Tuesday, 1 May 2012

Guratan Kecil

                Semua orang mempunyai mimpi. Semua. Se-mu-a. tak terkecuali aku. Mimpiku banyak. Ada ratusan ribu, dan hanya sepersepuluh saja yang baru terwujud. Sisanya? Belum terwujud. Entah kapan terwujudnya. Tapi meskipun mimpi-mimpi itu masih belum terwujud, aku tetap berdoa pada Tuhan. Berharap agar mimpi-mimpiku itu segera terwujud.
                Mimpi gilaku salah satunya adalah membeli saham, atau bahkan kalau bisa membeli pabrik cokelat beserta isinya milik tokoh fiksi Willy Wonka. Gila? Ya, mimpiku aneh. Jauh dari kata normal. Tapi hei, ini mimpiku. Di mimpiku, di mimpimu, mimpi kalian, mimpi kita, kita sendiri bisa bermimpi  yang aneh-aneh. Ayolah, jangan malu. Jangan takut tidak terwujud. Ada Tuhan yang akan mewujudkannya.
                Mimpi gilaku yang kedua. Jujur, aku sendiri tidak tahu hal ini di kategorikan kedalam mimpi, ambisi, obsesi, atau apa. Yang aku tahu, aku bermimpi, dan aku akan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu. Itu pointnya. Kita kembali ke beberapa bulan silam. 8 bulan 6 hari, lebih tepatnya. I met someone. Bukan di dunia nyata. Bukan juga di dunia khayal. Tapi di dunia maya. Bersyukurlah karena teknologi sudah maju sekarang ini. Karena kalau tidak, kemungkinanku untuk mengenal orang itu hanyalah tiga banding sembilan juta.
                Entah apa yang membuatku tertarik pada orang itu. Toh aku belum pernah ‘menemuinya’ secara nyata di dalam kehidupan manusia yang absurd ini. Perkenalanku hanyalah sebatas beberapa foto. Yap, benda dua dimensi. Benda dua dimensi yang berdampak luar biasa. Tidak percaya? Dampaknya sudah menempel di tubuhku. Masuk ke dalam ragaku, mengalir di dalam aliran darahku, oke ini hiperbola. Hanya dari sebuah foto, aku merasa kalau aku benar-benar yakin bahwa, dia orangnya.
                Dia memang bukan orang terkeren, tertampan, juga orang dengan segala ter yang pernah aku temui, TAPI, dia orang pertama yang mampu membuatku menunggu. Menunggu. “Apa sih enaknya menunggu? Lebih enak juga ditunggu.” Itu komentar yang biasa aku dengar. Jujur, aku sendiri juga bingung. Kenapa aku mau menunggu orang itu? Orang yang mungkin, menganggapku sebagai orang asing yang gila. Tapi tidak untukku. Aku tidak menganggapnya sebagai orang asing. Aku menganggapnya sebagai seseorang dalam hidupku, yang mempunyai peranan penting. Seperti itulah.
                Dia orang pertama yang membuatku menjadi seorang penggemar yang fanatik, dia orang pertama yang membuatku bingung—tapi juga senang, dia orang pertama yang berhasil mengubahku hampir, 180 derajat. Dia orang pertama yang membuatku mengerti apa itu rasanya menyukai seseorang. Dia orang yang mampu membuatku bahagia dan menangis di saat yang bersamaan.
                Sudah cukup dengan dia-nya. Sekarang dengan aku.
                Aku yang histeris saat melihat namanya terpampang di layar komputerku dengan tulisan ‘is now available to chat.’, aku yang selalu mengintai aktivitas facebooknya. Apapun itu. Aku yang selalu mengambil fotonya dari Facebook tanpa persetujuan dan pengetahuannya, aku yang dibuat tertawa dengan perkataannya yang konyol di wall Facebook-nya, aku yang menangis—terharu saat ia baru memposting foto dirinya, aku yang menulis berlembar-lembar tulisan tentangnya, cerita, puisi, sajak, aku yang selalu teringat akan dirinya saat  mendengar dentingan piano dan lagu Miss You Like Crazy yang ditembangkan oleh Natalie Cole, dan aku yang menyukainya. Bahkan, lebih dari sekedar kata suka.
                Mungkin ini terdengar aneh bagi kalian, dan sama, bagiku juga aneh. Kami berbeda. Banyak perbedaannya. Agama, iman, kewarganegaraan, pola hidup, tapi seakan-akan ‘perbedaan’ diantara kami itu bagiku tidak ada. Tidak ada perbedaan. Kami sama.
                Kalian tahu? Dia salah satu motivasiku untuk memperdalam tatanan Bahasa Inggris-ku yang belum fasih. Dia yang menumbuhkan mimpi-mimpi gila padaku. Seperti, saat dewasa aku harus pergi ke Australia untuk menemuinya. Hanya bertemu. Itu lebih dari cukup. Tak berbicara, tak menyapa, hanya melihatnya dari kejauhan. Meskipun ia sudah berkomitmen dengan seseorang, siapapun itu, dan bukan aku, asalkan aku sudah bisa menemuinya, melihat wajahnya secara nyata, bukan dari barang dua dimensi, itu sudah lebih dari kata cukup.
                Karena saat ia bahagia, yang aku tahu, aku juga ikut bahagia. Kalimat sederhana yang klise, picisan, murahan, atau apapun bagi kalian, terserah. Karena bahagia itu sesungguhnya memang betul-betul sederhana.

Bekasi, 14 April 2012.
Dwi Ayu Wulandari

No comments:

Post a Comment