“Apanya?” orang ini..
“Hanya itu yang ingin kau katakan? Hanya itu? Maksudku…”
“Memangnya apa lagi yang harus aku katakan? Tadi kan aku bilang aku hanya ingin berterima kasih padamu.”
Benar. Aku tersenyum pahit. Bodoh, memangnya apa lagi yang aku harapkan darinya?
“Kau mau aku melakukan sesuatu lagi?” ya, lakukanlah sesuatu, hibur aku.
“Tidak usah,”
“Actually, I’d like to tell you something.” Tidak! Jangan sekarang, aku tidak ingin rentetan pertanyaan darimu. Aku hanya ingin…
“Fine. Go ahead.”
“I know that I’ve been dumped you, but did you know something?” Apa? Yang aku tahu aku masih ragu antara rela dan tidak rela.
“The feeling has been steady,” tolong, jangan.. “Aku.. bodoh, ya? Memintamu untuk memaafkan aku, padahal aku sendiri tahu kalau aku tak pantas untuk di maafkan,” did you just realize that, huh? Where have you been?!
“Yang aku tahu, kita semua tidak punya alasan untuk tidak di maafkan. Paham, kan?” ia tertunduk. Lama. “Kalau kamu punya alasan logis yang mampu membuktikan kalau kamu memang pantas untuk di maafkan, kenapa tidak?”
“Jadi? Kau..?” aku menggeleng lemah. “Tidak untuk sekarang. Mungkin nanti, saat aku sudah punya alasan untuk menerimamu kembali.”
“Kau tahu?” aku menatapnya. “Kalau aku dibayar setiap detiknya untuk menunggumu, aku sudah menjadi jutawan saat ini.” Aku memainkan ujung syalku. Menunduk. Takut melihat wajahnya. Aku menunduk lama. Sampai akhirnya, entah di menit keberapa, aku menaikkan wajahku. Melihat wajahnya yang memerah.
“Go buy me some happiness,” ujarku. “You know where the shop is. Go buy those. When you coming back,...”
“Terima aku kembali. Janji?” aku mengangguk tersenyum tanpa mengedipkan mata. Karena jika aku mengedipkan mata, cairan ini pasti akan tumpah tanpa kendali.
***
Mataku terasa berat. Tapi aku tidak mengantuk. Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku.
“Terima aku kembali. Janji?”
Bodoh! Kenapa aku mengiyakan kata-katanya? Aku mungkin punya keberanian untuk menerimanya, tapi jujur—aku tidak punya banyak keberanian untuk mengulang masa itu kembali. Sulit rasanya mempercayai seseorang yang telah membuat kita kecewa.
Dan dia salah satunya.
Satu dari sekian banyak orang yang telah membuatku kecewa.
Dan juga satu-satunya orang yang meninggalkan jejak manis diatas jalan setapak yang berliku ini.
***
No comments:
Post a Comment