Sunday 29 January 2012

When It Was Autumn #6

“Pagi,” dua orang gadis yang duduk di meja resepsionis itu menyapaku dengan senyum mereka yang hangat. Aku membalas senyum mereka tanpa berkata apa-apa.

Ting!

Pintu lift terbuka. Kosong. Tak ada seorangpun di dalamnya. Aku masuk ke dalam kapsul besi itu dengan mengapit berkas-berkas terkutuk yang harus aku serahkan ke atasanku. Si zombie pemakan otak. Pukul 07:45. Masih ada 15 menit lagi sebelum tenggat waktu yang di berikan olehnya berakhir.

Ting!

Pintu lift terbuka lagi.

Aku melongo menatap orang yang berada di hadapanku. “Pagi,” aku menampilkan senyum teramahku. Ia menatapku dingin dan mengangguk kecil. “Berkas-berkas ini…” belum sempat aku melanjutkan  kalimatku, zombie yang berada hanya beberapa senti di depanku ini malah mencuri kalimatku. Dasar lancang! Aku belum selesai bicara. Kalau kau bukan atasanku, kau pasti akan ku… argh!

“Antar ke ruangan saya.”

What?! Heh, zombie sialan, masih ada deadline yang harus kuselesaikan. Seenaknya saja kau menyuruhku mengantar berkas terkutuk ini ke ruanganmu. Kau ada disini, di depanku. Mengapa tidak kau bawa saja berkas terkutuk ini sendiri, hah?

“Taruh yang rapih. Jangan sampai membuat meja kerja saya berantakan.” Aku mendengus pelan. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain tersenyum dan berkata “Iya”?


***


“Mungkin dia menyukaimu.” Aku nyaris memuntahkan potongan pai apel yang sedang kumakan. “Kau tahu, sifatnya.” Ada apa dengan sifatnya? Diktaktor? Bukankah semua bos muda begitu? “Kau sadar nggak, sih?” sadar apa? Sadar kalau aku hanya menjadi budaknya? Iya, aku sadar. “Dia selalu memberikanmu pekerjaan yang bahkan—yang bahkan pekerjaan itu bukan tugasmu.” Eh? “Berhentilah berpura-pura bodoh. Orang yang kau sebut zombie itu sebetulnya menyukaimu.”

Apa?! Zombie itu? Menyukaiku?

Huaa!! It’s a real nightmare.


***

No comments:

Post a Comment