Cuaca sore ini, bersahabat.
Bisa dilihat dari rintik hujan yang mulai membasahi permukaan bumi.
Aku tidak bisa pergi kemana-mana. Tapi, memandang rintikan hujan di sore yang jingga ini, sendirian--itu sudah lebih dari cukup.
***
Ponselku berdering. Aku meraihnya,
"Halo? Siapa ini?" Tak ada jawaban. "Halo? Halo? Ha....loo? Who's speaking?" Masih. Tak ada jawaban. "Speak or I'll ended this sick call." Tak ada jawaban. Aku baru saja ingin menekan tombol end, dan suara orang di seberang sana terdengar.
"Tidak menyimpan nomor ponselku, ya? Waahh.."
Apa? Siapa, sih orang ini?
"Kau juga tidak ingat suaraku, ya? Padahal kita baru bertemu beberapa hari yang lalu.." orang gila! Pathetic!
"For God's sake, who the hell are you?" amarahku meledak seketika. "Asal kau tahu, ya, aku.."
"Ingat latte kita beberapa hari yang lalu?"
"Latte? Latte apa? Kau, eh..."
"Sepertinya ingatanmu sudah kembali seperti semula, ya." ujar orang di seberang sana sambil tertawa.
"Kau! Kenapa tidak bilang daritadi, sih? Tenaga ku jadi terbuang percuma, dan itu semua gara-gara, kau!" ujarku kesal. Tapi tak bisa di pungkiri, aku senang. Senang mendengar suaranya lagi.
"Hahaha," ia tertawa lagi. "Oke, oke, aku mengaku salah. Ngomong-ngomong kau ada di apartement-mu atau tidak?"
"Aku.. ya, aku ada di apartement sekarang. Kenapa?"
"Aku kesana 20 menit lagi. Tunggu aku, ya."
"Hah? Hei, hei, bodoh, tung..." sambungan terputus. "...gu. Dasar aneh." ujarku tersenyum.
***
"Cepat sekali kau datang," aku menyambutnya di depan pintu. "Rambutmu,.. itu gaya model rambut terbaru atau apa?"
Ia mengacak-acak rambutnya dan percikan air keluar dari rambutnya yang basah. "Entahlah," ia menggedikan kedua bahunya. "Tapi aku rasa gaya rambutku ini bisa menjadi trend-setter di masa mendatang."
Aku melipat kedua tanganku di depan dada. "Jadi?" ia mengerutkan keningnya. "Apa tujuanmu datang kesini? Kau sendiri tahu, di luar sedang hujan. Dan, kau tahu nomor ponselku darimana? Seingatku aku tidak pernah memberikan nomor ponselku yang baru."
"Aku memata-mataimu," ia mengedipkan sebelah matanya. "Hahaha, bercanda. Aku punya banyak informan terpercaya, kau tahu itu, daaaaan, tujuanku datang kesini, hanya sekedar berkunjung. Ya, seperti itulah."
"Demi Tuhan, kau gila atau apa?"
"Aku? Gila? Yang benar saja, aku bukan psikopat."
"Lalu? Mantan psikopat?"
"Aku rasa aku calon psikopat."
"Well, aku setuju dengan julukan 'calon psikopat' itu."
"Nice, I guess."
Pembicaraan terhenti sejenak. Sepi. Yang terdengar hanya desahan nafas kami berdua.
"Dingin, ya." Ia merapatkan mantelnya yang... basah?
"Astaga, aku lupa." pekikku setengah berteriak. "Sebentar, ya." Aku berlari kecil ke dalam apartement, dan keluar dengan membawa handuk.
"Kau pasti kedinginan. Maaf, aku lupa. Kau tahu bagaimana bodohnya aku, kan? Mantelmu basah dan aku sama sekali tidak mempunyai insiatif untuk mengambilkan handuk atau sesuatu untuk mengeringkan.."
"Berisik, ah," ia meraih handuk yang ada di genggamanku dan menaruhnya dengan asal di atas kepalaku. "Kalau kamu ngomong terus, kapan aku bisa bilang terima kasih?"
"Eh?" Aku menatapnya bingung.
"Sadar nggak, sih, aku jarang banget bilang terima kasih sama kamu." aku terdiam. "Selalu kamu yang bilang terima kasih. Sekarang, kasih aku kesempatan buat bilang terima kasih."
Aku masih tetap diam..
"Apa ada syarat untuk menerima kalimat 'terima kasih' ku?"
"Entahlah, aku rasa..."
"Aku tahu. Segelas latte dan sepotong lasagna, pasti cukup, kan?"
Aku tertawa.
"Cepat pakai mantel dan syalmu. Kita akan pergi ke suatu tempat dan sepertinya hujan sudah berhenti."
Aku mengangguk semangat. "Tunggu sebentar." Aku buru-buru meraih mantel dan syal yang berada di balik pintu dan segera keluar menemuinya.
"Wah, cepat sekali." ujarnya tertawa.
"Sudah," aku meraih lengannya. "Jangan banyak omong. Bisakah kita pergi sekarang?" Ia mengangguk, membalas genggaman tanganku. Suara rintik hujan mengiringi langkah kami berdua.
***
Sendirian memang menyenangkan. Tapi, tanpa kita sadari, berdua itu jauh lebih menyenangkan.
***
No comments:
Post a Comment