Sunday 29 January 2012

When It Was Autumn #7

Aku menunggu pintu lift terbuka. Perkataan temanku tadi--bahwa si Zombie, si Zombie terkutuk itu menyukaiku masih terngiang. Bodoh. Mengapa harus ku pikirkan? Ia tidak tahu apa-apa. Kenapa harus percaya perkataannya? Itu 'kan hanya sekedar omongan. Bukan kenyataannya.

Ting!

Pintu lift terbuka.

Entah keseimbangan tubuhku yang jelek atau bagaimana, saat aku ingin masuk ke dalam lift, tidak sengaja aku menginjak sepatu orang itu--orang yang berada di dalam lift. Cepat-cepat aku mendongak untuk meminta maaf, tapi tiba-tiba mulutku terkunci. Aku tidak bisa bicara. Di saat seperti ini? Sial.


"Are you blind?" bentak orang itu dingin. Seperti biasa. "Ah, bodoh. Cepatlah masuk ke dalam. Kau mau turun ke bawah, kan?" aku masih terdiam di depan lift itu. "Cepat masuk atau aku akan menutup pintu lift-nya dan kau terpaksa harus turun memakai tangga." aku tersentak dan segera masuk ke dalam lift sebelum pintu lift itu ditutup.

Ia menekan tombol dan pintu lift langsung tertutup.

***

 Ting! 

Pintu lift terbuka kembali. Dan aku segera keluar dari dalam lift. Aku baru saja menghabiskan 10 detik di dalam lift bersama si Zombie terkutuk itu. Astaga, 10 detik memang bukan waktu yang lama. Tapi tetap saja, Zombie itu..

Aku 'kan sudah terlanjur kesal padanya!

Aku mengencangkan lilitan syal yang terlilit di leherku. Berjalan cepat dan segera menghilang di balik pintu besi itu. Meninggalkan si Zombie pemakan otak disana. Sendirian. Hei, apa peduliku?

"Tunggu," Aku mendengar langkah berat di belakangku. Siapa? Orang itu memanggilku? Pasti bukan aku.

"Kau yang memakai mantel berwarna cokelat dan memakai syal, berhentilah!" Aku berhenti. Ya, benar-benar berhenti. Kaget karena suara itu. Aku membalikkan badan dan menunjuk ke arah dadaku sendiri. Aku?

Ia mengangguk. Mengulurkan tangan kanannya dan memberikan sebuah dompet berwarna hitam. Dompet itu.. punyaku? Hah? Ah, ya pasti terjatuh saat aku sedang mencari ponselku di dalam tas.

"Punyamu," ujarnya. Hei, suaranya tidak lagi dingin. Jarang sekali aku mendengar suaranya yang seperti ini. Aku meraih dompet yang di ulurkannya. "Periksalah. Aku memang tidak mengambil apa-apa, tapi kalau kau mau memeriksanya untuk memastikan," ia menggedikkan kedua bahunya.

Aku cepat-cepat menggeleng. "Aku.. percaya. Percaya kalau kau tidak mungkin, kau tahu, mengambil uangku." ia tertawa kecil. Ia, tertawa. Baru sekali ini aku melihatnya tertawa. Ia selalu tampil dengan ekspresi wajahnya yang keras dan datar setiap hari. Dan saat melihatnya tersenyum untuk pertama kalinya, aku merasa kalau ia tak pantas aku sebut Zombie pemakan otak terkutuk lagi dan aku harus segera mencari panggilan baru untuknya.

Ia berdeham. Menyadarkanku. Tawa itu memudar. Tapi masih ada segaris senyum terbalut di wajahnya. Suasana menjadi kikuk seketika. Aku cepat-cepat tersenyum dan mengangguk kepadanya. Setelah ia membalas senyumku untuk pertama kalinya, aku segera membalikkan tubuhku dan berjalan cepat keluar gedung. Meninggalkannya seperti saat di lift tadi. Dan aku tidak berharap kalau ia akan memanggilku lagi.

***


Aku rasa aku telah menemukan panggilan baru untuknya.

Kucing berbulu Serigala.

Hei, bukankah itu bagus?

Lagipula, aku menyukai kucing dan sepertinya ia tidak keberatan dengan sebutan itu.

***

No comments:

Post a Comment