Tuesday, 24 January 2012

When It Was Autumn #3

Suara koakan burung gagak semakin jelas terdengar. Menandakan bahwa malam akan--bahkan sudah tiba. Dan suara koakannya mengakhiri pertemuanku dengannya, di senja musim gugur hari ini.

Dia masih tampak sama. Dengan senyumnya yang mampu melelehkan bongkahan es yang terdapat di lautan hatiku. Bola matanya yang berwarna kelabu--yang menyorotkan kehangatan dan kenyamanan. Dan juga garis wajahnya yang entah mengapa--amat aku rindukan.

Aku merasakan ada sedikit tendangan di dalam hatiku. Tendangan apa ini? Aku terus bertanya-tanya.

Aku menyadari sesuatu.

Tendangan ini, gejolak ini--sama persis dengan apa yang pernah aku rasakan berbulan-bulan yang lalu.

Di hari itu.

Hari dimana aku bersumpah untuk tidak akan pernah menyukainya lagi.

***

Mentari sudah menenggelamkan dirinya sedari tadi. Tapi aku masih bisa melihat langit yang berwarna keoranyean dan kejinggaan di ufuk barat sana.

Langit belum sepenuhnya gelap, pikirku. Aku menghela nafas dan asap putih mulai menyembul keluar dari dalam hidung dan mulutku.

Dulu, when he was with me about months ago, saat asap putih mulai menyembul keluar dari dalam mulut dan hidungku, ia pasti langsung menyambar kedua lenganku dan memasukkannya kedalam saku mantelnya yang hangat luar biasa.

Tapi itu dulu.

Entah akan terjadi lagi atau tidak.

Mind if you give me your hands to put those into my warm pocket?”

Suara itu?

Aku pasti bermimpi.

Aku menoleh kearah suara berat yang menenangkan itu. Meyakinkan bahwa tadi aku salah dengar.

Sekujur tubuhku membeku seketika.

Disana, ia berdiri.

Masih dengan tatapan yang sama.

Tatapan yang ia perlihatkan padaku, di musim gugurku yang pertama.

***

Thanks for being a great gift on my first autumn, dude.

It has always been nice.

But sometimes,

It has always been..,

Hurt.

 
***

No comments:

Post a Comment