Semua orang mempunyai mimpi.
Semua. Se-mu-a. tak terkecuali aku. Mimpiku banyak. Ada ratusan ribu, dan hanya
sepersepuluh saja yang baru terwujud. Sisanya? Belum terwujud. Entah kapan
terwujudnya. Tapi meskipun mimpi-mimpi itu masih belum terwujud, aku tetap
berdoa pada Tuhan. Berharap agar mimpi-mimpiku itu segera terwujud.
Mimpi gilaku salah satunya
adalah membeli saham, atau bahkan kalau bisa membeli pabrik cokelat beserta
isinya milik tokoh fiksi Willy Wonka. Gila? Ya, mimpiku aneh. Jauh dari kata
normal. Tapi hei, ini mimpiku. Di mimpiku, di mimpimu, mimpi kalian, mimpi
kita, kita sendiri bisa bermimpi yang
aneh-aneh. Ayolah, jangan malu. Jangan takut tidak terwujud. Ada Tuhan yang
akan mewujudkannya.
Mimpi gilaku yang kedua. Jujur,
aku sendiri tidak tahu hal ini di kategorikan kedalam mimpi, ambisi, obsesi,
atau apa. Yang aku tahu, aku bermimpi, dan aku akan berusaha untuk mewujudkan
mimpi itu. Itu pointnya. Kita kembali
ke beberapa bulan silam. 8 bulan 6 hari, lebih tepatnya. I met someone. Bukan di dunia nyata. Bukan juga di dunia khayal.
Tapi di dunia maya. Bersyukurlah karena teknologi sudah maju sekarang ini.
Karena kalau tidak, kemungkinanku untuk mengenal orang itu hanyalah tiga
banding sembilan juta.
Entah apa yang membuatku
tertarik pada orang itu. Toh aku belum pernah ‘menemuinya’ secara nyata di
dalam kehidupan manusia yang absurd ini. Perkenalanku hanyalah sebatas beberapa
foto. Yap, benda dua dimensi. Benda dua dimensi yang berdampak luar biasa.
Tidak percaya? Dampaknya sudah menempel di tubuhku. Masuk ke dalam ragaku,
mengalir di dalam aliran darahku, oke ini hiperbola. Hanya dari sebuah foto,
aku merasa kalau aku benar-benar yakin bahwa, dia orangnya.
Dia memang bukan orang terkeren,
tertampan, juga orang dengan segala ter yang pernah aku temui, TAPI, dia orang
pertama yang mampu membuatku menunggu. Menunggu. “Apa sih enaknya menunggu? Lebih enak juga ditunggu.” Itu
komentar yang biasa aku dengar. Jujur, aku sendiri juga bingung. Kenapa aku mau
menunggu orang itu? Orang yang mungkin, menganggapku sebagai orang asing yang
gila. Tapi tidak untukku. Aku tidak menganggapnya sebagai orang asing. Aku
menganggapnya sebagai seseorang dalam hidupku, yang mempunyai peranan penting.
Seperti itulah.
Dia orang pertama yang membuatku
menjadi seorang penggemar yang fanatik, dia orang pertama yang membuatku
bingung—tapi juga senang, dia orang pertama yang berhasil mengubahku hampir,
180 derajat. Dia orang pertama yang membuatku mengerti apa itu rasanya menyukai
seseorang. Dia orang yang mampu membuatku bahagia dan menangis di saat yang
bersamaan.
Sudah cukup dengan dia-nya.
Sekarang dengan aku.
Aku yang histeris saat melihat
namanya terpampang di layar komputerku dengan tulisan ‘is now available to chat.’, aku yang selalu mengintai aktivitas
facebooknya. Apapun itu. Aku yang selalu mengambil fotonya dari Facebook tanpa
persetujuan dan pengetahuannya, aku yang dibuat tertawa dengan perkataannya
yang konyol di wall Facebook-nya, aku
yang menangis—terharu saat ia baru memposting foto dirinya, aku yang menulis
berlembar-lembar tulisan tentangnya, cerita, puisi, sajak, aku yang selalu
teringat akan dirinya saat mendengar
dentingan piano dan lagu Miss You Like Crazy yang ditembangkan oleh Natalie
Cole, dan aku yang menyukainya. Bahkan, lebih dari sekedar kata suka.
Mungkin ini terdengar aneh bagi
kalian, dan sama, bagiku juga aneh. Kami berbeda. Banyak perbedaannya. Agama,
iman, kewarganegaraan, pola hidup, tapi seakan-akan ‘perbedaan’ diantara kami
itu bagiku tidak ada. Tidak ada perbedaan. Kami sama.
Kalian tahu? Dia salah satu
motivasiku untuk memperdalam tatanan Bahasa Inggris-ku yang belum fasih. Dia
yang menumbuhkan mimpi-mimpi gila padaku. Seperti, saat dewasa aku harus pergi
ke Australia untuk menemuinya. Hanya bertemu. Itu lebih dari cukup. Tak
berbicara, tak menyapa, hanya melihatnya dari kejauhan. Meskipun ia sudah
berkomitmen dengan seseorang, siapapun itu, dan
bukan aku, asalkan aku sudah bisa menemuinya, melihat wajahnya secara
nyata, bukan dari barang dua dimensi, itu sudah lebih dari kata cukup.
Karena saat ia bahagia, yang aku
tahu, aku juga ikut bahagia. Kalimat sederhana yang klise, picisan, murahan, atau apapun bagi kalian, terserah. Karena bahagia itu sesungguhnya memang
betul-betul sederhana.
Bekasi, 14 April 2012.
Dwi Ayu Wulandari
No comments:
Post a Comment