Tuesday, 4 December 2012

Djenar


Warna oranye kemerahan tergurat di atas kanvas langit. Sekumpulan burung gereja berterbangan—mencari jalan pulang. Sesekali beberapa ekor bertengger di ranting-ranting pohon, menyaksikan betapa menakjubkannya warna langit kala itu.

Djenar, seorang gadis berusia pertengahan 20-an sedang berdiri di tepi atap gedung kantor tepat ia bekerja. Sendiri. Memandang ke bawah dengan tatapan yang kosong. Sekosong hatinya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia merogoh ponselnya dari saku blazer yang ia kenakan. Sebuah pesan singkat.

‘dimana?’

Djenar menghela nafas panjang. Ia bisa merasakan nafasnya yang dingin. Pesan itu dari Damar. Teman satu kantornya. Djenar menarikan jemarinya yang lentik di atas screen ponselnya.

‘di atas.’

Tak perlu berbasa-basi. Damar tahu ‘atas’ mana yang dimaksud Djenar. Atap gedung kantornya. Hanya dalam hitungan menit, Damar sudah tiba dan berdiri di samping Djenar.

“Nggak pulang? Ngopi dulu, yuk. Nanti pulangnya saya anterin.” Ujar Damar ceria.

Djenar menoleh dan tersenyum tipis. Ia menggeleng pelan.

“Kenapa? Biasanya kamu paling suka kalau saya traktir minum kopi.” Damar terkekeh. Tidak melihat respon yang diberikan Djenar, Damar berkata lagi, “Kali ini kamu yang milih tempatnya, deh. Saya nurut aja.”

Djenar menunduk. Ia kembali merogoh saku blazernya. Mengeluarkan sesuatu. Sebuah bungkus rokok dan pematik apinya. Djenar menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya yang tipis kebiruan karena diterpa angin sore. Ia mematik api dari pematiknya. Sekarang, ujung rokok itu sudah terhias dengan warna oranye menyala.

Damar yang masih berdiri di tempatnya terpaku.

“Dje, you don’t…”

Well now I do.” Ujar Djenar.

“Sejak kapan? Bukannya kamu pernah bilang sama saya kalau kamu itu paling anti sama yang namanya rokok..?” Tanya Damar masih tak percaya.

People change, Mar. They do it all the time. Apa salahnya kalau saya merokok?” jawab Djenar sambil mengepulkan asap rokok keluar dari mulutnya.

Damar kembali terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.

“Ini.., sekarang kita berada di lantai berapa sih, Mar? Kok kayaknya tinggi banget, ya?” Djenar maju selangkah dan memperhatikan kegiatan yang sedang berlalu-lalang di bawah sana.

Tubuh Damar menegang. Ia menjawab takut-takut.

“10.” Suaranya terdengar tercekat. Djenar hanya mengangguk-angguk kecil.

“Kalau misalkan saya…,”

“Jangan!”

Djenar menoleh. Damar mendekati Djenar dengan dada yang membuncah. Entah apa yang sedang berguncang hebat di dalam dadanya itu.

“Nggak boleh.” Ulang Damar. “Saya tahu kamu mau bicara apa tadi. Apapun itu, please jangan.”

Djenar mengerjap pelan. Ia menatap Damar tepat di matanya. Djenar mengalihkan pandangannya dari Damar dan tertawa.

“Ternyata kamu tahu saya banget ya, Mar.” ujarnya masih tertawa kecil.

Kali ini giliran Damar yang mengerjap pelan.

“Tapi ngomong-ngomong, saya pernah baca buku. Dan di bukunya itu ada kutipan ‘setiap orang pasti sudah menerima hukuman mati. Tapi mereka masih belum tahu kapan mereka akan menjalaninya.’ Pernah denger kan, Mar? Eh, belum, ya? Makanya jangan baca buku pengantar bisnis mulu, dong..” ujar Djenar tertawa.

Tawa milik Djenar seperti menghipnotis. Damar dibuat tertawa oleh perkataan milik Djenar tadi.

“Tapi kalau dipikir-pikir, itu benar kan, Mar? Saya jadi penasaran nanti saya meninggalnya bagaimana.” gumam Djenar.

Damar masih menatap Djenar nanar. Ia masih terhipnotis dengan pesona Djenar. Rambutnya yang hitam berkilau saat terpantul oleh sinar matahari, matanya yang kecil, alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis.., ingin rasanya Damar memiliki segalanya yang ada pada Djenar.

“Dje, listen.” Ujar Damar tegas. Djenar menoleh dan mengangkat kedua alisnya. Sebatang rokok terselip di antara kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Kalau kamu meninggal, itu urusan nanti, okay? Sekarang janji sama saya. Janji kalau apapun yang terjadi, jangan pernah berpikiran untuk meninggal. Kamu sendiri yang bilang kalau semua orang itu pasti meninggal. Iya, kan? Jangan menghampiri kematian. Dia akan menghampiri kita—dengan sendirinya.”

Djenar menatap Damar. Ia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan, tapi..

“Dje, masih banyak yang peduli sama kamu. Jadi tolong..,”

“Mar, now you listen. I’ll be fine, okay? Saya akan baik-baik saja. Sungguh—demi Tuhan, Mar. Kalau suatu hari nanti kamu menemukan saya dalam keadaan mati konyol, kamu boleh mengutuk saya apa saja. Saya juga punya akal sehat, Mar. Jadi saya tidak mungkin menyiakan sisa hidup saya dan mengakhirinya dengan cara-cara konyol yang tidak masuk akal.”

Damar tertawa. “Contohnya? Cara konyol yang tidak masuk akal itu contohnya seperti apa?”

Djenar tersenyum jahil dan pura-pura berpikir. “Mm, menghabiskan sisa hidup untuk membenci kamu, mungkin?”

Tubuh Damar kembali menegang. Ia memperhatikan Djenar yang sedang menyulut api rokoknya dengan cara menginjak dengan ujung sepatunya. Saat Djenar mendongak, tatapan mereka berdua bertemu.

“Apa?” Tanya Djenar.

Damar melangkah maju menhampiri Djenar dan merengkuhnya perlahan. Djenar tersentak oleh tindakan Damar yang tiba-tiba itu.

“Da..mar..?” Damar semakin mempererat pelukannya. Ia bisa merasakan jantung Djenar beradu cepat dengan jantung miliknya.

Djenar tenggelam dalam pelukan Damar. Mereka terus seperti itu selama beberapa menit. Tak ada yang bersuara. Lalu Djenar memperlonggar rengkuhan tangan miliknya di sekitar leher Damar. Damar menunduk menatap Djenar tepat di mata dan menaikkan kedua alisnya.

“Tawaran kamu.. Tawaran kamu yang tadi masih berlaku? Err.., minum kopi? Kayaknya malam-malam begini kalau ditemani kopi enak juga,” gumam Djenar.

Damar tersenyum. Lalu berkata dengan nada sedikit memberengut.

“Hanya kalau ditemani kopi saja enaknya? Sama saya enggak?”

Djenar tertawa dan memukul dada Damar pelan. Djenar kembali merengkuhkan kedua tangannya di sekitar leher Damar dan kembali perpelukan selama beberapa menit.

“Yuk. Saya haus.” Ujar Damar sambil memperlonggar pelukannya. Djenar tertawa dan menyelipkan lengannya di antara lengan milik Damar. Mereka berdua berjalan di bawah sinar rembulan dan kerlipan bintang.

Tidak ada yang lebih indah dari malam ini, pikir Djenar dan Damar dalam hati.


***

No comments:

Post a Comment