Sunday, 22 January 2012

When It Was Autumn #2

Aku baru saja beranjak pergi sampai ada seseorang yang menyerukan namaku dan aku terpaksa harus berhenti.

“Kau?” tanyaku heran. Tapi ada sedikit nada antusias dalam suaraku.

“Ya. Bagaimana kabarmu?” tanyanya masih dengan senyum itu.

“Baik.” ujarku. “Kau sendiri?”

“Lumayan.” Ia berdeham.

“Maksudmu?” tanyaku heran.

Actually--aku baik. Tapi cuaca hari ini yang membuatku tidak... sebentar,” ia mengambil sapu tangan dari saku mantelnya dan menutupi hidungnya yang sedang bersin. Aku tertawa.

“Cuaca sialan,” gerutunya. Hidung dan pipinya mulai memerah.

“Jangan salahkan musim gugur.” ujarku. “Kau yang salah. Daya metabolisme tubuhmu--harus kuakui, payah.”

Ia tertawa. “Dasar Miss.Autumn,” “Ah yeah, bagaimana kalau dengan segelas latte?”

“Hah? Apa maksudmu?” tanyaku.

“Maksudku, bagaimana kalau kita ditemani dengan secangkir latte di sore yang dingin ini?” ujarnya.

Aku tertawa. “I'd love to.., but I can't. Aku dikejar deadline.

“Dikejar deadline, ya? Mhm...” ia melipat kedua tangannya di depan dada.

“Dikejar deadline dan kau masih sempat datang ke taman untuk melihat senja di musim gugur ini?” tanyanya tak percaya.

“Kau tahu aku, kan?” aku menepuk bahunya bersahabat. “Aku harus pergi. Sampai jumpa.”

Aku berbalik dan ia menyerukan namaku lagi. Aku menoleh.

“Kau ingat hari ini hari apa?” tanyanya hati-hati.

“Tentu.” ujarku singkat. Ia tersenyum samar. “Ada lagi yang ingin kau katakan?” ia menggeleng. “Baiklah. Sampai jumpa.”

Aku berbalik dan meninggalkannya. Sama seperti yang pernah ia lakukan beberapa bulan yang lalu.

***

Inilah yang aku suka dari musim gugur. Kenangan lamaku seolah-olah hidup kembali dan aku merasa kalau aku sedang menonton film dokumenter tentang hidupku sendiri.

Tapi aku tidak bisa merubah alurnya. Aku hanya bisa menonton. Andaikan alur itu bisa kuubah, pasti musim gugurku akan tampak lebih sempurna.

But anyways, autumn--it has always been nice for being a nice weather.

***

No comments:

Post a Comment