Saturday, 18 February 2012

When It Was Autumn #11

Cahaya mentari menyambutku di pagi ini. Cerah. Andaikan pagi ini hujan. Kulirik ponselku. Ada pesan singkat yang masuk. Entah dari siapa.


Hari ini kerja, kan? Makan siang nanti tunggu di subway depan stasiun, ya.

Ha? Maksudnya? Makan siang? Di Subway depan stasiun? Nanti?

***

"Eh," aku tidak mendelik. Sibuk dengan berkas-berkas di atas mejaku yang melebihi batas meja berantakan yang normal. "Eh, kamu.." masih. Tak bergeming sedikitpun. Tak lama, terdengar suara desahan nafas berat dibarengi dengan datangnya sesosok pemuda berwajah maskulin yang sekarang berada di depan meja kerjaku. "Nggak denger, ya saya panggilin daritadi?"

Apa? Manggil? Kapan?

"Hah? Kapan? Kayaknya daritadi nggak ada yang manggil saya deh," belaku.

"Heh, daritadi saya manggil kamu."

Aku menghela nafas. "Gini, ya, saya nggak denger nama saya dipanggil. Tadi saya cuma denger suara 'eh, oh, eh, oh'. Dan saya pikir.."

"Ya itu! Nggak peka, ya? Saya manggilin kamu daritadi."

Hah?! Aku berdiri dari tempatku duduk. Geram. "Saya punya nama. Dan nama saya bukan eh, oh, atau kamu. Bisa nggak sih panggil nama saya? Saya jadi ragu, are you really my real boss?" pemuda berwajah maskulin itu diam di tempatnya. Otot wajahnya mengencang. Seperti sedang berpikir. Dan aku merasa bersalah telah berbicara seperti itu pada atasanku sendiri.

"Well, it was my fault. I know, I know," ujarnya sejurus kemudian. "Really, I don't know what your name is, so, pardon me. It won't happen again, I'll try to keep remembering your name. Just like this."

Hah?! Dia bilang apa tadi?

"Anyway--I need your help. At all. Um, can you.. please help me?"

"I don't think that I can help you, but, you know, I'll try. What am I suppose to do for you?"

"Your time. I mean, I need your worth time. Just a little. Ada sesuatu yang harus aku urus."

Aku? Barusan dia bilang aku?

"Tu..Tunggu. Maksudnya?"

"Oke, intinya, aku mau kau untuk--menemaniku menghadiri meeting di salah satu perusahaan milik teman ayahku."

Wait, what? Seriously?

"Kenapa.. Kenapa harus..."

"Kau mau atau tidak? Jika kau mau membantuku, aku janji, setelah meeting itu selesai, aku akan mentraktirmu makan di subway. Bagaimana?"

Aku menggedikan bahu. "I have no choice. Terserahlah."

***

"Aku tidak bohong, kan?" aku mengangguk pelan. "Tepat sekali dengan waktu makan siang. Kau mau makan apa?"

Aku menolehkan pandangan ke sekeliling. "Heh," ia menegurku. "Nggak pernah ke subway, ya?" Aku membuka mulutku, berusaha melawan. Tapi tidak bisa.

"Mau makan apa? Cepat, aku lapar."

"Kalau mau makan duluan, makan saja. Aku belum lapar."

"Kalau kau belum memesan, aku juga tidak akan memesan apa-apa." ujarnya santai.

"Kalau mau makan duluan, makan saja," aku mengulang kata-kataku tadi.

"Kalau kamu belum memesan, aku juga tidak akan memesan apa-apa."

Oh Astaga!

"Baiklah," ujarku menyerah. "Sepiring salad dan air putih." Ia menatapku dengan kedua alis terangkat. "Itu saja? Yakin? Sedang diet, ya?"

"Jangan banyak tanya," ujarku. Ia terlihat sedang menahan tawa.

"Baiklah, tunggu disini sebentar. Aku akan memesan makanan."

***

"Kau yakin tidak mau makanan lain? Salad itu terlihat.. menjijikan." Aku mendelik. Berhenti mengunyah dan menatapnya tajam.

"Jangan membuat nafsu makanku hilang."

"Oke, aku akan diam."

Aku kembali mengunyah saladku. Kami tenggelam dalam makanan dan pikiran kami masing-masing.

"For God's sake! Aku tak tahan lagi melihatmu seperti itu," ujarnya. Ia memotong sandwich isi tuna miliknya dan menaruh di piringku. "Makan sandwichnya. Serius, rasanya sungguh enak. Dan berhenti mengunyah salad itu lagi. Aku tidak kuat melihatnya."

Aku baru saja membuka mulutku, dan ia menyela. "Jangan protes dan jangan menolak. Makanlah. Rasanya lebih enak daripada salad. Percaya padaku."

Aku mengangguk ragu-ragu dan mengambil potongan sandwich itu. Menatap wajahnya sekilas, dan mulai melahap sandwich yang berada di genggamanku.

Enak.

***

No comments:

Post a Comment