaknya pasangan lainnya, kami dekat, dekat dan semakin dekat.

Atau, 5 tahun yang akan datang saya mendapatkan beasiswa universitas di Australia. Lalu tanpa sengaja saya satu penjurusan dengan Aaron dan dosen pembimbing mata kuliah kami mempersatukan kami dengan cara membentuk suatu kelompok, yang anggotanya hanya saya dan Aaron dan kami berdua mulai mengerjakan proyek bersama-sama.

Saat saya berimajinasi tentang hal-hal yang seperti itu, saya tidak takut. Sungguh. Bahkan saya merasa dengan berimajinasi seperti itu saya bisa membangun dunia saya sendiri, di mana Aaron tidak tampak terlalu imajiner dengan merangkai alur atau plot yang saya inginkan.

Tapi saat di hadapkan dengan realita seperti ini, saya memacu otak saya untuk berpikir lebih keras lagi.

Bagaimana saya nanti?
Bagaimana Aaron nanti?
Apa kami akan bertemu?
Apa janji itu akan terpenuhi?
Atau apa, dan bagaimana...?

Ada pepatah yang mengatakan, "Jika sebuah mimpi tidak menakutimu sedemikian rupa, maka mimpi itu tidak cukup besar."

Saya takut. Kadang-kadang. Saya takut kalau saya tidak bisa membuat dunia imajinasi saya menjadi nyata suatu saat nanti. Saya takut kalau saya hanya bisa mengumbar janji. Saya takut kalau semua yang saya impikan selama ini akan bertolak belakang dengan kenyataan.

Saya takut.

Tapi di sisi lain, saya mencoba untuk optimis.

Saya masih menyisakan ruang di dalam otak saya untuk sesuatu yang positif. Misalnya dengan memberikan sugesti pada diri sendiri kalau saya pasti akan bertemu dengan Aaron 10 atau 14 tahun lagi.

Selama ini saya hanya bisa mengatakan,"Biar waktu yang menjawab."

Tapi sekarang lain lagi. Saya masih akan tetap membiarkan waktu untuk menjawab semuanya. Tapi, saya akan membantu waktu untuk menemukan cara agar kami berdua bisa segera mendapatkan jawaban yang selama ini kami tunggu-tunggu.

Monday 27 May 2013


Great Expectations; page 30

Dear someone whose name has a letter Z in it,

I should have understood if I can’t love someone like this.
Secretly, with no sounds, no codes,
I should have known the consequence I may take is I can get hurt, over and over again.

It doesn’t happen once. It has happened more than once.

And I don’t learn from mistakes.
I keep doing this—loving someone secretly.
I’m not bored. In facts, I’m happy.
Because I can watch him from distances and write about him and nobody knows.
Plenty of people know, but at least, he doesn’t know.

Maybe. 

And I wish he didn’t know though.

He had a crush already. And I knew that.
Fuck me. I knew that from earlier, then why did I keep doing this? For God’s sake, I don’t want to ruin your relationship at all!

I’m sorry.

Really.

I admire someone too easily, you know.
If you didn’t give me any attentions, I wouldn’t have loved you like this.

No, I don’t blame you. The one who needs to be blamed here is me.
Too many tears I have shed, and I don’t want ended up like those who feel their lives will be destroyed when they lost someone who they admire.

And I promise I won’t cry.


Because Charles Dickens taught me; I won't cry when I don't want to.

***

Thursday 23 May 2013


Saya tahu seharusnya saya tidak banyak berharap.
Tetapi bagaimana bisa saya menahan sunggingan senyum dan memaksa agar tendangan kecil di hati saya berhenti?
Saya tahu kamu selalu melempar perhatian yang tidak hanya kepada saya.
Tetapi bagaimana bisa saya menahan gejolak yang tidak enak di dalam hati?
Saya tahu kalau saya (mungkin) hanya akan menjadi teman kamu.
Tetapi bagaimana saya bisa menghalau perasaan ‘ingin-lebih-dari-sekadar-teman’ dari dalam hati saya?
Saya tahu seharusnya saya tidak cemburu, tapi…
Oh, sial. Saya benar-benar cemburu.
***

Saturday 4 May 2013

Choices

I've had so many things lately. And those things make me busy all day. I'm on first year of senior high, and only less than 2 months left to leave a first year in high school's phase. I'm on my way to the second year of senior high.

Seems legit, huh?

Not really actually. Second semester of first year is soooo overwhelmed. I need to fix my bad scores. I need to chase teachers, act like a dumb by asking, "what should I do to fix my bad scores?" what a shame. Actually, I am not that person. I don't like chase teachers by asking a dumb question to fix my bad score. I prefer to let it flow. My scores are bad, That's the consequences I should take. I might didn't study as hard as I need to reach my best goals. I mean, who knows? I know chase teachers and asking them to fix the bad scores wouldn't be useless, but I don't think that I should do that. I only do things what I wanted to. If I need to fix my bad scores, I would fix it. But if I don't, I wouldn't do that.

Oh, that was not a real problem. A real problem is, where would I go after I pass the second semester? I have 2 choices. Every students have 2 choices - but there are plenty of students who have 3 choices, and I'm jealous! Which class should we take? A science one, or a social one?

I have to admit that I really have no choice at this time.

I love science. I love physics. But I kind of hate chemistry. Oh, no hating. I do not like chemistry as I like physics for sure. And if I was able to enter a science class, chemistry is waiting for me in front of class.

I kinda love social. But I don't like economy (no hating, still). I know there are persons who can sit for hours, count on those 6-7 digits of money and happy. I am sure I'm not that person.

For God's sake, I would take a literature class only if my school had one!

Only if my school had one.

But, it's alright. No matter what classes I chose, I know that was a better choice for me. And I'd like to thank God because He has let me chose. No matter I like this class I chose or not, I'll try to like this class. Take the consequences I've made. No regrets, of course.

Nb: I'm going to attend an Inobu event. Photos will coming up soon! x